[OPINI] Drama Mahathir, Perdana Menteri Malaysia 4 Era

Jadi Perdana Menteri Malaysia ke-4, ke-7, ke-8, dan ke-9

Senin 24 Februari 2020 jam 13.00, Perdana Menteri ke-7 Malaysia Mahathir Mohamad menyampaikan surat pengunduran diri ke Raya Agung Malaysia. Lima jam kemudian Raja menunjuk Tun Mahathir sebagai interim PM, pelaksana tugas yang tentu saja menjadi PM ke-8 dengan tugas mempersiapkan pembentukan kabinet baru yang akan dipimpin oleh PM ke-9 karena PM ke-8 = interim PM.

Dalam prosedural politik Malaysia, mulai Selasa (25/2) siang, Raya Agung mewawancarai satu per satu anggota parlemen Malaysia yang makan waktu dua hingga tiga menit dengan pertanyaan yang sudah dibakukan. Itu untuk mengatasi kemelut bubarnya koalisi Pakatan Harapan yang mengusung PM Mahahir jadi PM ke-7.

Kutipan resmi surat kabar The Star Malaysia menyebut pernyataan tiga pasal.

First: Do you still stick to the Statutory Declaration (SD) you signed before?

Second: Do you think Parliament should be dissolved or a new government should be formed?

Third: Do you choose Tun Dr Mahathir Mohamad, Anwar Ibrahim or Muhyiddin Yassin as the prime minister?

Seandainya tidak ada calon yang memperoleh mayoritas 122 suara dari 222 maka Raja harus membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu (ke-15) yang dipercepat dari jadwal 2023. Tapi, tampaknya Mahathir telah berhasil mengondisikan ketergantungan mutlak semua partai kepada figur Tun M. Sebab, hampir semua partai yang sekarang ikut koalisi bisa turun perolehan suaranya bahkan bisa kalah, tidak masuk parlemen. 

Pihak yang sangat getol ingin pemilu dipercepat adalah UMNO, mantan partai penguasa 60 tahun yang digulingkan oleh koalisi Pakatan Harapan pimpinan Mahathir pada pemilu ke-14 Malaysia 9 Mei 2018, juga partai fundamentalis Islam PAS ingin pemilu.

Masalah politik di Malaysia selain persaingan antarpartai, justru lebih terkait figur tokoh sesama partai termasuk UMNO yang bolak balik terpecah dan gonta-ganti nama dan badan hukum. UMNO pecah kongsi dua kubu yang saling mengeliminasi dan memanipulasi secara lihai serta mengeksploitasi sentimen atau politik identitas SARA. Oleh sebab itu, kemelut SARA itu meledak hanya 12 tahun setelah Malaya merdeka 1957 dan baru enam tahun setelah lahirnya Malaysia 16 September 1963 yang ditentang oleh konfrontasi Bung Karno.

Partai kelompok Tionghoa yang mengklaim pluralisme DAP ( Democratic Action Party) menang pemilu Tionghoa di Kuala Lumpur. PM Malaysia pertama Tunku Abdul Rahman menyatakan negara dalam keadaan darurat perang dan kabinet serta parlemen dibubarkan dan kekuasaan dipegang oleh Waperdam Tun Abdul Razak sebagai Ketua Dewan Operasi Nasional.

Chamil Wariya dalam buku Leadership Change & Security in Malaysia, mengungkap pesan PM Tunku Abdul Rahman bahwa di balik kerusuhan rasial itu ada konspirasi elite UMNO mulai dari Waperdam Tun Razak sendiri, Datuk Harun Idris Menteri Besar yang membawahi ibu kota Kuala Lumpur, dan tokoh usia 44 tahun DR Mahathir Muhamad--yang merupakan pemicu konflik rasial dengan bukunya The Malay Dilemma yang sempat dibreidel oleh PMTengku Abdul Rahman.

Koalisi pra-pemilu rusuh pada 1969, Alliance, yang hanya terdiri tiga partai yakni UMNO, MCA, dan MIC diperluas jadi Barisan Nasional dengan dominasi UMNO.

Setelah PM Tengku pensiun pada 22 September 1970, Tun Razak merekrut Mahathir jadi Menteri Pendidikan dan sejak itu akan berkarier dalam politik hingga menjadi PM ke-4 Malaysia selama 22 tahun  (1981-2003). Mahathir adalah otak di balik New Economic Policy (NEP) Malaysia, kebijakan afirmatif untuk golongan Melayu (proteksi bumiputera) selama 1971-1991, untuk meningkatkan peranan Melayu dalam porsi PDB Malaysia.

Menurut usulan Tun dr Ismail yang akan menjadi Waperdam untuk PM Tun Razak, rasio porsi PDB antara Melayu, non-bumiputera dan asing adalah 2,4 : 33 dan 63. Porsi itu akan diubah menjadi 30:40:30 sehingga semua golongan domestik akan mengalami peningkatan porsi. Hanya perusahaan multinasional eks kolonial Inggris yang turun porsinya dari 63 ke 30.

Masalah menjadi ruwet ketika NEP sudah berlangsung 20 tahun. Toh, masih terjadi kesenjangan ekonomi dan konflik etnis dalam politik Malaysia. Para politisi antarpartai maupun internal partai semua mempermainkan isu SARA untuk mempertahankan posisi petahana atau menglahkan pesaing dalam pemilu yang secara rutin sudah berlangsung 14 kali hingga 9 Mei 2018.  Pemilu yang menghasilkan kabinet Mahathir didampingi Wan Azizah istri Anwar Ibrahim sebagai Waperdam yang bubar Senin 24 Februari 2020.

Krisis politik di Malaysia ini membuka kotak pandora sejarah konflik politik penuh intrik model Brutus Ken Arok Machiavelli 3-in1 yang dengan sangat piawai dipraktekkan oleh Mahathir selama 70 tahun berpolitik.

PM ke-2 Malaysia Tun Razak wafat karena sakit pada 1976 digantikan oleh iparnya Tun Husein Onn, karena Waperdam ke 2 Malaysia Tun dr Ismail justru wafat sebelum Razak. Pada 1976, Tun Husein Onn mempunyai tiga calon waperdam yaitu Gazali Shafei, Tengku Razaleigh Hamzah (nickname: Ku Li, CEO Petronas, Menkeu), dan Mahathir di ranking ke-3.

Justru Ku Li yang sukarela menawarkan posisi waperdam kepada Mahathir. Maka, Mahathir akan menduduki jabatan PM ke-4 Malaysia selama 22 tahun, menggonta-ganti 4 waperdam yang selalu gagal naik jadi PM. Ku Li yang tergeser sejak “baik hati” memberi kursi PM ke Mahathir, akan menjadi penantang Mahathir yang sempat memecah UMNO menjadi dua partai. Mahathir mendirikan badan hukum UMNO baru, sedang Razaleigh mendirikan Semangat 46, cikal bakal UMNO.

Tahun 1981, Musa Hitam menjadi waperdam yang pertama untuk Mahathir yang akan digeser oleh Gafar Baba pada 1986. Kemudian pada 1993,  Anwar Ibrahim jadi waperdam sampai digeser pada 1998 bahkan dipenjara dan dizalimi dengan tuduhan sodomi oleh rezim Mahathir. Ia diganti oleh waperdam Abdullah Badawi yang akan menjadi PM ke-5 pada 2003.

Putra PM ke-2 Datuk Najib Razak akan menjadi PM ke-6 dan untuk pertama kali dalam sejarah Malaysia, seorang PM petahana bisa dikalahkan oleh penantang yang notabene bukan orang baru. Sebab, ia adalah PM ke-4 Mahathir yang mendirikan partai baru dan koalisi Pakatan Harapan menggusur Barisan Nasional yang sudah berkuasa sejak 1957.

Maka yang terjadi di Malaysia meskipun ada multi partai dan banyak tokoh, rekrutmen dan jalur menjadi PM masih terkait dinasti. Yang unik adalah kalau tiga perdana menteri sebelumnya adalah ningrat. Mahathir adalah keturunan India dan Melayu yang bukan ningrat melainkan guru biasa. Sekarang komposisi koalisi Pakatan Harapan (DAP, PKR, Amanah) yang ditinggal Mahathir, justru tetap mendukung Mahathir. Mereka sadar akan kalah bila memilih Anwar setelah pembelotan Bersatu (Partai Pribumi Bersatu Malaysia) dan 11 anggota PKR di bawah Menteri Ekonomi Asmin Ali yang menghkhianati Anwar.

Minggu (24/2), calon PM ke-8 ini dengan amarah masih bisa bercanda bahwa ia sudah tidak bisa jadi PM ke-8 karena sudah dikhianati tapi mungkin masih bisa jadi PM ke-9. Yang jelas, PM ke-4 yang jadi PM ke-7 sudah mundur. Tapi, ia diangkat lagi jadi Interim PM (plt) yang berarti sudah jadi PM ke-8.

Kalau hasil wawancara Raja Agung dengan 222 anggota parlemen mendukung, maka Tun Mahathir kan jadi PM ke-9. Itulah dagelan super PM yang bisa mengalahkan dagelan super sperma dan banjir DKI.

Legenda tentang Notonegoro sebagai akhiran nama presiden Indonesia sudah lama tidak terbukti. Sukrano, Soeharto memang Noto tapi selanjutnya tidak cocok. Sedangkan RAHMAN adalah awal nama PM Malaysia yang cocok dengan realitas sejarah. Rahman, Abdul Razak, Husein Onn, Mahathir Muhamad, Abdullah Badawi, dan Najib Razak. Lalu kembali ke Mahathir, sedang Anwar Ibrahim mungkin merasa pasti jadi karena awalan AN ternyata hanya PM inwaiting “seumur hidup”.

Inilah tragedi politik Malaysia yang penuh dengan figur Brutus Ken Arok Machiavelli, saling tusuk keris Empu Gandring satu sama lain tanpa kenal prinsip atau hopeng kepentingan pribadi yang berkuasa. 

Christianto Wibisono

Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia

Baca Juga: 5 Fakta Mahathir Mohamad, PM Malaysia yang Baru Saja Mengundurkan Diri

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya