Ribuan Mahasiswa Inggris Gagal Lulus Gegara Dosen Tolak Berikan Nilai

Para dosen menuntut perbaikan gaji dan kondisi kerja mereka

Jakarta, IDN Times - Ribuan mahasiswa di Inggris tidak bisa lulus akibat aksi industrial yang dilakukan oleh staf akademik di seluruh negeri. Para dosen di sekitar 140 universitas telah menolak untuk menilai ujian dan tugas kuliah mahasiswa, sebagai bentuk protes terhadap gaji dan kondisi kerja mereka.

“Karena pemboikotan nilai, mereka tidak memiliki nilai yang cukup untuk memastikan saya bisa lulus,” kata Hafsa Yusuf, mahasiswa jurusan sastra Inggris berusia 21 tahun, yang seharusnya lulus minggu lalu.

Melansir Associated Press, Yusuf mengaku telah menghabiskan 255 dolar AS (sekitar Rp3,8 juta) untuk menyewa gaun wisuda, fotografer, dan tiket untuk keluarganya menghadiri upacara tersebut.

Namun hanya dua minggu sebelum hari itu tiba, Queen Mary University of London mengirimkan email yang mengatakan, dia tidak bisa lulus karena aksi industrial yang dilakukan oleh staf akademik.

“Kami semua membayar seperti biasa, hanya untuk mendapatkan email dua minggu sebelumnya yang mengatakan Anda tidak bisa wisuda," keluhnya. 

1. Pemboikotan nilai dimulai sejak 20 April

Aksi itu merupakan bagian dari tindakan yang diambil oleh anggota University and College Union (UCU) di 145 institusi Inggris. UCU mengatakan, protes telah dimulai sejak 20 April dan berlanjut sampai pimpinan mereka membuat tawaran yang lebih baik terkait upah dan kondisi kerja, dikutip dari BBC.

Tidak jelas berapa banyak mahasiswa yang terdampak aksi itu, namun UCU memperkirakan ada puluhan ribu mahasiswa yang tidak dapat lulus pada musim panas ini. Gangguan itu juga tampaknya akan berlanjut sampai tahun akademik berikutnya.

Yusuf mengatakan, sedikitnya 130 mahasiswa dari fakultasnya, sekolah Bahasa Inggris dan Drama, terdampak oleh kebijakan itu tanpa mengetahui sampai kapan mereka bisa mendapatkan nilai.

Ketidakpastian ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mahasiswa internasional yang harus menghadapi kerumitan dan biaya tambahan untuk tetap tinggal di Inggris. Mereka yang ingin tinggal untuk mencari pekerjaan hanya dapat mengajukan visa pascasarjana setelah menematkan studinya. 

Yusuf, yang ingin berkarir sebagai pengajar, sudah mendapatkan tempat dalam program pelatihannya mulai September. Meski dia telah memperoleh transkrip nilai dari universitas, namun dia khawatir itu tidak cukup karena dirinya belum mendapatkan gelar.

Baca Juga: Australia Izinkan Kuda Liar Ditembak dari Udara untuk Kurangi Populasi

2. Mahasiwa menyalahkan para pemimpin universitas

Rekan sekelas Yusuf, Saja Altamimi, mengatakan dia tetap menghadiri upacara kelulusannya, meskipun belum mendapatkan nilai akhir. Meski dosen yang bertanggung jawab atas disertasinya tidak terlibat dalam pemboikotan itu, dia masih menunggu nilai dari beberapa mata kuliah lainnya.

Kemarahan dan frustrasinya tidak ditujukan kepada dosen, melainkan kepada para pemimpin universitas. Dia dan mahasiswa lainnya berpendapat bahwa kepemimpinan perguruan tinggi memiliki kekuatan untuk menghentikan gangguan yang terjadi, namun mereka memilih untuk tidak mau bernegosiasi soal itu.

Altamimi mengenakan selempang merah muda cerah bertuliskan "Selesaikan perselisihan" pada upacara kelulusannya sebagai bentok protes.

"Saya memutuskan untuk memamerkan selempang saya, untuk menyebarkan pesan itu. Saya sama sekali tidak kecewa dengan dosen saya, saya menghargai dan menghormati keputusan mereka. Kami hanya ingin menunjukkan solidaritas dengan cara apa pun yang kami bisa," katanya.

Di tempat lain, mahasiswa yang lulus menolak untuk berjabat tangan dengan pimpinan universitas di atas panggung. Sebagai lainnya juga meneriakkan "Bayar pekerjamu!" di upacara kelulusan.

3. Tidak akan ada kenaikan gaji

UCU juga menyalahkan pemimpin perguruan tinggi karena membiarkan para mahasiswanya tidak bisa lulus. Menurut kelompok serikat itu, universitas memiliki pendapatan surplus yang cukup untuk menaikkan gaji staf hingga 10 persen, tetapi mereka menolak untuk menawarkan kenaikan gaji.

“Gaji rekan-rekan saya telah menurun secara nyata, telah dipotong sekitar 20 hingga 25 persen selama 10 tahun terakhir. Dan meskipun ada peningkatan yang sangat, sangat bertahap, ini jauh di bawah tingkat inflasi,” kata Tanzil Chowdhury, dosen hukum senior di Queen Mary University.

Dia menambahkan bahwa mayoritas staf akademik di Inggris bekerja terlalu banyak dan telah lama menanggung kontrak yang tidak sesuai. Dia juga mengakui bahwa pemboikotan nilai itu sangat berdampak bagi mahasiswa.

“Kami tidak menganggap enteng keputusan ini. Kami mengambil keputusan ini dengan pengorbanan besar untuk diri kami dan mahasiswa kami. Tetapi kami ingin menciptakan kondisi kerja yang lebih baik sehingga kami dapat berkembang dengan cara yang juga memungkinkan bagi mahasiswa kami untuk berkembang," tutur Chowdhury.

Asosiasi Pengusaha Universitas dan Perguruan Tinggi, yang mewakili perguruan tinggi dalam negosiasi dengan serikat pekerja, mengatakan bahwa tidak ada kenaikan gaji hingga 2024. Namun, pihaknya menegaskan bahwa mereka siap untuk bernegosiasi tentang masalah lain seperti beban kerja dan jenis kontrak.

Bagi mahasiswa yang terjebak di tengah perselisihan tersebut, perasaan kebingungan dan kekesalan akibat tertundanya wisuda sangatlah nyata.

“Kami merasa hak kami untuk lulus telah dicabut, terutama setelah membayar begitu banyak uang dan setelah terkena dampak lockdown COVID dan pengajaran online," kata Sophia Shahid, mahasiswa lain di Queen Mary.

Baca Juga: Kisah Warga Muslim Trauma Usai Jadi Korban Persekusi Umat Hindu India

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya