[OPINI] Wahai Millenial, Mari Berkenalan dengan Omnibus Law

Sejauh mana kamu tahu? Yakin sudah tahu?

Sebagaimana millenial pada umumnya, saya termasuk orang yang aktif di sosial media, khususnya Twitter. Sepanjang saya bermain Twitter, saya sudah biasa melihat keributan di sana, hampir setiap hari sepertinya. Namun keributan di Twitter tanggal 14 kemarin sedikit agak berbeda.

Cerita bermula dari banyaknya reaksi netizen yang menyerang beberapa influencer dan menjadi ramai. Setelah diulik, ternyata masalah disebabkan oleh beberapa influencer yang membuat konten dukungan terhadap Omnibus Law.

Agak aneh memang, influencer yang jarang bersentuhan dengan masalah kebijakan publik tiba-tiba datang dan muncul mendukung kebijakan tersebut. Langkah ini tentu saja dianggap mencederai perlawanan kelompok masyarakat yang menentang Omnibus Law. Tidak heran jika kemudian masalah ini bisa sampai meramaikan khazanah perkelahian di sosial media.

Tidak sampai di situ, ada satu hal lagi yang membuat saya terkejut. Walaupun Omnibus Law sudah dari awal tahun ini jadi pembicaraan karena polemiknya, ternyata tidak semua orang mengikuti isu ini. Termasuk di dalamnya para millenial yang notabene-nya adalah kalangan yang mudah mendapat akses informasi dari sosial media.

Oleh karena itu saya kemudian tergugah untuk membuat tulisan singkat mengenai Omnibus Law ini. Semoga dengan tulisan ini para millenial bisa melek dengan isu Omnibus Law. Karena toh isu ini bukan isu sektoral yang menyangkut perburuhan saja, melainkan sebagian besar menyangkut sektor kehidupan lain. Kok bisa? Baca dulu, nanti kamu paham deh.

Mengenal Omnibus Law

Omnibus Law sendiri merupakan sebuah paket perundang-undangan yang mengatur beberapa hal dalam satu undang-undang. Jika dalam undang-undang biasa hanya memuat satu hal secara khusus saja, nah dalam undang-undang Omnibus Law ini bisa memuat beberapa hal yang dikemas dalam satu undang-undang.

Jadi Omnibus Law tidak hanya mengatur soal sektor pekerjaan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja saja, seperti yang sedang ramai ditolak akhir-akhir ini. Melainkan di dalamnya juga mengatur soal RUU Omnibus Law Perpajakan dan RUU Omnibus Law Pengembangan UMKM.

Tujuan Omnibus Law seperti yang diharapkan pemerintah saat ini untuk mengundang investor datang dan membuka lapangan kerja di Indonesia. Orientasi utamanya adalah orientasi ekonomi, tapi di sisi lain undang-undang ini mengabaikan sektor lain seperti lingkungan, sosial, budaya, bahkan kesejahteraan pekerja. Ini salah satu alasan kenapa kemudian Omnibus Law banyak mendapatkan penolakan.

Dilihat dari segi kebijakan, pembentukan Omnibus Law ini memang terlihat lebih praktis. Melihat adanya beberapa peraturan perundangan yang saling tumpang tindih, maka dengan adanya Omnibus Law ini peraturan bisa lebih disederhanakan. Karena pembentukan Omnibus Law dapat mengganti, menambahkan, atau mengubah peraturan perundangan sebelumnya yang bermasalah.

Yang Menjadi Masalah Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja

Pembentukan Omnibus Law ini memang tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Artinya bahwa RUU ini tidak berarti merugikan sepenuhnya, atau menguntungkan sepenuhnya. Yha, namanya kebijakan memang akan selalu ada yang dirugikan atau diuntungkan.

Namun dalam RUU Cipta Lapangan Kerja ini, ada beberapa pasal yang dianggap merugikan masyarakat, khususnya pekerja. Bukannya memberikan kesejahteraan kepada para pekerja, RUU ini malah melanggengkan praktik eksploitasi dalam dunia kerja. Dengan alasan tersebut, RUU ini kemudian dianggap sebagai RUU yang hanya berpihak pada investor, bukannya para pekerja.

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam RUU ini sehingga menjadi polemik. Mulai dari hak cuti, upah, pesangon, dan hubungan kerja yang menguntungkan pengusaha saja.

Dalam masalah upah misalnya, dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, besaran upah diberikan sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang berlaku di daerah. Namun dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja, besaran upah memungkinkan untuk ditentukan sesuai dengan upah satuan hasil dan atau satuan waktu.

Selain itu, standar minimum upah yang berlaku hanya sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), sedangkan besaran UMP lebih rendah dibanding UMK/UMSK. Artinya untuk mendapat upah yang besar, para pekerja harus bekerja lebih keras lagi. Belum lagi, upah minimum hanya dihitung berdasarkan kebutuhan satu orang lajang. Tidak termasuk anggota keluarga yang lain bagi yang sudah menikah.

Secara hitung-hitungan, ketika ada pekerja yang bekerja lebih keras dan lebih lama dari waktu normalnya, hasil produksi akan meningkat. Betul memang pekerja dapat upah lebih, tapi toh secara nilai itu sangat jauh dari keuntungan yang didapat pengusaha.

Bagi pekerja perempuan nasibnya lebih parah lagi. Dalam undang-undang sebelumnya, cuti melahirkan dan cuti haid merupakan hak normatif yang sudah seharusnya diterima para pekerja. Namun dalam draft RUU ini, hak cuti tersebut tidak dicantumkan. Tidak ada pelarangan, namun dengan tidak dicantumkan hak tersebut mengindikasikan tidak ada jaminan yang diberikan kepada pekerja perempuan.

Dalam draft tersebut juga menyebutkan untuk memberikan jatah libur hanya 1 hari dari total 6 hari kerja per-minggu. Artinya bahwa jumlah jam kerja para pekerja bertambah dari yang tadinya hanya 5 hari kerja per-minggu.

Beberapa aturan ‘nyeleneh’ ini jelas merugikan para pekerja. Kepentingan ekonomi pengusaha mengalahkan kesejahteraan para pekerja yang menjadikan munculnya perbudakan modern dalam sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Indikasi ini semakin nyata terlihat dalam aturan pemutusan hubungan kerja.

Selain karena tidak ada pesangon bagi pekerja yang terkena PHK, perusahaan juga diberi keleluasaan untuk melakukan PHK berdasarkan kondisi yang dinilai mereka dapat merampingkan ongkos produksi perusahaan.

Pekerja yang berstatus pekerja kontrak, dalam UU No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan, diatur maksimal 2 tahun dengan perpanjangan maksimal 1 tahun. Namun dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, aturan ini dihapus. Artinya bahwa perusahaan bisa secara bebas mempekerjakan pekerja tanpa batas waktu.

Dari sekian banyak pasal yang tercantum, hal di atas merupakan beberapa alasan yang membuat Omnibus Law mendapat banyak penolakan. Ini hanya dari sudut pandang lapangan pekerja, belum yang lainnya. Karena RUU ini merupakan undang-undang yang mengakomodasi berbagai hal di dalamnya, tentu ada sektor lain yang mempunyai masalah. Seperti isu lingkungan dan komunitas masyarakat adat yang berpotensi kehilangan haknya.

Melalui tulisan ini saya kira sudah saatnya kita melek terhadap isu Omnibus Law. Apa yang diatur dalam RUU ini bukan sekadar masalah sektoral yang menyangkut satu sektor kehidupan saja, tapi lebih luas dari itu dan saling berkesinambungan.

Masalah pekerja saja misalnya, beberapa dari kita mungkin belum termasuk kategori angkatan kerja. Tapi orang tua dan keluarga yang mempunyai tanggung jawab mencari nafkah guna masa depan anak dan keluarga akan terdampak, baik itu dari pendidikan maupun ekonomi keluarga.

Pada akhirnya, penolakan Omnibus Law tidak hanya konflik antara kelas pekerja dan pengusaha saja. Akan ada banyak kelompok masyarakat lain yang ikut terdampak sebagai efek domino ketika RUU ini disahkan menjadi undang-undang.

Baca Juga: [OPINI] Lempar Batu Sembunyi Tangan Kampanye Dukungan Omnibus Law 

Muhamad Yoga Photo Writer Muhamad Yoga

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya