Serba-Serbi Ramadan di Nigeria, dari Makanan hingga Culture Shock

Berikut wawancara IDN Times dengan Dubes RI di Nigeria

Jakarta, IDN Times – Nigeria merupakan salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di Afrika. Mayoritas muslim di Nigeria adalah penganut mazhab Maliki. Kondisi tersebut menjadikan Nigeria sebagai negara yang menarik untuk ditelusuri serba-serbi Ramadannya.

Melalui platform Ambassador Talk: 30 Minutes Around the World, IDN Times bersama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mewawancarai Duta Besar RI di Nigeria, Usra Hendra Harahap. Selain Usra, kami juga berbincang dengan Annisa yang merupakan diaspora Indonesia di Nigeria. 

“Jumlah penduduk di Nigeria sekitar 200 juta lebih, muslimnya diperkirakan 125 juta. Kalau masalah agama, hampir sama seperti Indonesia, tapi adat istiadatnya yang berbeda,” kata Usra.

Lebih lengkapnya, berikut transkrip dialog dengan Dubes Usra dan Annisa.

Untuk Pak Dubes, apa yang dirindukan dari Ramadan di Indonesia?

Serba-Serbi Ramadan di Nigeria, dari Makanan hingga Culture ShockDubes RI di Nigeria, Usra Hendra Harahap (Instagram/Indonesiainabuja)

Saya sudah 3 tahun di sini. Terakhir puasa di Indonesia itu tahun 2018. Kulturnya beda ya di Abuja. Kalau kita yang dirindukan itu suasana jualan makanan di jalan, ngabuburit ya. Di sini gak ada kayak begitu. Jadi mereka persiapan berbukanya di rumah saja. Itu yang benar-benar dikangenin.

Tantangan puasa di sana apa ya?

Di sini bukanya jam 6.42-an sekarang, Imsak jam 5.15. Hampir sama kayak di Indonesia karena kita dilewati katulistiwa. Jadi gak begitu jauh. Cuma sekarang kebetulan musim panas, jadi lebih banyak hausnya. Karena kalau lapar relatif ya. Sekarang suhunya panasnya bisa 40 derajat, campur debu. Jadi di sini itu ada musim hujan, panas, dan debu atau namanya Harmattan. Jadi masih ada sisa-sisanya.

Baca Juga: 7 Kegiatan Umat Muslim di Korea Selatan saat Bulan Ramadan

Kalau Ibu Annisa, apa yang dikangenin dari berpuasa di Indonesia?

Saya sudah 11 tahun lebih di Nigeria. Terakhir Ramadan di Indonesia sekitar 4 tahun lalu. Yang saya kangenin di samping salat tarawih bareng, ngabuburit bareng, makanannya juga. Kalau gak pas diundang KBRI, belum tentu kita makan bareng, tarawih bareng. Jadi kalau ada undangan KBRI senang banget. Apalagi suami saya orang sini, senang juga dia.

Pak Dubes, bisa dijelaskan sedikit tentang muslim di sana?

Nigeria merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di Afrika. Mereka jumlah penduduk 200 juta lebih. Muslimnya diperkirakan 125 juta. Jadi cukup banyak. Dan mereka beragama sama seperti Indonesia, bagus, muslim beneranlah mereka. Mazhabnya beda. Kalau kita di Asia kebanyakan Syafi’i, kalau di sini Maliki. Tapi kalau ada tarawih bareng-bareng, mereka ikut kita, nah itu mereka ikut Mazhab Syafi’i dulu, ditinggalkan dulu Maliki-nya.

Pak Dubes, apa culture shock yang bapak rasakan ketika tiba di Nigeria?

Serba-Serbi Ramadan di Nigeria, dari Makanan hingga Culture ShockDubes RI di Nigeria, Usra Hendra Harahap (Instagram/Indonesiainabuja)

Kalau masalah agama sama seperti Indonesia, tapi adat istiadatnya berbeda. Karena mereka di sini kan kolonialnya kental sekali, sehingga mereka gunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Jadi antara kampung satu dan suku lain kalau ketemu sama-sama gak ngerti bahasa daerahnya.

Satu lagi, saat saya turun dari bandara, saya lihat gak ada satupun orang merokok di jalan. Tempat bersih dari puntung rokok. Kopi juga jarang. Saya heran apa ini cuma di bandara. Ternyata di jalan gak ada juga yang ngerokok. Sudah 3 tahun di sini, saya baru melihat 4 orang Nigeria yang merokok, itupun mereka pasti sudah pernah ke luar negeri. Jadi kalau ada orang Indonesia ke sini, mojok di pohon, itu pasti ngerokok. Bisa dipastikan kalau ada puntung rokok, itu pasti bukan punya orang sini. 

Untuk Ibu Annisa, bagaimana cerita setelah 11 tahun tinggal di sana?

Lebih tetap senang di Indonesia, karena di sini perempuan ke mana-mana gak bisa sendiri. Kayak di Arab. Kalau di Indonesia, kita mau belanja kan tinggal naik motor. Kalau di sini, harus diantar suami atau pakai sopir. Jadi saya gak bebas sebagai perempuan, apalagi yang dulu sudah biasa apa-apa serba sendiri.

Karena Nigeria ini termasuk negara rawan ya, jadi kalau perempuan hanya tarawih di masjid-masjid besar. Kebanyakan kita tarawih di rumah. Jarang banget bisa tarawih bersama ke masjid. Itulah kenapa senang banget kalau diundang tarawih ke KBRI. 

Nah kalau hari raya Idul Fitri, di sini gak semewah di Indonesia. Di sini yang mewah itu Idul Adha. Jadi kalau Idul Fitri ya biasa, yang laki-laki salat ke masjid, gak ada silaturahmi.

Pak Dubes, bagaimana penetapan awal Ramadan di Nigeria?

Di sini ada namanya Sultan Sokoto. Beliau adalah sultan yang kharismatik, yang namanya Abu Bakar. Dia adalah ex-officio yang menjadi semacam pemimpin spiritual di sini. Kemudian, penentuan jadwal Ramadan ditentukan oleh beliau berdasarkan hasil rukyat yang dilakukan di 7 negara bagian. Kalau hilal kelihatan, nah dinyatakan besok 1 Ramadan.

Kemarin itu kami tunggu sampai jam 9 malam. Di sini Ramadan dimulai 2 April, lebih dulu dari Indonesia. Jadi penentuannya mendadak. Kebetulan Sultan Sokoto ini jenderal, jadi saya kalau berkunjung omongannya nyambung.

Di sini kelihatannya Sultan Sokoto yang jadi patokan. Memang di sini mayoritas Maliki, ada sedikit Syafi’i dan Hanafi, tapi mereka semua mengikuti ketentuan Sultan Sokoto. Jadi gak ada perbedaan awal Ramadan di sini.

Baca Juga: 8 Perbedaan Budaya Ramadan di Korea dan Indonesia, Menarik!

Untuk Ibu Annisa yang hidup bersama komunitas Nigeria, apakah di sana ada tradisi unik saat Ramadan?

Serba-Serbi Ramadan di Nigeria, dari Makanan hingga Culture ShockDubes RI di Nigeria, Usra Hendra Harahap (Instagram/Indonesiainabuja)

Jadi sebelum Ramadan ada kayak pesta-pesta gitu, tapi itu biasanya di kampung-kampung. Kalau di Abuja gak kelihatan. Setahu saya itu mereka kayak ke rumah-rumah, terus perform atau atraksi-atraksi tentang Islam gitu. Nah orang yang perform dikasih sesuatu semacam sembako Ramadan sebagai bayarannya.

Nah kalau di Kampung itu juga ada seperti ziarah atau sungkem. Di kota gak ada sama sekali yang seperti itu. Karena tadi, hari raya di sini itu biasa saja. Gak ada silaturahmi, gak ada sungkeman. Cuma kalau saya pernah tinggal di kampung, itu pas Lebaran ya ada datangi dari satu saudara ke saudara lain.

Pak Dubes, apa kegiatan KBRI selama Ramadan?

Kebetulan istri saya senang masak, jadi kita ya masak-masak masakan Indonesia. Saya jujur saja tidak suka ke restoran karena tidak selera dengan makanan sini. Jadi kalau makan ya di rumah, bisa ketemu rendang, gulai ayam. Kami ini kompak, kalau setiap cuti pulang ke Indonesia selalu bawa bumbu. Makanan itu tiap hari untuk bukber. Tapi tidak semuanya bisa datang, yang dekat-dekat saja yang sempat datang. Kemudian dilanjutkan tarawih. Kadang saya juga jadi imam.

Di sini selain pandemik, khawatir juga karena situasinya tidak terlau aman, sehingga mau ke masjid agak riskan kalau sudah malam. Malah kadang teman-teman Nigeria yang datang ke wisma, ikut Salat.

Boleh dijelaskan lagi pak, apa yang dimaksud dengan kurang aman?

Di sini memang banyak permasalahan kriminal. Ada banditry, teroris, Boko Haram. Mereka ini beroperasinya macam-macam, ada yang di perbatasan, ada yang masuk kota. Seminggu lalu kita di-warning bahwa ada teroris yang masuk kota, mungkin karena kekurangan logistik di perbatasan, jadi ada yang merampok desa dan kota. Ada juga penculikan. Jadi kita memang dikasih tahu pemerintah setempat untuk lebih waspada mengatur waktu, terutama saat keluar malam.

Kita sedikit beralih ke makanan nih, kalau di sana Pak Dubes buka puasa pakai apa?

Kalau di sini itu sama seperti Arab, pakai kurma. Orang sini sangat terpengaruh dengan budaya Arab-Arab terutama yang muslimnya. Kalau masyarakat bawah makannya nasi dan sayur kacang, ada juga bubur, ada juga sejenis umbi-umbian. Di umpamanya nasi sepiring besar, ada kuah tomat yang banyak, terus dagingnya sangat kecil. Itu untuk kelas menengah ke bawah. Karena itu masyarakat kecil di Nigeria sangat bahagia kalau diberi makan. Karena itu saya sering ajak orang Nigeria makan, makannya lahap, bisa 2 kali piring kita.

Baca Juga: 5 Hidangan Berbahan Daging Khas Pakistan, Kelezatannya Bikin Lupa Diri

Kalau Pak Dubes, apa makanan Nigeria yang paling favorit?

Suya, itu kayak sate di Nigeria. Itu aja yang paling nikmat. Ada juga ikan bakar. Tapi kalau suya, saya suka bumbui lagi pakai bumbu Indonesia. Kalau bumbu sini rasanya standar saja. Kalau di Indonesia lawan (kuliner) cuma Thailand, Vietnam, China, Korea. Tapi kalau di sini kita gak bisa dibandingkan makanan kita.

Kalau sebaliknya, apa makanan Indonesia yang digemari orang Nigeria?

Serba-Serbi Ramadan di Nigeria, dari Makanan hingga Culture ShockDubes RI di Nigeria, Usra Hendra Harahap (Instagram/Indonesiainabuja)

Semua suka. Apalagi Indomie. Lucunya adalah mereka merasa Indomie itu milik mereka. Jadi ada cerita orang Nigeria datang ke Bali. Liat ikllan Indomie. Itu mereka bilang, wah Indomie kita ada di Indonesia. Porsinya juga beda. Lebih besar. Kalau mereka untuk sendiri, kita bisa berempat.

Makanya saya kalau charity ke kampung-kampung, Indomie itu gak ketinggalan. Ada beras ada macam-macam item, tapi Indomie yang jadi komandannya. Saya bilang komandan makanan itu Indomie beserta staf-stafnya.

Kalau selain makanan, ada obat-obatan, kemudian peralatan rumah tangga, ada juga jamu, kemudian pakaian-pakaian. Mereka suka sekali dengan pakaian kita, apalagi batik kita. Mereka juga punya batik tapi gak bisa buat sendiri. Motifnya dibuat Afrika, tapi di-print di Belanda. Kadang-kadang bagus, tapi kualitas kainnya kurang.

Bu Annisa, ada pengalaman masakin orang Nigeria?

Sering juga. Kalau saya masak di sini, kalau untuk KBRI atau masyarakat diaspora di Abuja, 30 orang paling ayamnya 10. Tapi kalau untuk orang Nigeria, 1 orang bisa makan 1 ayam. Apalagi kalau ayam goreng. Kalau saya masak makanan manis Indonesia, itu sama saudara-saudara suami bakalan dibawa ke dapur untuk dicuci dulu, karena makanan gak mau manis, asin atau pedes. Suka dikomplain juga kenapa taruh gula di makanan. Di sini manis hanya untuk kue. Tapi kalau kue, manisnya minta ampun. 

Di sini kalau sekadar cari bumbu dasar sih ada ya, tapi kalau lengkuas, kencur, harus nanam sendiri. Kalau habis kadang minta ke wisma.

Apa produk Indonesia yang ingin dimasukkan ke pasar Nigeria, Pak Dubes?

Serba-Serbi Ramadan di Nigeria, dari Makanan hingga Culture ShockDubes RI di Nigeria, Usra Hendra Harahap (Instagram/Indonesiainabuja)

Sebenarnya kita lebih banyak ke industri. Karena di sini banyak anak muda yang kuliah di luar negeri, kembali ke sini merka sudah punya pikiran beda dari orang-orang tua. Sama seperti pemuda Indonesia, gak mau lagi menjual produk mentah, jadi mereka ingin jual produk olahan, sehingga mereka butuh transfer of technology.

Mereka ini sedang kita tawarkan alat-alat pertanian. Kemudian sepeda motor listrik, ada juga beberapa alat industri yang kita produk sendiri, terutama industri pertanian. Dan alat-alat militer, karena mereka menganggap harganya kompetitif. Kalau beli dari China gak sanggup, karena kalau kualitasnya tinggi pasti mahal. Kalau yang murah, dipakai 2 bulan langsung rusak. Indonesia kan tidak, harga ekonomis, kualitas bagus.

 

Pak Dubes, bagaimana citra Indonesia di mata warga Nigeria?

Orang Nigeria memang haus akan hiburan. Saya datang ke sini saya kira bisa lihat taman safari, ternyata kebun binatang hanya satu. Jadi memang sense of tourism gak ada. Ketika mereka ke Jakarta atau Bali, mereka pulang-pulang ceritanya udah tersebar kemana-mana. Mereka senang sekali. Kemarin pas Annisa pulang ke Indonesia, suaminya bilang, kalau saya gak kerja di sini, saya mau tinggal di Indonesia. setiap malam bisa beli makanan, semuanya indah, orangnya ramah-ramah.

Kalau Ibu Annisa, bagaimana kesan ibu setelah bertahun-tahun tinggal di komunitas Nigeria?

Saya kalau keluar rumah, saya pasti dikira China. Kalau sudah pernah ke Malaysia, saya pasti dikira Malaysia. Tapi sama seperti kita melihat orang hitam, yang identik dengan Afrika. Kalau negatif dari kita gak ada sama sekali ya. Cuma yang saya sayangkan, banyak di sini orang kaya banget yang bisa travelling beberapa bulan sekali. Bulan pertama ke Dubai, terus ke Inggris. Nah begitu tahu Indonesia, mereka mau ke sana, bagus, indah. Tapi masalahnya ketika urus visa, akhirnya mereka malas.

Tanggapannya Pak Dubes soal potensi pariwisata Indonesia?

Yang dikatakan Annisa itu jadi perhatian saya juga. Kita ini masih punya calling visa terhadap Nigeria, karena memang banyak yang masok narkoba, sehingga ada kebijakan visa itu. Jadi itu adalah proses kalau ngajuin visa, harus kembali ke Indonesia, nah di Indonesia ada yang namanya clearance house, itu ada imigrasi, kepolisian, BIN, Kemenlu, dan sebagainya. Kalau sudah lolos, balik ke ke sini, baru bisa kita buatkan visa. Ini mungkin bisa agak dikurangi terutama paspor diplomatik dan dinas. Karena ketika ketika orang-orang yang super kaya mau ke Indonesia, akhirnya mereka diperakukan sama, akhirnya kita kehilangan momen membawa calon buyer dan calon wisatawan potensial.

Gak semua orang item itu pasti tukang palak. Ini orang-orang yang mendukung Indonesia ketika bermasalah di PBB. Ada 14 negara di bawah saya, itu mereka semua membela Indonesia. Tapi reward kita kurang. Reward-nya cukup mempermudah paspor dan visa saja cukup.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya