Presiden Afrika Selatan Salahkan NATO dalam Perang Ukraina-Rusia

Ekspansi NATO picu ketidakstabilan 

Jakarta, IDN Times - Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa pada Kamis (17/3/2022), menolak untuk mengecam tindakan Rusia di Ukraina. Menurutnya, perang dapat dihindari jika NATO memperhatikan peringatan para pemimpin negara-negara aliansi itu saat melakukan ekspansi ke Eropa Timur.

Afsel kerap berdiri sebagai negara netral dalam setiap konflik antar negara. Rekam jejak negara tersebut dalam penghapusan apartheid, telah menempatkannya sebagai salah satu negara yang dihormati.

Ramaphosa juga mengatakan dia sedang didekati oleh beberapa pihak untuk menjadi mediator dalam perang Rusia-Ukraina. Tapi dia tidak menyebutkan secara rinci pihak mana yang telah meminta negara tersebut untuk posisi itu.

Baca Juga: Sekjen NATO: Rusia Mungkin Gunakan Senjata Kimia di Ukraina

1. Ekspansi NATO picu ketidakstabilan

Presiden Afrika Selatan Salahkan NATO dalam Perang Ukraina-RusiaPresiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa (Twitter.com/PresidencySouth Africa)

Invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari dinamai oleh Moskow sebagai operasi militer khusus. Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, operasi itu dilakukan untuk melakukan pencegahan terjadinya genosida. Selain itu, operasi juga untuk melakukan denazifikasi.

Ukraina dan negara-negara Barat menilai alasan Putin tidak masuk akal. Meski begitu, perang terjadi dan ribuan orang telah tewas sampai saat ini. Upaya pembicaraan damai terus berlangsung bagi pihak-pihak terkait.

Pada hari Kamis, Presiden Afsel Ramaphosa berbicara di depan parlemen. Dilansir Reuters, dia mengatakan "perang dapat dihindari jika NATO mengindahkan peringatan dari para pemimpin dan pejabatnya sendiri selama bertahun-tahun bahwa ekspansi ke arah timur akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar, tidak kurang, di kawasan itu."

Presiden Ramaphosa mengungkapkan bahwa secara pribadi Putin telah meyakinkannya tentang negosiasi dengan Ukraina dan telah membuat kemajuan. Ramaphosa juga mengatakan ingin bericara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, tapi itu belum terjadi.

Baca Juga: Mengenal Denazifikasi, Alasan yang Diumbar Putin untuk Serang Ukraina

2. Ramaphosa tidak sepakat dengan pelanggaran hukum internasional

Meskipun Presiden Afsel mengatakan NATO bisa disalahkan karena melakukan ekspansi yang memicu ketidakstabilan, tapi dirinya juga tidak sepakat dengan penggunaan kekuatan. Dia juga tidak setuju dengan pelanggaran hukum internasional.

Menurut Al Jazeera, Ramaphosa mengatakan bahwa "Afrika Selatan tidak dapat memaafkan penggunaan kekuatan dan pelanggaran hukum internasional." Kalimat itu bisa merujuk pada invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari sampai saat ini.

Afrika Selatan memiliki hubungan diplomatik yang dekat dengan negara-negara Barat. Tapi negara itu juga menjalin hubungan dengan Moskow. Afrika selatan tergabung dalam sebuah kelompok bernama BRICS. Itu adalah akroniom dari Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa. Presiden BRICS adalah Vladimir Putin dan itu pertama kali dibentuk pada tahun 2006. Afrika Selatan adalah anggota terakhir dalam kelompok itu.

Baca Juga: Kesuksesan Putin di Perang Chechnya Tuai Tenaga untuk Invasi Ukraina

3. Afrika Selatan diminta untuk jadi penengah

Presiden Afrika Selatan Salahkan NATO dalam Perang Ukraina-RusiaVladimir Putin dan Cyril Ramaphosa (Twitter.com/Cyril Ramaphosa)

Sejauh ini ada beberapa negara yang telah mencoba untuk menjadi tuan rumah bagi pembicaraan masalah Rusia-Ukraina. Baru-baru ini, Israel dan Turki telah mengambil perannya. Bahkan Turki telah mengundang Rusia dan Ukraina untuk melakukan pembicaraan penyelesaian masalah di negaranya.

Ramaphosa juga mengatakan pada Jumat, bahwa ada pihak yang telah meminta Afrika Selatan untuk jadi mediator dalam perang Rusia-Ukraina. Tapi dia tidak merinci pihak mana yang memintanya.

Menurut Ramaphosa, dilansir US News, "ada orang-orang yang bersikeras bahwa kita harus mengambil sikap yang sangat bermusuhan terhadap Rusia. Pendekatan yang akan kita ambil (sebagai gantinya) adalah bersikeras bahwa harus ada dialog."

"Berteriak dan berteriak tidak akan mengakhiri konflik ini," tambah Presiden Afsel tersebut.

Di masa lalu, Afsel memiliki ikatan kuat dengan Uni Soviet. Banyak pasukan dan aktivis antiapartheid Afsel yang mendapatkan pelatihan dari Soviet selama Perang Dingin. Afsel termasuk sebagai negara pelopor perdamaian, yang menghapus politik apartheid dari negaranya.

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya