Human Rights Watch Desak Internasional Atasi Kekerasan di Haiti

Geng kriminal bahkan telah mendominasi ibu kota Haiti

Jakarta, IDN Times - Kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch mendesak intervensi segera dari komunitas internasional untuk mengakhiri kekerasan geng yang meningkat di Haiti. Berbagai kasus kriminal mulai dari perkosaan, penculikan dan pembunuhan marak terjadi di Port-au-Prince, ibu kota negara itu.

"Semakin lama kita menunggu dan tidak mendapat tanggapan ini, kita akan melihat lebih banyak orang Haiti dibunuh, diperkosa dan diculik, dan lebih banyak orang menderita tanpa cukup makan," kata Ida Sawyer, direktur divisi krisis dan konflik di Human Rights Watch, yang mengunjungi Haiti untuk menyusun laporan tentang kekerasan tersebut pada Senin (14/8/2023). 

Awal bulan ini, Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa mereka akan memperkenalkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengizinkan Kenya untuk memimpin pasukan polisi multinasional untuk memerangi geng di Haiti. Namun, belum ada kabar kapan resolusi itu akan dikeluarkan.

“Pesan utama yang ingin kami sampaikan adalah bahwa rakyat Haiti membutuhkan dukungan sekarang. Kami mendengar berulang kali bahwa situasinya sekarang lebih buruk di Haiti daripada yang dapat diingat orang," kata Sawyer, dikutip dari Associated Press. 

Baca Juga: Haiti Makin Gawat, AS Perintahkan Warga dan Pejabatnya Cabut

1. Pasukan keamanan kalah jumlah dengan anggota geng

Menurut perkiraaan para ahli, geng kriminal telah menguasai sekitar 80 persen wilayah Port-au-Prince. Sementara itu, hanya ada sekitar 10 ribu polisi di negara dengan penduduk lebih dari 11 juta orang itu. Menurut Human Rights Watch, lebih dari 30 polisi tewas dari Januari hingga Juni, dan lebih dari 400 fasilitas keamanan tidak lagi beroperasi akibat serangan kriminal.

Selain kekerasan yang sedang berlangsung, sekitar 4,9 juta masyarakat Haiti juga tidak dapat mengakses pangan yang cukup. Pada Oktober lalu, kondisi kelaparan tingkat lima yang biasa dikaitkan dengan negara-negara yang dilanda perang, tercatat di daerah kumuh di Port-au-Prince untuk pertama kalinya di wilayah Amerika Latin dan Karibia, dikutip dari The Guardian.

Laporan dari Human Rights Watch itu dirilis pada hari yang sama saat pengunjuk rasa mengorganisir demonstrasi yang direncanakan akan digelar di Port-au-Prince. Mereka menuntut penggulingan Perdana Menteri Ariel Henry di tengah frustrasi atas meningkatnya kekerasan dan kemiskinan.

"Anda tidak tahu kapan Anda akan dirampok atau ditembak demi uang permen karet yang Anda hasilkan hari itu," kata Cassandre Petit, seorang ibu berusia 35 tahun yang memiliki toko kecil.

Petit menuding pemerintah menjual janji kosong untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan mengatakan dia jarang melihat polisi berpatroli di jalanan. Dia mengharapkan agar pasukan polisi internasional segera tiba supaya dirinya bisa bernapas sejenak.

Baca Juga: PBB Tak Sanggup Lagi Beri Makan 100 Ribu Warga Haiti yang Kelaparan

2. Kekerasan seksual terus meningkat di Haiti

Human Rights Watch mendesak AS, Kanada, Prancis, dan pemerintah lainnya untuk mendukung pembentukan pemerintahan transisi. Kekuasaan saat ini dipegang oleh Henry usai Presiden Haiti Jovenel Moïse dibunuh pada Juli 2021.

Laporan tersebut juga merincikan pelecehan dan kekerasan yang terjadi di empat komunitas di metropolitan Port-au-Prince dari Januari hingga April tahun ini, berdasarkan wawancara dengan puluhan korban dan saksi.

Seorang perempuan berusia 33 tahun yang memiliki empat anak mengatakan bahwa dia dipukuli dan diperkosa pada bulan April lalu. Saudara perempuannya, yang saat itu pergi bersamanya kepasar, dibunuh karena menolak upaya para penjahat untuk memerkosanya.

“Mereka membakarnya di hadapan saya, dan mayatnya ditumpuk bersama mayat lainnya,” kata perempuan itu.

Dalam serangan lainnya, seorang perempuan berusia 30 tahun mengungkapkan bahwa dua pria menembak kepala ayahnya dan memotong lengannya dengan parang. Putranya yang berusia 5 tahun ikut tewas ketika para penjahat membakar rumahnya.

"Ketika saya berhasil masuk ke rumah saya, dia terbungkus selimut, benar-benar hangus," ujarnya.

Sawyer mengatakan dia sangat terkejut dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di negara itu. Apalagi hampir semua korban yang diwawancarai tidak menerima perawatan medis atau melaporkan kasus mereka ke polisi.

Doctors Without Borders mengatakan mereka membantu lebih dari seribu korban kekerasan seksual dari Januari hingga Mei tahun ini. Adapun jumlah itu telah meningkat hampir dua kali lipat dari periode yang sama pada tahun lalu.

3. Pemerintah Haiti dinilai gagal melindungi warganya dari kelompok kriminal

Penculikan dan pembunuhan juga meningkat tajam hingga hampir 125 persen dibandingkan tahun lalu. Menurut Kantor Terpadu PBB di Haiti, lebih dari dua ribu orang tewas dan seribu lainnya diculik dari bulan Januari hingga Juni.

“Pemerintah Haiti telah gagal melindungi orang-orang dari kekerasan kelompok kriminal. Bagi mereka yang tinggal di daerah yang terkena dampak, polisi dan pihak berwenang lainnya hampir tidak ada,” kata Human Rights Watch.

Akibat meningkatnya kekerasan geng, lebih dari 190 ribu warga Haiti telah meninggalkan rumah mereka sejak tahun lalu. Beberapa dari mereka pergi dari negara tersebut, sementara yang lainnya terpaksa tinggal di tempat penampungan darurat dengan kondisi kebersihan yang memprihatinkan.

Baca Juga: Warga Haiti Demo Tuntut Jaminan Keamanan dari Pemerintah

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya