AS Batalkan Dana Rp11,4 Triliun untuk Vaksin Flu Burung Moderna

- Donald Trump membatalkan kontrak Moderna senilai 700 juta dolar AS untuk vaksin flu burung, menimbulkan kekhawatiran kesiapan menghadapi pandemi H5N1.
- Pembatalan kontrak oleh pemerintahan sebelumnya dinilai minim pengawasan, sementara Menteri Kesehatan Robert F. Kennedy Jr. menyarankan imunitas alami sebagai solusi.
- Pembatalan ini menjadi pukulan bagi Moderna yang mengandalkan vaksin mRNA baru dan menimbulkan kekhawatiran terhadap kelanjutan investasi dalam teknologi mRNA.
Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Donald Trump membatalkan kontrak senilai lebih dari 700 juta dolar Amerika Serikat (AS) (Rp11,4 triliun) dengan Moderna untuk pengembangan vaksin flu burung bagi manusia. Keputusan yang dikeluarkan pada Rabu (28/5/2025) ini, mencakup penghentian hak pembelian vaksin dan menimbulkan kekhawatiran terkait kesiapan menghadapi potensi pandemi H5N1.
Pembatalan terjadi di tengah wabah flu burung yang telah menewaskan 166 juta ayam di AS sejak 2022, menginfeksi 70 orang, dan menjangkiti hampir 1.000 peternakan sapi perah. Padahal, teknologi mRNA Moderna dinilai sebagai solusi cepat untuk merespons ancaman pandemi.
1. Latar belakang pembatalan kontrak
Pada Januari 2025, pemerintahan Joe Biden mengalokasikan 590 juta dolar AS (Rp9,6 triliun) kepada Moderna untuk pengembangan vaksin flu burung, termasuk uji klinis lima subtipe influenza pandemi. Sebelumnya, pada 2024, Moderna juga menerima 176 juta dolar AS (Rp2,8 triliun) untuk tahap akhir pengujian vaksin mRNA, dikutip US News.
Namun, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS) mengumumkan pembatalan kontrak tersebut sebagai bagian dari evaluasi ulang pengeluaran masa pemerintahan sebelumnya yang dinilai minim pengawasan.
“Meskipun kesiapan pandemi penting, kurangnya pengawasan selama empat tahun terakhir memaksa kami mengevaluasi kembali kontrak vaksin,” ujar juru bicara HHS, dikutip dari Axios.
Langkah ini juga dipengaruhi pandangan skeptis Menteri Kesehatan Robert F. Kennedy Jr., yang menyarankan agar peternak membiarkan flu burung menyebar demi menemukan ayam kebal alami. Pernyataan ini dikritik kalangan ilmiah karena dianggap memperparah penyebaran virus.
2. Dampak bagi Moderna dan industri vaksin
Keputusan ini menjadi pukulan bagi Moderna yang mengandalkan vaksin mRNA baru—termasuk flu burung dan kombinasi COVID-flu—untuk menutupi penurunan permintaan vaksin COVID-19. Moderna sebelumnya melaporkan hasil positif uji coba menengah vaksin flu burung subtipe H5 yang menunjukkan keamanan dan respons imun kuat.
“Kami kecewa, namun akan mencari mitra baru untuk melanjutkan pengembangan vaksin ini,” ujar juru bicara Moderna, dikutip dari Bloomberg.
Perusahaan tetap berencana mempresentasikan data uji coba dan melanjutkan ke tahap akhir pengembangan.
Pembatalan ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kelanjutan investasi dalam teknologi mRNA. Jesse Goodman, mantan kepala divisi vaksin FDA, menilai keputusan tersebut dapat melemahkan kesiapan AS menghadapi pandemi di masa depan.
3. Kekhawatiran terhadap kesiapan pandemi
Wabah H5N1 telah menimbulkan krisis di sektor peternakan, dengan lonjakan harga telur akibat kematian massal ayam. Virus juga ditemukan pada 973 peternakan sapi perah di 17 negara bagian dan menyebabkan satu kematian manusia pada 2024. Meski Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebut risiko penularan antarmanusia masih rendah, para ahli menekankan pentingnya ketersediaan vaksin.
Michael Osterholm, Direktur Pusat Penelitian Penyakit Menular Universitas Minnesota, menegaskan bahwa vaksin mRNA sangat krusial.
“Jika pandemi flu burung terjadi, kita akan kekurangan vaksin. Teknologi mRNA adalah harapan utama,” ujarnya, dikutip ABC News. Ia menyayangkan pembatalan yang dapat menghambat uji coba tahap akhir.
Sementara itu, pada Kamis (20/3/2025), Departemen Pertanian AS mengumumkan investasi 100 juta dolar AS (Rp1,6 triliun) untuk penelitian vaksin flu burung pada unggas. Namun, hingga kini belum ada vaksin yang disetujui untuk manusia. Pendekatan imunitas alami yang didorong Kennedy tetap menuai kritik karena dianggap berisiko memperburuk penyebaran virus.