Lebaranku Tak Lagi Sama Setelah Jadi Jurnalis

Jakarta, IDN Times - Berkumpul bersama keluarga besar saat Lebaran Idul Fitri merupakan momen yang dinantikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang beragama Islam dan merantau, jauh dari kampung halaman.
Tak jarang, para perantau rela menghabiskan kocek besar demi kembali ke kampung halaman. Tujuannya ada yang ingin kembali melihat senyum kedua orang tua, hingga mengingat kembali perjalanan masa lalu di tempat kelahiran.
Begitu juga yang saya alami. Saya pertama kali merantau ketika kuliah di Cimahi, Jawa Barat. Jauh dari kampung halaman, Cirebon.
Biasanya, saya pulang kampung pada H-7 Lebaran. Motor jadi transportasi andalan saya ketika mudik. Alasannya, biar irit.
Selama 23 tahun hidup, saya selalu berlebaran bersama keluarga besar. Momen yang saya suka di Hari Raya ketika bersama-sama berziarah ke makam keluarga yang sudah berpulang.
Ada kehangatan, lantunan doa dipanjatkan, berharap keluarga yang sudah menghadap Ilahi mendapat nikmat kubur.
Namun, lebaranku berbeda setelah lulus kuliah tahun 2016. Pada tahun tersebut, saya memilih profesi sebagai jurnalis dan bekerja di media nasional di Jakarta.
Dan, profesi itulah yang membuat saya tidak pernah pulang ke Cirebon di hari Raya Idul Fitri sejak 2016 hingga kini. Sebab, di Hari Raya Idul Fitri, saya selalu masuk kerja untuk meliput kegiatan Lebaran. Mulai dari liputan pejabat yang salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal hingga open house Lebaran para pejabat.
Bila di masyarakat ada istilah "Warung Madura Buka Setengah Hari Saat Kiamat", maka di kalangan jurnalis pun ada lelucon, "Liputan Setengah Hari saat Kiamat".
Ya, kata-kata di atas tentu hanya sekadar lelucon, mengibaratkan betapa liputan yang dilakukan jurnalis itu tak mengenal waktu, bukan bermaksud profesi jurnalis "si paling kerja".
Rupanya, tak bisa Lebaran di kampung halaman juga berdampak kepada istri saya. Dia juga harus rela berlebaran di Jakarta, tak pulang kampung ke Cirebon.
Padahal, setiap Lebaran ada tradisi sungkeman di keluarganya, saling memohon maaf dari bapak hingga anak bontot.
Demi menjadi "istri berbakti", istri tetap menemani saya di Jakarta, tak pulang kampung. Istri hanya berdua di rumah bersama anak semata wayang kami saat Hari Raya Idul Fitri. Sebab, saya sudah keluar rumah sejak subuh, pergi meliput ke Masjid Istiqlal, mengambil momen masyarakat melaksanakan salat Idul Fitri.
Meski begitu, saya bersama istri dan anak tetap mudik. Biasanya, saya mudik pada H+1 hingga H+3 Lebaran. Meski tak bisa merasakan momen di hari H Idul Fitri, tapi itu juga sudah cukup.
Bagi yang masih bekerja di Hari Raya, tetap semangat, ya. Ternyata, bapak-bapak yang kerja saat Lebaran itu ternyata sekarang aku, hehehehe