[OPINI] Lempar Batu Sembunyi Tangan Kampanye Dukungan Omnibus Law 

Kini kita tidak ada yang tahu motif kampanye tersebut

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja membuat banyak polemik di hadapan publik dari awal pembentukannya sampai dengan saat ini. Berdasarkan versi pemerintah, RUU ini dipercaya dapat menyerap investor untuk datang ke Indonesia dan membuka lapangan kerja baru. Namun dari sudut pandang buruh, RUU ini hanya akan memperparah praktik eksploitasi dalam dunia kerja.

Gelombang penolakan terhadap Omnibus Law terus bermunculan. Serikat pekerja yang didukung juga oleh massa dari mahasiswa beberapa kali melakukan protes besar untuk menggagalkan RUU ini. Terakhir, 14 Agustus lalu protes besar-besaran terjadi di Jakarta untuk menuntut digagalkannya Omnibus Law.

Gerakan perlawanan semakin melebar dengan merambah ke sosial media. Kampanye poster dan menjadikan tagar #TolakOmnibusLaw sebagai trending topik di Twitter menjadi senjata lain untuk menggalang kekuatan.

Secara praktis, maka jagat sosial media menjadi arena pertarungan baru antar dua pihak yang bertentangan. Perlawanan bukan lagi di jalanan, namun sudah melebar semata-mata untuk membentuk opini publik.

Namun pertempuran di sosial media bukan hanya soal pembentukan opini publik saja. Lawan baru yang muncul adalah kampanye sosial media untuk mendukung Omnibus Law sebagai perlawanan balik atas aksi penolakan Omnibus Law.

Kampanya tersebut dilakukan oleh para influencer sosial media dengan tagar #IndonesiaButuhKerja melalui media video. Beberapa artis dan publik figur, yang tanpa pernah bersuara sebelumnya, tiba-tiba datang dan mendukung pembentukan Omnibus Law.

Jagat sosial media, khususnya Twitter, kemudian ramai akan hal ini. Bukan hanya para influencer yang punya banyak pengikut muncul dan berkampanye. Namun konten yang dibawa oleh para influencer ini juga tidak seperti yang biasanya mereka bawa.

Asumsi yang kemudian muncul bukan lagi soal perkara cari sensasi. Toh beberapa di antara mereka sudah punya nama juga. Masalah kompetensi yang dinilai tidak dimiliki oleh para influencer ini dalam membicarakan isu ketenagakerjaan. Terlebih, konten yang mereka biasa buat jauh dari hal tersebut.

Kompetensi mereka untuk membicarakan Omnibus Law memang sudah menjadi bahasan paling laku di Twitter. Para influencer dianggap tidak paham soal esensi dari RUU tersebut. Tapi ya biarkan saja asumsi ini tumbuh. Kita tak tahu pemahaman mereka di balik layar, soal kompetensi hanya mereka sendiri yang tahu.

Tapi menjadi menarik ketika perhatian kita ini bergeser ke arah aktor intelektual yang bermain di belakangnya. Tidak mengherankan jika melihat ada 21 influencer yang terlibat dengan konten yang serupa dan di hari yang bersamaan.

Dengan logika sederhana saja, mana ada influencer mencari ketenaran dengan menaikkan konten di luar segmen pasar mereka. Terlebih, isu ini sedang menjadi perdebatan hangat sejak beberapa bulan yang lalu di tingkat atas.

Perdebatan antar netizen kemudian muncul dan menekan para influencer. Selang beberapa jam saja netizen berhasil memaksa para influencer dan pemerintah untuk berbicara soal kampanye dukungan ini.

Sebelumnya, Kepala BKPM mengatakan bahwa dari pihaknya tidak menyediakan anggaran untuk membayar influencer tersebut. Apa yang dilakukan para influencer tersebut bisa jadi aksi sukarela yang mereka lakukan atas kesadaran sendiri.

Namun dalam klarifikasinya di Twitter, Ardhito Pramono, sebagai salah satu influencer yang diserang, mengakui bahwa memang menerima brief untuk terlibat dalam kampanye dukungan #IndonesiaButuhKerja.

Namun ditekankannya lagi bahwa tidak ada keterangan soal Omnibus Law. Terlebih, tawaran kampanye tersebut ditujukan untuk membuat publik tenang akan adanya lapangan kerja di tengah pandemi. Pun dalam cuitannya ia juga diyakinkan bahwa tidak ada hubungannya dengan Omnibus Law.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Gofar Hilman, influencer lainnya yang terlibat dalam kampanye #IndonesiaButuhKerja. Dalam cuitannya ia mengatakan bahwa dalam menerima tawaran itu, ia tidak melakukan riset yang mendalam sebelum dan sesudah menerima pekerjaan.

Artinya bahwa klaim sukarela yang dikatakan pemerintah tidak valid, ada aktor intelektual yang bermain di belakang. Jika menanyakan siapa, tentunya tidak mudah untuk ditebak siapa orangnya.

Terlepas dari kepentingan di balik kampanye dukungan #IndonesiaButuhKerja, namun strategi yang dimainkan bisa dikatakan cukup berhasil. Sebagaimana strategi buzzer pada umumnya yang melempar opini publik kemudian lari begitu saja setelah membuat publik gaduh. Hal yang sama juga dilakukan dalam kampanye ini.

Singkatnya, para influencer dikorbankan untuk menciptakan kegaduhan publik. Begitu kegaduhan sudah terbentuk, maka fokus publik terpecah. Serangan kepada pemerintah untuk menggagalkan Omnibus Law mengalami penurunan. Dengan begitu proses pembahasan Omnibus Law bisa kembali dilanjutkan.

Cara lama yang masih efektif untuk memuluskan jalan pemerintah membentuk kebijakan kontroversial. Membuat publik gaduh dengan memecah fokus massa, untuk kemudian kembali mendapatkan kekuatan lebih melanjutkan kepentingannya.

Pada akhirnya saya kira perdebatan mencari aktor intelektual yang bermain di belakang tagar #IndonesiaButuhKerja sudah seharusnya dicukupkan. Bukan karena ada keberpihakan ke para influencer, toh mereka perlahan sadar dengan mulai membuat klarifikasi. Namun akan lebih baik kembali ke jalur utama isu ini.

Kembali menjadikan kampanye sosial menjadi masif akan lebih bermanfaat untuk membentuk opini publik untuk ikut mendorong penolakan Omnibus Law. Terlebih dengan adanya kasus ini, segmen remaja mulai terbuka untuk isu Omnibus Law yang bisa menjadi modal penguatan gerakan.

Maka dengan tidak terpancing kasus para influencer tersebut, kita masih bisa tetap berada di koridor perlawanan.

Baca Juga: [OPINI] Hak Asasi Manusia dalam Pemenuhan Hak Anak Era Globalisasi 

Muhamad Yoga Photo Writer Muhamad Yoga

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya