Wisma Hadi, kampung halaman di Kutoarjo, Jawa Tengah (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Selama hidup 27 tahun, bisa dihitung jari saya tidak mudik dan memeriahkan bagaimana hangatnya perayaan Idul Fitri di kampung halaman tercinta, Kutoarjo, Jawa Tengah (Jateng). Sebuah kota kecil dengan kehangatan di setiap sudutnya.
Bagi saya, lagi-lagi sejak kecil sudah menganggap, setidaknya dalam satu tahun ada dua perayaan besar keagamaan yang dinantikan, yaitu Idul Fitri dan Natal. Bukan cuma amplop tunjang hari raya (THR) yang dinanti keluar dari saku saudara, tapi kehangatan dan kebersamaan keluarga yang paling utama.
Saya beranggapan, manisnya Idul Fitri sudah bisa dikecap sejak memasuki bulan puasa. Rasanya di lidah sudah membayangkan bagaimana nikmatnya opor ayam dipadu dengan sambal krecek, khas buatan orang kampung. Setiap gigitannya mengandung kehangatan serta tawa dan canda keluarga besar yang hanya bisa kumpul setahun sekali.
Belum lagi agenda wajib keluarga besar saya, kulineran, membeli makanan khas kampung halaman untuk disantap sesudah opor dan sambal krecek habis tak tersisa.
Kami juga terbiasa nyekar ke makam keluarga dan sungkem meminta maaf sekaligus berkat ke mbah. Dari empat mbah saya, dua di antaranya beragama Katolik, dua lainnya beragama Islam.
Saat ini, hanya satu mbah yang tersisa, yakni nenek dari ibu. Mbah Hadi namanya, keluarga kami menjulukinya sebagai Neli yang merupakan akronim Nenek Lincah. Maklum, di umurnya yang sudah hampir satu abad, dia masih sat-set, bahkan ingat jelas kapan tanggal lahir anak, cucu, hingga buyutnya.