Saat Alam Mengajarkan Keseimbangan dan Bersyukur Atas Nikmat-Nya

#SatuTahunPandemik COVID-19

Aku merasa terlahir jadi saksi pergantian kemajuan zaman. Pergantian apa maksudnya? Ya, terlahir di tahun 1991 sudah banyak hal yang kusaksikan, semakin berjalannya waktu seolah peradapan manusia sedang menunjukkan powernya saat ini. Mulai sistem cawu diganti ke semester, disket tergantikan micro SD memory, tulisan surat tergantikan telepon koin milik Telkom hingga smartphone, dari kapur dan papan tulis hingga sekolah daring.

Mainan dari tanah liat hingga game online. Perosotan dengan pelepah pisang hingga roller coasters. TV tabung hingga VR Box. Kendi yang tergantikan dengan dispenser, masih banyak lagi tapi aku tidak mampu mengingatnya. Terlalu banyak dan terlalu cepat.

Begitu Februari 2020, saat pandemik COVID-19 terkonfirmasi di Pulau Bali. Aku kembali menyaksikan penghuni bumi begitu muram. Ini bukan perubahan atau pergantian seperti sebelumnya. Aku berpikir ini besar, seperti revolusi peradaban manusia. Ah, tidak mungkin aku yang terlalu membesar-besarkannya, pikirku.

Tapi hampir seluruh negara dibuat pontang-panting oleh penyakit ini. Kumannya sih kecil, super kecil hanya 400-500 mikron. Tapi SARS-CoV-2 mampu melumpuhkan aktivitas di dunia. Seolah dialah yang memegang kendali atas diri kita, paru-paru kita, aktivitas kita hingga ketakutan kita saat ini.

Jangan berkumpul, jangan berjabat tangan, jaga jarak, pakai masker, cek suhu tubuh, jam malam dibatasi hingga kebijakan lainnya. Aku sempat was-was, apakah ini giliran alam menunjukkan powernya? Jika iya mati sudah, pikirku.

Semua rutinitas berubah, hampir seluruh dunia mengurung warga negaranya. Menjalani aktivitas dengan mengandalkan teknologi. Mulai rapat, sekolah, kerja dan silaturahmi. Teknologi dan alam seperti sedang battle. Mana yang menang? Bisakah berdampingan? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di pikiranku. Bukan berakhir tapi menurutku kita harus berdampingan.

Faktanya betul, sendi-sendi kehidupan mulai ngilu. Tak terkecuali Bali saat ini. Dulu begitu mewah, begitu wah. Bali dulu begitu glamour, begitu ramai, begitu religius, dan begitu, dan begitu. Seolah tak pernah tidur.

Pulau Seribu Pura ini kini sepi, ada pedih di hati kecilku bila mengingatnya. Biasanya saat aku berangkat kerja, di sepanjang jalan aku menemukan senyuman. Aku melihat orang-orang berkumpul, entah diskusi atau hanya untuk ha ha hi hi.

Kini tidak, setengah wajah mereka terbalut rapat oleh masker. Jika masker tidak merapat ke lubang hidung maka dikenakanlah denda.

Biasanya banyak aku temui upacara, warga ke pura, baunya dupa yang semerbak serta perempuan yang kental dengan logat balinya sedang berdagang.

Anak-anak kecil yang main barong dan ngamen sepanjang pantai. Ibu tua yang menawarkan pijat dan kepang rambut hingga bapak-bapak yang menawarkan tato temporer.

Kesibukan Sanur di waktu sunrise, juga Pantai Kuta di waktu sunset. Berbagai macam bahasa dari berbagai negara yang menghiasi telinga. Hingga surfer yang memburu ombak. Ahhh itu biasanya. Sekarang sudah tidak biasa lagi.

Jangan bersusah hati, situasi kehidupan sebelum 2020 itu memang tidaklah enak dikenang saat ini, bukan karena tidak indah. Mereka indah, karena terlalu indah saja.

Sedangkan saat ini aku, kamu, kita dan mereka sedang ditata alam untuk belajar keseimbangan, menjaga, memelihara, hingga mensyukuri nikmat Yang Esa. Setidaknya untuk mengisi perut dan survive saja.

Mungkin inilah waktunya kita berbenah, bukan perorangan saja namun seluruhnya. Bukan untuk teknologi saja tapi juga untuk planet kita dan peradaban selanjutnya yang lebih baik.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Suka Duka Hamil dan Melahirkan di Tengah Pandemik COVID-19

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya