Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!

"Saya ngerokok sambil ngeliat rudal, dengar bom"

Jakarta, IDN Times – Iskandar pertama kali menginjakkan kaki di Ukraina pada 2017. Pria asal Binjai, Sumatera Utara ini hijrah ke Eropa timur demi mendulang pundi-pundi rupiah. Sehari-harinya, Iskandar bekerja sebagai quality control untuk pabrik plastik yang berlokasi di Chernihiv.

“Saya ke Ukraina itu sebagai TKI (tenaga kerja Indonesia) di pabrik Caravan Group,” kata dia, dengan aksen Sumatera Utara yang sangat kental, kepada IDN Times.

Ukraina bukan negara pertamanya untuk mengadu nasib. Pengalaman bekerja di luar negeri dimulai dari Malaysia pada tahun 2000, ketika dia bekerja sebagai operator mesin di pabrik pembuatan plastik.

Iskandar memang akrab dengan anatomi mesin, karena di Binjai ia sempat bekerja sebagai penyedia jasa servis untuk barang-barang elektronik.

Setelah 10 tahun bekerja di Malaysia, pria berusia 46 tahun ini kemudian memutuskan pindah ke Yordania. Iskandar mendapat tawaran lebih menggiurkan dari klien yang sering membeli produk dari pabrik tempatnya bekerja.

Tahun 2010 Iskandar memulai babak barunya di Timur Tengah. Dia bekerja di Yordania selama 7 tahun, sampai sang bos memutuskan untuk memindahkan pabriknya ke Ukraina. Alasan utamanya karena pangsa pasar terbesar berada di negara tersebut. 

“Akhir 2017 saya pindah ke Ukraina, tepatnya di Chernihiv yang berbatasan langsung dengan Belarus,” katanya.

Hidup di akar rumput Ukraina

Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!Ilustrasi Kota Chernihiv (instagram.com/chernihiv_ua)

Setelah melalang buana ke berbagai negara dan bersentuhan dengan banyak budaya, tak ayal Iskandar menjadi sosok yang mudah bergaul dengan lingkungan baru. Di Ukraina, Iskandar memiliki teman dari berbagai kalangan, mulai dari buruh, pebisnis, polisi, bahkan tentara.

Bergaul dengan militer asing mungkin terdengar aneh. Namun, bagi Iskandar, itu adalah hal yang lumrah karena dia tinggal di perbatasan. Dia sering ngopi bareng dengan pria berseragam yang mengantongi pistol, atau bahkan mereka yang menggendong senjata laras panjang.

“Ya biasa kalau saya sama mereka (tentara Ukraina) tegur-teguran, minta rokok, ngobrol,” katanya.

Bergaul di akar rumput membuat Iskandar memahami makna nasionalisme bagi warga Ukraina. Iskandar merasa hidup di tengah masyarakat yang mencintai negara dan pemerintahannya. Sebagai orang asing, Iskandar juga tidak pernah mendapat perlakukan diskriminatif.

“Sehari-hari kehidupan normal, warganya sangat welcome dengan saya. Gak pernah saya lihat ada keributan. Semuanya sopan dan gak rusuh,” demikian kesan Iskandar setelah hidup bertahun-tahun di Ukraina.

Keseharian Iskandar dengan warga Ukraina tak luput dari obrolan seputar Rusia. Dia paham bahwa orang-orang di sekitarnya tidak membenci Rusia. Mereka juga sadar dilahirkan dari rumpun yang sama, bak orang Indonesia dan Malaysia dengan ras Melayu. 

Banyak dari mereka bahkan memiliki ikatan emosional dengan Rusia. Sebab kakek, nenek, atau koleganya masih ada yang tinggal di sana. Tentu bukan hal aneh, mengingat dulunya dua negara itu bagian dari Uni Soviet. Pun bukan hal tabu jika warga Ukraina berbicara dengan bahasa Rusia.

“Jadi bohong kalau dibilang yang berbahasa Rusia itu disiksa atau didiskriminasi di sini. Saya juga kadang-kadang berbahasa Rusia,” ujar Iskandar.

Iskandar berani menegaskan bahwa yang dimusuhi oleh warga Ukraina adalah pemerintahan Rusia. Bukan saja Rusia dalam definisi modern. Melainkan ‘Rusia’ ketika menjadi pusat Uni Soviet.

“Kalau kata teman-teman, Ukraina merasa seperti sapi perahnya Soviet. Tanahnya kan subur, tapi para petani gak pernah menikmati hasilnya. Yang dibenci oleh mereka itu bukan warga Rusia, tapi pemerintahannya,” ungkap Iskandar.

“Dan mereka sudah capek sejak zaman Soviet. Nah mereka semakin marah sejak Rusia mencaplok Krimea. Akhirnya setiap hari, kalau ngomog soal Rusia, mereka pasti mencaci maki, marah. Itu bahkan jauh sebelum perang ya,” sambungnya.

Berang menggunung inilah yang mendasari Ukraina untuk ‘berpisah’ dengan Rusia di persimpangan jalan, dengan memilih Uni Eropa sebagai masa depannya. Sehingga, bukan hal aneh jika isu global menjadi bahasan di warung kopi.

Iskandar sering mendapati warga Ukraina yang mengeluh karena pendapatannya kecil. Jika mereka digaji sekitar 400 dolar AS per bulan, maka buruh di Polandia dengan pekerjaan yang sama bisa diupahi hingga seribu dolar AS per bulan.

Atas dasar itu pula reformasi besar-besaran terjadi pada 2014, ketika Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia dikudeta dari pemerintahan. Pemicunya adalah Yanukovych menangguhkan pembicaraan ihwal pakta perdagangan dengan Uni Eropa pada 2013. Alasannya tidak lain menjaga kemesraan dengan Moskow. 

Mirisnya, penggulingan Yanukovych harus ditukar dengan lebih dari 120 nyawa, akibat bentrokan antara demonstran dengan aparat.

Kebencian makin tak terbendung ketika Rusia, di bawah rezim Vladimir Putin, mengirim pasukan untuk mencaplok Krimea pada 2014. Peristiwa Krimea juga menjadi noktah hitam dalam sejarah Eropa modern, karena ribuan nyawa melayang imbas rudal dan peluru yang saling berbalas. 

“Orang Krimea itu awalnya dijanjikan, setelah dicaplok nanti gajinya dinaikkan 2-3 kali lipat. Tapi setelah 1-2 bulan, mereka malah ditekan, gajinya gak naik, malah ada yang gak diberikan gajinya. Makin bencilah Ukraina dengan pemerintah Rusia,” ungkap Iskandar, yang mendengar pengakuan dari temannya.

Mobilitas militer yang tidak biasa

https://www.youtube.com/embed/BaiNxJ7yeos

Selama lima tahun di Chernihiv, Iskandar tinggal di mess yang disediakan oleh pabrik. Mess berada di lantai atas, sementara pabrik di lantai bawah. Iskandar tidak sendiri. Dia tinggal bersama delapan TKI lainnya dan dua warga Nepal.

Iskandar lebih sering menghabiskan waktu di lingkungan pabrik. Biasanya, dia meninggalkan kawasan mukim hanya seminggu sekali untuk mengikuti Salat Jumat.

“Aktivitas paling di situ-situ saja. Tapi kalau kita kerja siang, ya malamnya kadang-kadang keluar, belanja,” katanya.

Ketika media Barat mulai memberitakan tentang ancaman invasi Rusia, Iskandar memilih untuk tidak ambil pusing. Warga sekitar juga menanggapi berita itu tak lebih dari rumor belaka. Sekalipun ada yang percaya, mereka yakin Chernihiv bukan target utama Rusia.

“Di Chernihiv itu gak ada apa-apa kecuali warga biasa. Mereka (Rusia) maunya Kiev. Warga Ukraina juga yakin Putin gak sekejam itu untuk menyerang kami,” kata Iskandar.

Ancaman invasi mulai mengganggu pikiran Iskandar sejak setiap kali dia keluar dari pabrik, pemandangan yang disaksikan adalah mobilisasi militer Ukraina. Lama kelamaan, dia makin sering melihat kendaraan tempur melintasi pabrik.

“Sekitar satu bulan sebelum invasi, pas media geger, konvoi tank dan tentara itu setiap hari dikerahkan ke perbatasan (Belarus). Teman saya yang tentara juga bilang sudah siap berperang, yang di perbatasan juga sudah mulai nyetok makanan,” ungkap Iskandar.

Sementara itu, ramai pula diberitakan Rusia menumpuk pasukannya di Belarus dengan kedok latihan militer gabungan. Kremlin sempat berkelit tidak akan menyerang Ukraina. Sementara, media-media Barat meyakini bahwa pasukan Rusia akan memasuki Ukraina melalui perbatasan Belarus.

Kendati khawatir, Iskandar masih menjalani rutinitas hariannya, karena tidak ada peringatan atau imbauan apa pun seputar perang dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kiev atau pemerintah Ukraina.

“Beberapa hari sebelum invasi, kami sempat Zoom-an dengan Pak Dubes (Ghafur Akbar Dharmaputra) untuk mengabarkan kondisi perbatasan. Waktu itu saya berpikir (karena ada pertemuan virtual), KBRI mungkin sudah mempersiapkan evakuasi kalau ada invasi. Ya akhirnya saya rileks," katanya.

Sampai tiga hari sebelum invasi, ketika media Barat sudah memperingatkan ancaman agresi dengan artikel bertajuk “Rusia akan menyerang Ukraina dalam waktu dekat”, bersamaan dengan tank dan militer dari masing-masing negara yang sudah bersiaga di perbatasan, Iskandar ternyata masih sempat nongkrong dengan warga sipil dan tentara.

“Itu semuanya masih enjoy, kami bareng warga sipil dan tentara yang pegang senjata, tapi kami tetap kumpul gak ada rasa takut. Orang-orang wajahnya biasa, gak panik,” tutur Iskandar.

Dia juga masih berbincang dengan seorang koleganya yang bertugas di resimen tank, yang mengaku tidak takut dengan daya tempur salah satu negara adidaya di dunia. “Tentara Rusia itu gak berpengalaman, masih anak-anak semua, gak pandai mereka pegang senjata,” kata Iskandar, meniru ucapan temannya.

Tanpa tahu apa yang terjadi di masa mendatang, ternyata momen itu menjadi kesempatan terakhir bagi Iskandar kongkow dengan kolega Ukraina-nya.

Rudal melintasi langit Ukraina

https://www.youtube.com/embed/CcTY2tBO194

Kamis, 24 Februari 2022, Iskandar memulai harinya dengan Salat Subuh. Tak lama berselang, ia dikejutkan dengan rudal yang melintasi langit Ukraina. Iskandar segera mencari gawai untuk mengetahui apa yang terjadi.

Hingga pagi itu, ia masih tidak percaya bahwa mimpi buruk yang selama ini digaungkan oleh media Barat menjadi kenyataan.

“Tembakan pertama itu kira-kira subuh. Saya dengar suara rudal dari arah Belarus melintasi Chernihiv. Terus saya baca di hp, ternyata ada operasi militer,” tutur Iskandar.

Pagi itu, Putin mengumumkan bahwa dia telah mengizinkan ‘operasi militer khusus’, kebijakan yang disebut oleh negara-negara Barat sebagai invasi. Putin menjelaskan bahwa tujuannya adalah demiliterisasi Ukraina.

"Saya telah memutuskan untuk melakukan operasi militer khusus. Tujuannya adalah melindungi orang-orang yang menjadi sasaran intimidasi dan genosida selama delapan tahun terakhir. Dan untuk ini kami akan berjuang demi demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina,” kata Putin.

"Dan untuk membawa ke pengadilan mereka yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk terhadap warga Rusia,” tambahnya.

Rudal jelajah menjadi gong bahwa perang telah dimulai. Sekitar pukul 08.00 waktu setempat, pasukan Rusia dan tank mulai masuk mengarah ke ibu kota Kiev. Dari tempat tinggalnya, Iskandar melihat asap membubung, dentuman menggelegar, dan suara tembakan yang tak terhentikan.

Chernihiv pagi itu, kata Iskandar, sangat mengerikan. Sekitar 1 kilometer dari pabrik, terdengar suara rudal hampir setiap 15 menit. Bersahutan dengan tembakan artileri.

"Duaar. Duung," kata Iskandar, meniru bunyi senjata pasukan Rusia. 

"Dan itu suaranya gak monoton di satu tempat, ledakannya ada di mana-mana,” sambungnya, seraya menyampaikan bahwa Ukraina juga membalas setiap serangan yang datang.

Memasuki jam kerja, belum ada imbauan bagi karyawan untuk menghentikan aktivitas pabrik. Akhirnya semua karyawan pun tetap berangkat kerja. Hingga pukul 10, ketika perang makin intens, salah seorang karyawan bertanya kepada direktur pabrik tentang bagaimana kelanjutan nasib mereka.

Tanpa pikir panjang, sang direktur memutuskan untuk menghentikan sebagian aktivitas pabrik. Sebelum pulang semua karyawan diminta untuk beres-beres. Setelah itu, Iskandar dan mereka yang tinggal di mess memutuskan untuk membeli banyak kebutuhan pokok.

“Kami niatnya mau nyetok makanan. Tapi ternyata kami gak bisa belanja, gak bisa ambil duit juga, karena antreannya panjang banget. Mungkin ratusan orang yang antre,” kata Iskandar. 

Dia menambahkan, “ada panic buying dan rush money, itu suara bom di mana-mana, tapi uniknya semua orang masih melakukan aktivitasnya. Masih teratur antre, karyawan supermarket masih berjaga.”

Iskandar kemudian memutuskan kembali ke mess. Beruntung, direktur pabrik tidak keberatan menanggung kebutuhan pokok karyawannya.

Dalam 24 jam pertama sejak Rusia melancarkan invasi, Iskandar mendapati kabar bahwa ada 160 rudal yang melucur dari Belarus. Awalnya, Iskandar sedikit merasa aman karena Rusia tidak menargetkan objek sipil. Dia juga masih percaya Rusia tidak akan menghancurkan Chernihiv secara membabi-buta.

Namun, di hari-hari berikutnya, Rusia menggila. Mereka mulai menyasar infrastruktur sipil yang berada di dekat pabrik. Iskandar dan teman-temannya makin tertekan. Dia tidak mampu lagi bekerja dengan dentuman dan rudal yang lalu lalang.

“Jadi kami belum tutup mesin, karena bos yakin paling perang cuma 3 atau 4 hari. Terus saya bilang, ‘bos, pikiran kita ini sudah kacau. Bom di mana-mana’. Akhirnya Jumat sore semua mesin benar-benar ditutup. Karena sebelumnya masih ada 2-3 mesin yang beroperasi,” ungkap Iskandar.

Baca Juga: Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?

Terjebak di pabrik

Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!Kondisi pabrik tempat Iskandar bekerja setelah diserang Rusia (Dok. IDN Times/Istimewa)

Akibat tank dan tentara yang hilir mudik, Iskandar bersama sembilan TKI lainnya harus terjebak di Chernihiv selama 22 hari. Sekitar 19 hari di pabrik dan 3 hari lainnya di tempat penampungan sementara. 

Mereka tidak bisa keluar pabrik. Iskandar beruntung memiliki bos baik hati, yang rela memenuhi kebutuhan pegawainya yang terperangkap di tengah perang.

Setiap hari, si bos selalu mengantarkan kentang, beras, dan mie ke pabrik. Bos juga melarang Iskandar cs untuk meninggalkan kawasan pabrik.

“Kami benar-benar terjebak. Gak bisa belanja, gak bisa ambil duit. Beruntung makanan kami disuplai oleh perusahaan. Makan tetap tiga kali sehari, tapi ya apa adanya, gak pernah kelaparan pokoknya,” kata Iskandar. 

Proteksi yang dilakukan oleh pemilik perusahaan ternyata menimbulkan mispersepsi di “dunia luar”. Tersiar kabar bahwa Rusia, yang pasukannya lalu-lalang di Chernihiv, menyandera para buruh asing. Mereka disebut bakal dijadikan sebagai human shield

“Padahal nyatanya tidak demikian. Kami masih bertemu dengan tentara Ukraina, kami tegur, kami minta rokok, kami ngobrol. Karena memang tentara tinggalnya di sekitar pabrik. Gak ada mereka anggap kami sebagai sandera,” kata Iskandar, yang juga heran kenapa dan bagaimana isu itu bisa beredar.

“Jadi pabrik kami tidak dikuasai. Karena memang pabrik kami bukan di jalur yang dilewati oleh tentara Rusia yang dari Belarus,” tambahnya. 

Awalnya, Iskandar menduga KBRI telah mempersiapkan skema evakuasi jika agresi terjadi. Asumsi itu terbantahkan dengan sendirinya ketika rute menuju Kiev-Chernihiv justru menjadi medan perang.

Jangankan kedutaan asing, otoritas setempat bahkan kesulitan untuk mengevakuasi warganya. Meski begitu, komunikasi Iskandar dengan KBRI Kiev tetap terjaga.

“Setiap hari mereka (KBRI) tanya situasi bagaimana. Mereka bilang mau mengupayakan evakuasi dari Belgorod dan Belarus. Tapi gak jadi, karena jalur evakuasinya dikuasai oleh Rusia,” kata Iskandar.

Selama 19 hari Iskandar berlindung di dalam pabrik. Dia ketakutan. Tidak ada yang dia dengar melainkan gemuruh tank, dentuman roket, dan lengkingan jet. Sesekali Iskandar mengintip situasi dari atap pabrik. Namun, apa yang dia lihat hanyalah bangunan dengan asap membubung.

“Suasanya ngeri sekali. Yang kelihatan di luar Cuma asap. Pas hari kelima, pesawat tempur mulai masuk Chernihiv. Saya takut,” tutur Iskandar.

“Suara bom, pesawat, itu terdengar sangat real. Saya sempat berpikir mungkin gak bisa selamat,” sambungnya.

Iskandar semakin resah tatkala pasukan Rusia mulai menyerang objek sipil. Kendati Kremlin membantah hal itu, tapi Iskandar melihat sendiri dampak kerusakan dari pom bensin, sekolah, perumahan warga, pos polisi, dan sejumlah pertokoan.

Di saat infrastruktur menuju pabrik semakin rusak dan bensin tidak lagi dijual, demi menjamin kebutuhan karyawannya, sang bos rela menggowes sepeda hingga 5 kilometer untuk mengirim makanan.

“Dia naik sepeda dari rumahnya setiap hari. Padahal sudah tua. Kami dibawakan makanan, rokok. Sampai saya bilang, ‘kita ini makanan masih banyak. Bos gak usah kirim makanan lagi. Bahaya di luar ledakan di mana-mana’. Tapi dia gak peduli,” kata Iskandar kepada bosnya.

Puncak ketakutan Iskandar adalah ketika pasukan Ukraina mulai mencari perlindungan di pabrik. Saat itu, dia sadar bahwa seluruh infrastruktur militer sudah hancur, sehingga memaksa mereka menjadikan instalasi sipil sebagai tempat bernaung.

“Akhirnya pabrik kami jadi markas darurat, karena memang gak ada tempat buat mereka. Kami sampai menampung 50 tentara Ukraina,” jelas dia.

Satu-satunya jalan keluar yang terpikir oleh Iskandar adalah meminta keluarganya di Indonesia mendorong pemerintah untuk segera melakukan evakuasi. Tak peduli bagaimanapun caranya. Kendatipun dia sadar kondisi di lapangan tidak memungkinkan bagi KBRI untuk mengambil tindakan. 

Dia kemudian menelepon keluarganya di Binjai. Iskandar juga menelepon sejumlah wartawan. Dia berharap pemerintah bisa mengupayakan segala cara untuk mengevakasi 9 warga Indonesia yang terjebak di pabrik.

Kejadian ini pula yang sempat menjadikan Iskandar viral. Dia sempat diwawancarai secara live untuk mengabarkan kondisi terkini di Ukraina. Dia bercerita telah terjebak berhari-hari di tengah perang. 

“Saya nyuruh keluarga dari kampung untuk mendorong pemerintah agar kami cepat dikeluarkan. Hubungin wartawan atau bagaimanalah, karena dari awal belum ada koordinasi sama sekali dengan pemerintah,” tutur Iskandar, yang saat itu sangat frustasi.

“Setelah geger, pemerintah panik, barulah pemerintah yang saya tahu mengerahkan BIN (Badan Intelijen Nasional), BAIS (Badan Intelijen Strategis), Atase pertahanan Moskow dan Warsawa. Mulai nelponin saya mereka habis itu,” tambahnya.

Saluran komunikasi kerap tidak bersahabat. Penyebabnya adalah rudal Rusia yang menyasar tower pemancar. Iskandar beberapa kali kehilangan sinyal. Bahkan, satu waktu, dia pernah kehilangan sinyal selama 24 jam menjelang wawancara dengan media.

Semua keluarganya pun kalang kabut. Panik. Berpikiran yang tidak-tidak.

“Waktu itu mau Zoom dengan wartawan, tiba-tiba mati. Internet gak bisa. Telepon gak bisa. Udahlah orang KBRI diuber-uber, lah mereka juga bingung. Begitu sinyal udah kembali, wah entah berapa banyak telepon dan WA masuk,” demikian Iskandar becerita, sembari tertawa, ketika mengingat masa itu.

Secara khusus, Iskandar berterima kasih kepada Elon Musk yang meminjamkan satelit Starlink kepada Ukraina agar tetap bisa berkomunikasi.

“Kalau gak ada itu, mungkin mati kami semua,” sambungnya.

Iskandar memilih rokok dan kopi sebagai sarana melepas penat. Dia menikmatinya di balkon pabrik. Sembari melihat rudal yang melintas di atas kepalanya. Sesekali mendengar ledakan bom yang baru dijatuhkan. 

"Takut juga kena kita di bawahnya. Tapi ya mau bagaimana lagi, kalau gak ngerokok tambah kepikiran kita,” kata dia.  

Akhirnya, evakuasi dimulai

https://www.youtube.com/embed/z_iv963T-wQ

Setelah mendengar kondisi sembilan WNI yang terjebak, KBRI Kiev segera memastikan bahwa pemerintah akan melakukan segala cara untuk mengevakuasi mereka. Menurut Iskandar, salah satu tantangan evakuasi adalah otoritas Chernihiv yang sudah meninggalkan dari kota.

“KBRI meminta bantuan Wakil Gubernur Chernihiv, tapi ternyata dia sudah tidak di Chernihiv,” tutur Iskandar. 

Doa Iskandar akhirnya terjawab saat perang memasuki hari ke-18. Kala itu, mereka didatangi oleh tiga orang bersenjata. Perawakannya mirip relawan alih-alih pasukan Ukraina. Mereka menanyakan paspor dan KTP.

Relawan itu datang entah dari mana. KBRI sendiri mengaku tidak mengirim mereka. Sampai hari ini, belum diketahui siapa yang mengutus para relawan. Kendati begitu, mereka berjanji untuk membawa Iskandar dan kawan-kawan keluar dari Chernihiv.

“Karena saya bingung, gak tahu apa-apa. Akhirnya mereka (KBRI dengan relawan Ukraina) koordinasi. Nah, saya dibilangin sama KBRI, ‘jangan pergi tanpa sepengetahuan kami. Kalau mau pergi dengan relawan harus kabari kami.’ Katanya begitu ada kesempatan, nanti langsung dievakuasi,” jelas Iskandar.

Keesokan harinya, para karyawan pabrik dipindahkan ke tempat perlindungan sementara. Semula, Iskandar menduga bahwa mereka langsung dievakuasi ke Kiev. Namun, mereka ternyata dipindahkan ke tempat lain. 

Selama tiga hari, Iskandar dan kawan-kawan tinggal di rubanah restoran yang telah dialihfungsikan menjadi dapur umum, sesuai instruksi pemerinah Ukraina. Ironisnya, justru di tempat itulah Iskandar malah kekurangan makanan.  

“Yang jemput kami relawan Ukraina, yang bekerja sama dengan tentara penjaga jalur yang mau kami lewati. Relawan ini bosnya punya restoran. Setiap hari tentara datang ke situ untuk makan atau kopi,” tutur dia.

Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!Suasana pabrik setelah diserang Rusia (Dok. IDN Times/Istimewa)

Sehari setelah tinggal di penampungan, Iskandar memperoleh kabar bahwa pabrik dijatuhi empat bom. Alhasil, setengah infrastruktur pabrik hancur.

Meski bersembunyi di rubanah dan kekurangan makanan, Iskandar secara psikologis merasa lebih nyaman. Selain karena telah keluar dari pabrik, kebetulan salah satu relawan yang bertugas di restoran adalah koleganya, yang kerap memperbaiki listrik pabrik.

Dengan demikian, Iskandar semakin yakin bahwa para relawan tidak memiliki niat jahat. 

“Karena saya kenal, akhirnya saya gak ada ragu lagi. Selain itu, saya juga nyaman bergaul dengan orang yang baru dikenal, karena orang lokal memang tidak ada yang resek. Jadi walaupun perang, saya percaya dengan orang Ukraina,” ungkapnya.

Menurut Iskandar, para WNI dijanjikan dievakuasi ke Kiev oleh petugas Mer-C. Hal itu memungkinkan karena pada awal Maret, Rusia-Ukraina telah menyepakati koridor kemanusiaan di sejumlah kota untuk mengevakuasi penduduk sipil. Tapi, mobil berlogo palang merah ternyata tak kunjung tiba.

Akhirnya, kata Iskandar, pada hari ke-22, relawan yang memindahkan mereka dari pabrik ke restoran bersedia untuk mengantarkan ke Kiev. “Waktu itu kebetulan ramai, bukan kami saja yang keluar Chernihiv, banyak juga warga Ukraina.”

Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!Para WNI yang dievakuasi dari Chernihiv dengan mobil bak bersama relawan Ukraina (Dok. IDN Times/Istimewa)

Bermodalkan mobil bak tertutup, seperti mobil paket DHL, mereka bersebelas akhirnya menerobos jalanan Chernihiv menuju ibu kota. Mereka yang menaiki mobil itu terdiri dari sopir dan dua perempuan di kursi depan. Bagian bak diisi oleh sembilan orang.

Iskandar duduk di ruang yang gelap, sumpek, dan pengap. Namun, dia rela empet-empetan demi menyelamatkan nyawa. Hanya satu kali mereka beristirahat di tengah perjalanan. Demi mengurangi rasa lelah, mereka menaruh kasur di dalam bak yang sempit itu.

Jarak antara Chernihiv dengan Kiev sekitar 140-160 kilometer. Normalnya jarak itu bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Namun, hari itu, Iskandar dan kawan-kawan harus berdiam diri di dalam bak selama lebih dari lima jam. Mereka juga harus melewati 10 cek poin. Menerabas hutan. Menjauh dari area perumahan.

“Saya duduk pas di depan pintu bak. Di setiap cek poin, nanti sopirnya kasih kode dengan mengetok. Terus pintu bak dibuka, saya tinggal tunjukin KTP,” kata Iskandar, yang hanya bisa berdoa karena tidak tahu apa yang mereka lewati. 

“Di mobil itu gak ada orang KBRI. Tapi sepertinya mereka (penjaga pos pemeriksaan) sudah dapat kabar kalau kami mau lewat. Jadi cepat pemeriksaannya,” sambungnya.

Dalam perjalanan, Iskandar sudah mengetahui bahwa mereka adalah adalah kloter evakuasi terakhir. WNI yang tinggal di berbagai kota, termasuk di Kiev atau Lviv, sudah terlebih dahulu dievakuasi ke Polandia dan Rumania.

Setibanya di Kiev pukul 14.00, Iskandar bisa bernapas lega karena tidak lagi mendengar derung jet, gemuruh tank, dan tak lagi melihat asap membubung. Dia senang karena tidak ada tanda kontak senjata di Kiev. Tanpa berlama-lama, mereka segera melanjutkan perjalanan ke Lviv dengan mobil yang sudah disiapkan oleh KBRI.

“Ke Lviv kami juga gak sama orang KBRI. Karena memang udah gak ada orang Indonesia lagi,” kata Iskandar.

Jarak antara Kiev dengan Lviv sekitar 500-600 kilometer. Pada kondisi normal, mengendarai mobil hanya membutuhkan waktu 6-7 jam. Namun, karena banyak pos pemeriksaan dan kepadatan lalu lintas, Iskandar akhirnya membutuhkan waktu sekitar 12 jam.

Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!Suasana di dalam bak mobil evakuasi WNI dari Chernihiv (Dok. IDN Times/Istimewa)

Meski tidak lagi melihat tank dan pasukan Rusia, Iskandar merasakan betapa siaga dan mencekamnya pos pemeriksaan.

“Seremlah setiap cek poin. Mereka pasang barikade, senjata lengkap, mukanya tegang-tegang. Tapi karena Rusia belum masuk di jalur (evakuasi) kami, jadi ya tenang dikitlah,” ungkap Iskandar.

“Yang jaga cek poin dari Kiev ke Lviv sudah dikasih tahu oleh KBRI. Sopirnya tinggal ngasih tahu kalau ini 9 WNI yang terjebak di Chernihiv. Akhirnya kami langsung lewat,” sambungnya.

Singkat cerita, rombongan Chernihiv tiba di rumah aman Lviv sekitar pukul 02.00 dini hari. Mereka istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan ke Polandia sekitar pukul 09.00. Perjalanan kali ini mereka sudah ditemani oleh petugas KBRI.

Iskandar tiba di Polandia pada sore hari. Sebelum bertolak ke Indonesia, mereka menjalani sejumlah protokol pencegahan COVID-19, termasuk tes PCR dan pengurusan administrasi lainnya. Mereka menghabiskan waktu satu hari satu malam di Polandia.

Akhirnya, Iskandar bersama 11 WNI lainnya yang dievakuasi paling terakhir di Ukraina tiba di Jakarta, Indonesia pada 21 Maret 2022.

“Terima kasih. Paten KBRI”

Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha (tengah) yang ikut terlibat mendampingi evakuasi 9 WNI dari Lviv menuju ke Polandia (Tangkapan layar Zoom)

Iskandar mengapresiasi kinerja baik pemerintah sepanjang proses evakuasi. Dia sadar bukan perkara mudah untuk mengeluarkan orang dari zona konflik. Di samping itu, dia juga mengerti bila KBRI Kiev sedikit “terkejut” dengan perang yang sama sekali tidak diprediksi.

“Waktu itu Pak Ghafur baru jadi Dubes di Ukraina. Jadi ya dipahamilah kalau ada yang kurang-kurang,” kata dia. 

“Tapi jempollah kalau upaya KBRI. Usahanya bagus. Yang dari Kharkiv, Kiev, dan daerah lain bisa dievakuasi cepat. Pahamlah kenapa kita telat dijemput. Jangankan orang Indonesia, orang Ukraina aja gak berani lewatin jalur kita,” sambung Iskandar.

Jika membandingkannya dengan kantor kedutaan lain, menurut Iskandar, evakuasi ini menjadi bukti betapa pemerintah Indonesia sangat bertanggung jawab terhadap keselamatan warganya di luar negeri.

“Saya ada teman asing. Dia tinggal bersama lima anak dan ibunya. Waktu kita mau evakuasi, jumpa di jalan. Saya ditanya mau kemana. Saya jawab mau keluar Ukraina. Nah itu dia cerita, ternyata kedutaan dia gak bisa bantu. Sudah gak ada orang di kantornya,” ungkapnya.

“Ada juga kedutaan yang gak tanggung jawab pas ada warganya kena bom,” tambah dia.

Iskandar menegaskan, “jauh lebih paten KBRI kita lah pokoknya.”

Jika mengingat beberapa bulan terakhir, Iskandar merasa seperti hidup di dunia tiga dimensi. Tak pernah terbesit dalam benaknya bahwa dia terjebak di zona perang namun masih bisa selamat.

Sebagai seorang TKI yang mendulang rezeki di Ukraina, Iskandar berharap perang dapat segera berakhir. Dia ingin kembali bekerja. Sebab, banyak mulut-mulut yang harus diberi makan.  

“Dari kantor gak ada tunjangan atau bantuan, karena bos pun stress. Bisnisnya hancur, pabriknya hancur. Saya mungkin kehilangan pekerjaan, tapi dia kehilangan seluruh asetnya. Beban dia lebih berat,” kata dia.

Terakhir, Iskandar menyampaikan harapannya kepada IDN Times, “ya jangan terjadi perang lagi lah, ngeri. Yang setingkat kolonel aja dengar suara rudal panik, apalagi kita. Macam mimpi pokoknya perang itu. Gak bisa dideskripsikan.”

Artikel ini didedikasikan khusus untuk almarhum Dubes Ghafur Akbar Dharmaputra bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November. Ghafur meninggal karena kanker pada 12 Mei 2022, setelah mengabdi selama 35 tahun di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 

Baca Juga: Kisah Danna Terjebak 4 Hari di KBRI Kiev: Hari Itu Menegangkan!

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Retno Rahayu

Berita Terkini Lainnya