RI Batalkan PPKM Level 3, Penasihat WHO: Pandemik Bisa Makin Sulit

Kebijakan Indonesia soal COVID-19 pasti berdampak global

Jakarta, IDN Times – Penasihat Dirjen World Health Organization (WHO) untuk Gender dan Pemuda, Diah Satyani Saminarsih, angkat suara terkait keputusan pemerintah untuk membatalkan PPKM Level 3. Menurut dia, WHO tidak bisa memaksa negara untuk mematuhi setiap rekomendasi yang telah diterbitkan.

“Saya mengingatkan bahwa hanya ada sekian yang bisa dikerjakan WHO dan WHO selalu memberikan rekomendasi terbaik, kepada negara-negara. Tapi kembali lagi, ada kedaulatan nasional,” kata Diah dalam wawancara khusus dengan IDN Times, Kamis (9/12/2021).

“Dan yang paling paham situasi di negara diasumsikan adalah para pembuat kebijakan tersebut,” tambah dia.

Baca Juga: Penjelasan Mendagri Tito soal Batalnya PPKM Level 3 saat Libur Nataru

1. Pembatalan PPKM Level 3 bisa menghambat penanganan pandemik

RI Batalkan PPKM Level 3, Penasihat WHO: Pandemik Bisa Makin SulitIlustrasi PPKM (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Keputusan pemerintah Indonesian membatalkan PPKM Level 3 menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) menjadi sasaran kritik. Sebab, mobilitas masyarakat umumnya meningkat selama Nataru. Di samping itu, dunia saat ini sedang menghadapi ancaman dari varian baru COVID-19 Omicron.

Terkait kedaulatan nasional, Diah menyinggung soal ragam kebijakan negara menghadapi varian Omicron. Namun, dia menyoroti bahwa kebijakan pelonggaran akan menghambat pandemik berakhir.

“Ada yang memperketat, ada yang biasa saja, ada yang tetap lockdown. Itu dinamika pandemik dan tidak bisa ada overrule (dari WHO),” tutur Diah.

“Kalau menurut saya, ini (pembatalan PPKM Level 3) contoh klasik betapa diferensiasi dari kebijakan setiap negara punya dampak global, yang mambuat pandemik jadi makin sulit,” kata dia.
 

2. WHO tidak punya perangkat sanksi

RI Batalkan PPKM Level 3, Penasihat WHO: Pandemik Bisa Makin SulitDiah Saminarnih, Penasihat Dirjen WHO soal Gender dan Pemuda (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Lebih lanjut, Diah menjelaskan hanya ada dua traktat internasional yang bisa memaksa suatu negara untuk mematuhinya. Kendati begitu, tetap ada ranah-ranah nasional yang posisinya lebih tinggi dari perjanjian internasional.

“Satu international treaty tentang rokok FTCT (WHO Framework Convention on Tobacco Control), satunya lagi International Health Regulation. Di situ ada ranah-ranahnya. Tapi tetap ada batas-batas ranah international treaty berakhir dan akhrinya kedaualatan nasional yang akan menentukan,” terang Diah.

Terbatasanya kekuasaan WHO menjadikan organisasi tersebut sebagai kritik publik, karena dianggap tidak memiliki kontribusi signifikan di tengah pandemik.  

“Jadi WHO tidak bisa memaksa dan tidak punya perangkat sanksi. Kalau dipandang harus, paling hanya diberi peringatan. Dalam banyak situasi WHO kerap disalahkan, terlebih sekarang dalam situasi pandemik,” ujarnya. 

Baca Juga: WHO: Butuh Rp330 Triliun Untuk Atasi Kesenjangan Penanganan COVID-19

3. Alasan pemerintah membatalkan PPKM Level 3

RI Batalkan PPKM Level 3, Penasihat WHO: Pandemik Bisa Makin SulitMenko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Pemerintah tidak jadi memberlakukan Level 3 di semua wilayah Indonesia selama libur Nataru. Aturan yang selanjutnya berlaku yakni selama libur Nataru, PPKM menyesuaikan level yang telah diterapkan sebelumnya.

Dengan demikian, kemungkinan besar selama libur Nataru, DKI Jakarta masih menerapkan aturan PPKM Level 2. Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, di wilayah Jawa dan Bali, PPKM Level 3 hanya masih diterapkan di 12 kabupaten atau kota.

"Penerapan level PPKM selama Nataru akan tetap mengikuti asesmen situasi pandemik yang berlaku saat ini, tetapi dengan beberapa pengetatan," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dalam keterangan tertulis, Senin 6 Desember 2021. 

Ia menjelaskan, perubahan kebijakan yang semula hendak diterapkan di tingkat nasional mulai 24 Desember 2021 itu, karena cakupan vaksinasi dosis pertama di wilayah Jawa dan Bali telah mencapai  76 persen. Sedangkan, cakupan vaksinasi dosis lengkap mencapai 56 persen. 

"Selain itu, hasil sero survei yang dilakukan menunjukkan masyarakat di Indonesia telah memiliki antibodi COVID-19 yang tinggi," kata dia. 

Baca Juga: [WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RI

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya