Macron Akui Kekerasan Pasukan Prancis di Kamerun

- Kamerun merupakan koloni Jerman yang dibagi antara Inggris dan Prancis.
- Perang kemerdekaan pecah pada 1950-an dengan Partai UPC memperjuangkan kedaulatan penuh.
- Macron siap bekerja sama dengan Kamerun dalam penelitian lanjutan.
Jakarta, IDN Times – Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengakui adanya kekerasan yang dilakukan pasukan negaranya di Kamerun selama dan setelah perjuangan kemerdekaan negara Afrika Tengah itu. Pernyataan ini disampaikan melalui surat kepada Presiden Kamerun, Paul Biya, yang dipublikasikan Selasa (12/8/2025).
“Saat ini saya bertanggung jawab untuk mengakui peran dan tanggung jawab Prancis dalam peristiwa-peristiwa tersebut,” tulis Macron.
Dilansir dari The Hindu, pengakuan ini muncul setelah laporan gabungan sejarawan Kamerun dan Prancis dipublikasikan. Laporan tersebut dibentuk saat kunjungan Macron ke Yaoundé pada 2022 untuk meneliti penindasan gerakan kemerdekaan dari 1945 hingga 1971.
Temuan itu mengungkap perang di Kamerun yang melibatkan kekerasan represif, pengungsian massal, penahanan ratusan ribu warga di kamp interniran, hingga dukungan pada milisi brutal yang terus berlanjut setelah kemerdekaan pada 1 Januari 1960.
1. Latar belakang perjuangan kemerdekaan Kamerun
Sebelum Perang Dunia I berakhir, Kamerun merupakan koloni Jerman yang kemudian dibagi antara Inggris dan Prancis. Wilayah di bawah administrasi Prancis meraih kemerdekaan pada 1960, disusul penggabungan Kamerun Selatan yang dikuasai Inggris ke dalam federasi pada tahun berikutnya.
Perang kemerdekaan pecah pada 1950-an ketika Partai Union des Populations du Cameroun (UPC) memulai perjuangan bersenjata untuk kedaulatan penuh dan penyatuan wilayah.
Macron menyinggung empat tokoh kemerdekaan yang tewas dalam operasi militer Prancis antara 1958 dan 1960, yakni Ruben Um Nyobe, Paul Momo, Isaac Nyobè Pandjock, dan Jérémie Ndéléné. Laporan sejarawan itu mencatat puluhan ribu korban jiwa terjadi antara 1956-1961, bahkan setelah kemerdekaan, karena pemerintah Kamerun yang mendapat dukungan Prancis terus memerangi UPC.
2. Penelitian lanjutan dan perdebatan soal reparasi
Macron menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan Kamerun dalam mendorong penelitian lanjutan terkait tindakan kolonial Prancis. Ia menekankan pentingnya hasil temuan tersebut dibuka untuk universitas dan lembaga ilmiah di kedua negara.
Meski tidak membahas tuntutan reparasi, isu ini diperkirakan akan menjadi topik penting di Kamerun, sementara BBC masih menunggu respons resmi dari pemerintah negara itu atas pengakuan Macron.
3. Jejak kolonial Prancis di Afrika

Di bawah kepemimpinan Macron, Prancis telah mengambil langkah menghadapi masa lalunya sebagai penjajah. Termasuk di antaranya pengakuan atas peristiwa pembantaian 1944 di Senegal, pengakuan peran dalam genosida Rwanda 1994 yang menewaskan sekitar 800 ribu orang, hingga pernyataan pada 2021 bahwa Prancis terlalu lama menghargai keheningan daripada memeriksa kebenaran.
Dilansir dari BBC, pada 2017, Macron menyebut penjajahan Aljazair sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan meski menegaskan tidak akan ada permintaan maaf resmi, melainkan tindakan simbolis untuk rekonsiliasi.
Warisan kolonial Prancis tetap menjadi isu sensitif, terutama di kawasan Sahel. Beberapa negara seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger bahkan memutuskan hubungan dengan Prancis, menuding Paris masih mempertahankan kendali neo-kolonial di wilayah tersebut.