TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sitok Srengenge Sampai Baiq Nuril, di Mana Emak-Emak dan Ibu Bangsa?

Korban berjatuhan, RUU PKS lambat disahkan

IDN Times/Indiana Malia

Jakarta, IDN Times – Indonesia darurat kekerasan seksual? Lama-lama judul artikel dengan kata “darurat” jadi kehilangan makna. Mengapa? Karena mungkin yang merasa darurat hanya penulis artikel yang menggunakan judul dengan kata itu. Dari tahun ke tahun, media menggunakan judul itu, para pakar dan aktivis mengusung kata itu dalam ratusan seminar, diskusi dan jumpa pers.

Namun perlindungan bagi perempuan dari ancaman kekerasan seksual jalan di tempat. Tengoklah angka yang dicatat Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Pada 2017 ada 348.446 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditangani. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.

Padahal, sejak 2014, Komnas Perempuan menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual meningkat setiap tahun

Persentasenya memang tak seberapa dibandingkan dengan jumlah populasi perempuan, kelompok yang paling banyak menjadi korban.

Jika angka kekerasan seksual selama 2018 diumumkan pun, naik atau turun, tetap secara persentase terhadap populasi dianggap tidak signifikan.

Mereka ini, yang tidak peduli, seolah membutakan mata, menulikan telinga, menumpulkan pikiran, bahwa kasus yang dilaporkan ibarat fenomena puncak gunung es. Kecil. 

Melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya, membuat perempuan berpotensi  menjadi korban untuk kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Korban saat ditangani aparat hukum. Korban cara pemberitaan media. Korban dari keraguan publik bahkan tetangga dan keluarga. Korban jejak digital yang bertahan sepanjang masa.

Kampanye semacam #MeToo yang berjalan lumayan sukses di Amerika Serikat sulit ditiru di Indonesia. Di Negeri Paman Sam, kampanye ini menyeret jatuh sejumlah nama besar di industri hiburan hingga politik. 

Di Indonesia, penyair Sitok Srengenge melenggang bebas kendati pernah diperiksa polisi karena laporan pemerkosaan terhadap mahasiswi RW. Dari pemberitaan media, sejak 2015 kasus ini tidak ada kelanjutannya.

Sesudah ramai diberitakan, dan dibahas di media sosial, polisi menjerat Sitok dengan Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan, Pasal 286 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, dan Pasal 294 KUHP tentang Pencabulan Dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara. 

Lama, sampai hari ini, kasus dilupakan.

Sosok-sosok yang biasanya galak meneriakkan perlindungan Hak Asasi Manusia (apalagi terhadap capres-capres), juga diam. Mendadak kehilangan ingatan.

Saya pun kehilangan jejak atas kasus ini.

Sampai kemudian, sejumlah kasus belakangan ini yang menurut saya menunjukkan posisi perempuan yang dimarjinalkan oleh hegemoni kekuasaan patriarkis, menguat. Menggedor tanda bahaya.

Apa saja?

Baca Juga: Baiq Nuril Kalah di Tingkat Kasasi, Berikut 5 Putusan dari MA 

1.Vonis tidak masuk akal bagi Baiq Nuril yang kalah di tingkat kasasi

Dok. IDN Times

Miris. Mahkamah Agung (MA) memutuskan Baiq Nuril Maknun bersalah. Baiq Nuril adalah mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram yang terjerat kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Baiq Nuril tersandung kasus pelanggaran UU ITE akibat diduga menyebarkan rekaman pembicaraannya dengan mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim. Pembicaraan itu  mengandung unsur asusila. Ibu tiga anak ini sempat ditahan sembari menunggu proses persidangan

Pengadilan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Sebagai tenaga honorer, sudah diberhentikan pula, bagaimana Baiq Nuril bisa membayar Rp 500 juta?

Bahkan hakim perempuan pun tidak punya perspektif korban, apalagi perspektif perempuan.

Baca Juga: Ombudsman: UGM Tak Serius Mengusut Kasus Dugaan Pemerkosaan

2. Pimpinan UGM lamban memproses pengaduan kasus pemerkosaan terhadap “Agni”

ugm.ac.id

Akhirnya polisi mengungkapkan bahwa pelecehan seksual yang dialami mahasiswi Universitas Gadjah Mada, sebut saja “Agni”, ada faktanya. Agni menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan sesama mahasiswa UGM, saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada bulan Juli 2017.

Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisaris Besar Hadi Utomo mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap pihak terkait di ujung 2018, tanggal 31 Desember.

Proses di lingkungan internal UGM pun berlangsung lambat. Agni mendapatkan pendampingan dari lembaga Rifka Anissa sejak September 2017.

“Hasil assessment awal, kondisi penyintas depresi berat,” demikian keterangan tertulis Direktur Rifka Annisa, Suharti.

Kasus ini bergulir setelah dimuat di Majalah Kampus Balairung.

Baru pada tanggal 7 Desember 2018, Rektor UGM Panut Mulyono mengakui adanya peristiwa pemerkosaan terhadap Agni yang dilakukan HS.

Rektor minta maaf atas kelambanan UGM merespons kekerasan seksual yang dialami Agni. Dampaknya tidak hanya psikologis dan finansial, serta akademik. Trauma yang diderita Agni tak bakal pupus dalam jangka waktu lama.

Pertanyaan besarnya:  Di mana peran civitas akademica perempuan termasuk dosen di lingkungan UGM? Kalau mereka kompak bersuara keras mendukung Agni, tentu UGM bisa lebih cepat merespons.

Baca Juga: Adukan Kekerasan Seksual, Pegawai BPJS Ketenagakerjaan Malah Dipecat

3. RA staf dewan pengawas BPJS Ketenagakerjaan mengadukan pemerkosaan yang dilakukan mantan bosnya

nasional.kontan.co.id

Depresi. Mencoba bunuh diri. Hal yang sangat sering terjadi kepada korban kekerasan seksual, terutama pemerkosaan.

Ini diceritakan Ade Armando, dosen di Universitas Indonesia, saat menceritakan nasib yang dialami RA, mahasiswinya.

RA mengalami empat kali pemerkosaan, pemaksaan dalam berhubungan seksual, saat diajak dinas luar kota oleh pimpinannya, anggota Dewas BPJS Ketenagakerjaan dengan inisial SAB. Ketika menyatakan keberatan terus-menerus menjadi korban, RA berupaya “melawan” dengan menghindari bosnya. Akibatnya, dia mendapatkan pelecehan verbal dan non verbal.

Kasus ini terjadi sejak 2016. Dari keterangan RA, sistem di kantor tidak mendukungnya untuk menghindarkan diri dari hegemoni kekuasaan yang dinikmati pelaku.

Bahkan permintaan ke dewan pengawas agar dia tak lagi ditugasi mendampingi SAB keluar kota, tidak digubris.  Tak ada simpati untuk RA dari lingkungan kantornya.  Dia malah diskors.

Di mana sistem pendukung bagi perempuan di lingkungan kantor di mana RA bekerja? Bukankah di lingkungan direksi BPJS Ketenagakerjaan pun ada sosok perempuan? 

Kasus ini pernah dilaporkan dalam bentuk petisi kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional.  Gak mempan. Petisinya tak pernah sampai ke menteri keuangan. Padahal ada 2 perempuan di dewan beranggotakan 15 orang itu.

Bukankah posisi lemah yang dialami RA, banyak dirasakan oleh ratusan ribu, bahkan jutaan perempuan lain di lingkungan kerja?

Baca Juga: Aktivis Pro Perempuan Tagih RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya