[OPINI] Bahaya Fanatisme Politik untuk Generasi Millennials
Para generasi muda harus paham!
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tulisan ini berangkat dari keresahan penulis yang mengamati lingkungan di sekitar apabila sudah bicara soal politik. Penulis merasa dogma fanatisme politik ini sudah sangat-sangat meresahkan karena teman, tetangga, bahkan keluarga sudah ada yang terpapar dogma tersebut.
Tulisan ini pun muncul karena penulis dulunya sempat menganut dogma itu tanpa disadari—untungnya tak berlarut-larut. Tepatnya dimulai saat Pilpres 2014 lalu. Sebenarnya saat itu adalah kali kedua bagi penulis memberikan suara di Pilpres. Tapi karena sebelumnya penulis cukup apatis pada politik, maka saat Pilpres 2014, penulis yang baru duduk di bangku kuliah dan baru saja menaruh perhatian pada politik, dengan mudah terpapar oleh dogma fanatisme politik itu tanpa disadari.
Itulah kenapa, tulisan ini ditujukan kepada generasi muda, terutama bagi yang baru pertama kali akan memberikan suaranya di Pilpres 2019 nanti, atau menjadi kedua kalinya menyumbang suara untuk Pilpres.
Flash back sedikit. Tensi politik memang jadi begitu terasa panas di Indonesia sejak Pilpres 2014. Tidak heran sih, karena waktu itu hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ‘bertarung’: Joko Widodo bersama Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto bersama Hatta Rajasa. Selain itu, ada faktor media sosial yang turut andil dalam panasnya tensi politik karena menjadi arena pencitraan, debat terbuka, dan penyebaran hoax.
Tapi, panasnya pertarungan dua kubu itu bukan hanya karena bersaing memperebutkan kursi nomor satu di negeri ini, melainkan ada faktor ‘sejarah’ yang ikut di belakangnya. Buat informasi saja atau sebagai pengingat, dulu PDIP dan Gerindra pernah saling membahu saat mengusung Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2012 yang berhasil terpilih. Namun koalisi tersebut harus terbelah saat menuju Pilpres 2014.
Tapi, penulis tidak mau untuk membahas soal perpecahan kongsi dua partai itu lebih jauh lagi. Karena terlalu sering menoleh ke belakang hanya akan membuat langkahmu untuk maju tersendat. Sebab itu orang yang hobi mengingat masa lalu selalu gagal move on.
Penulis ingin fokus membahas tentang fenomena fanatisme politik yang tanpa disadari terbentuk di masyarakat Indonesia sejak Pilpres 2014 silam. Karena memang momen itulah cikal bakal lahirnya dogma fanatisme politik yang masif di Indonesia. Fenomena yang makin tampak nyata saat berlangsungnya Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Dan dogma fanatisme politik itu pun masih terpelihara dan kian masif menjelang Pilpres 2019.
Terus, apa pentingnya bagi generasi millennials untuk paham ini?
Jawabannya adalah penting banget! Karena dogma fanatisme politik ini bisa makin masif dan tak terbendung untuk puluhan tahun ke depan andai generasi muda seperti kamu tidak menyadari apalagi memahami bahayanya hal ini.
Penulis sendiri sangat yakin kalau kita tidak boleh menganut paham fanatik dalam politik. Kenapa? Karena politik itu identik dengan kekuasaan. Dan seperti yang dari dulu terjadi, para politikus akan menghalalkan beragam cara agar bisa meyakinkan rakyat untuk memilih mereka, sekalipun harus menjual ludah (berbohong). Jadi, pastinya kamu tidak mau dong kalau sampai pemerintah di negeri ini diisi oleh orang-orang yang pandai berbohong, apalagi yang tidak punya kredibelitas.
Tulisan ini pun akan terbagi ke beberapa seri. Yang pertama tentu penulis akan membahas sesuai judul, yakni apa saja bahaya fanatisme politik.
Baca Juga: Ternyata Ini 5 Faktor yang Bikin Millennials Cuek Soal Pemilu
1. Kita tidak lagi berpikir rasional
Menurut KBBI, fanatisme itu adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran. Kalau dalam hal ini, tentunya terhadap ajaran politik. Padahal, orang dulu sering memberikan petuah agar kita jangan terlalu fanatik pada suatu paham atau ajaran. Karena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, termasuk untuk urusan politik. Kenapa?
Saat kita sudah fanatik pada seorang politikus atau partai, maka percayalah bahwa itu sama saja kita sudah menutup telinga, mata, dan pikiran dari apa pun. Penilaian kita sudah pasti berat sebelah. Kita akan buta pada kenyataan karena tak mau lagi mendengar segala informasi yang datang dari pihak luar. “Kita hanya akan menerima apa yang mau didengar”. Kita tak mau lagi terbuka atau menerima pendapat orang lain yang berbeda pandangan dari kita.
Artinya, kalau ada kritik atau hal negatif tentang sosok atau partai yang kita dukung secara fanatik, maka kita akan menolaknya mentah-mentah dan tak mau mencari tahu kebenarannya, sekalipun informasi itu sudah benar. Kita hanya akan mau menerima segala informasi yang baik atau positif soal sosok atau partai yang kita dukung.
Misalnya begini, politikus yang kita dukung secara fanatik ternyata tertangkap oleh KPK karena terlibat kasus suap. Politikus itu tentu akan melakukan pembelaan dengan ragam cara, mulai dari mengeluarkan berbagai statement sampai mengajukan banding. Kalau kita sudah fanatik, maka bukan tak mungkin kita akan membela mati-matian politikus itu dan menganggap KPK sedang melakukan konspirasi. Sekalipun kenyataannya politikus itu benar-benar korupsi.
Inilah kenapa penulis sebut kalau orang fanatik tak bisa lagi berpikir rasional. Pemahaman kita lebih mudah dimanipulasi. Kita hanya akan percaya dan mengikuti apa yang disampaikan atau direferensikan oleh sosok atau partai tersebut. Kita pun hanya akan memilih dan mendukung kelompok atau sosok itu terus menerus. Seolah-olah kita sudah tak lagi mampu menganalisa dan berpikir: Apakah saya perlu mencari tahu lebih jauh tentang sosok ini atau partai ini? Apakah saya perlu mencari tahu prestasi dari sosok atau partai di pihak seberang? Apakah ada pilihan yang lebih baik daripada sosok atau partai yang direferensikan ini?
Baca Juga: [Opini] Mampukah Generasi Millennial Memimpin Bangsa Ke Depan?
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.