Menikah di Tengah COVID-19, Getir dan Bahagianya Patut Disyukuri

#SatuTahunPandemik COVID-19

Gak pernah terlintas di pikiranku kalau aku dan suami akan menikah di tengah gempuran pandemik COVID-19, tepatnya pada Oktober 2020. Kami yang berpacaran hampir 9 tahun ini sudah merencanakan pernikahan sejak awal tahun 2019. Dari tahun 2019 akhir pun sudah mulai rajin survei vendor, maklum kami benar-benar merencanakan pernikahan ini from scratch tanpa bantuan wedding organizer sama sekali.

Semuanya direncanakan sesuai keinginan dan disesuaikan dengan tabungan. Apalagi kami LDR (Long Distance Relationship), jadi benar-benar survei dan mencicil DP berbagai vendor seawal mungkin biar terasa ringan. 

Akhirnya Maret 2020 COVID-19 masuk Indonesia dan PSBB mulai diberlakukan, padahal saat itu persiapan pernikahan sudah hampir 70 persen. Gedung pun sudah dipesan, memang dari awal kami gak merencanakan pesta maha besar, hanya sekitar 300-an tamu saja yang terdiri dari keluarga dan sahabat dekat. Namun, COVID-19 makin mengganas, angka korban pun makin merangkak. Kami berdua terombang-ambing di persimpangan, tanpa kepastian....

H-3 bulan, dengan banyak pertimbangan akhirnya kami membatalkan gedung yang sudah dipesan. Meski saat itu di Surakarta peraturan PSBB belum terlalu ketat, tapi kami kekeh membatalkan resepsi karena gak mau membahayakan orang-orang tersayang. Niat hati hanya ingin pemberkatan di gereja, namun tentu saja orangtua merasa berat hati dan tetap ingin ada acara pesta sederhana, minimal biar ada fotolah yang bisa dikenang.

Kami pun putar otak, berusaha mencari lokasi outdoor yang benar-benar patuh protokol kesehatan. H-2 bulan akhirnya kami mendapat resort di pinggiran kota. Lokasinya terbuka, sesuai dengan konsep yang kami inginkan, ketat protokolnya, dan hanya boleh mengundang 75 orang saja. Di sinilah tantangan dimulai, kami harus benar-benar mengurasi nama-nama tamu undangan. Berat rasanya harus mencoret semua nama teman dan sahabat dari daftar. Pasalnya, keluarga kami berdua saja jika digabungkan jumlahnya sudah lebih dari 75. Pusing? Bukan main!

Untuk beberapa tetangga yang dekat hanya kami undang di acara lamaran H-1 yang digelar di rumah. Sementara di gereja benar-benar hanya 30 orang saja yang terdiri dari keluarga inti. Kami pun mengakali dengan mengganti tim paduan suara dengan beberapa pemain musik instrumen, supaya kuota sisanya bisa dipakai untuk keluarga.

Acara saat resepsi pun benar-benar sangat singkat dan berlangsung selama 1 jam, hanya berfoto dengan tamu, tanpa ada acara jabat tangan dengan mempelai, dan langsung makan. Tidak ada prosesi apa pun, bahkan acara lempar bouquet bunga pun tidak, karena menghindari kerumunan sepupu dan adik-adik yang memperebutkan bunga yang nilainya gak seberapa dibanding kesehatan mereka.

Ada rasa bahagia sebenarnya karena acara justru terasa intimate, benar-benar keluarga yang kami tahu saja. Nilai plusnya, kami juga gak berdiri terlalu lama. Lumayan lah, kaki ini gak terlalu pegal pakai high heels setinggi 10 cm. Resort yang kami pilih juga benar-benar mencerminkan keinginan konsep acara, jadi sepanjang pesta kami benar-benar menikmatinya. Bahkan, karena terbatasnya jumlah tamu undangan, kami jadi bisa upgrade menu makanan terbaik sehingga perut tamu benar-benar dimanjakan.

Sedihnya, benar-benar gak ada teman-teman dan sahabat yang ikut serta. Selain karena kuota dari resort, kami juga benar-benar memikirkan kesehatan mereka, apalagi kami gak mau kalau mereka harus repot-repot rapid test dan bertaruh nyawa menempuh perjalanan antar kota. Kami harus puas hanya dengan bertukar kabar bahagia lewat media sosial saja. Kesehatan memang benar-benar harus diutamakan di situasi seperti ini. Doa yang mereka berikan sudah lebih dari cukup untuk bekal kami berdua.

“Ditahan dulu rindunya, semoga usai COVID-19 kita bisa kumpul segera.” Hanya itu kalimat yang berulang kali aku batin supaya ikhlas dengan keadaan.

Toh, dari sini kami belajar banyak, salah satunya adalah untuk belajar bersyukur dan ikhlas. Menikah saat pandemik juga jadi salah satu ujian bagi kami. Meskipun banyak rencana yang berubah, tapi kami membuktikan kalau ujian ini bisa dilewati tanpa banyak drama. Puas rasanya tantangan ini bisa terlewati, membuktikan bahwa kami memang siap untuk saling mendampingi sampai akhir nanti. Menikah di tengah gempuran COVID-19 juga jadi ajang refleksi diri, bahwa pernikahan itu bukan perkara prosesinya, tapi lebih kepada dengan siapa kamu melewatinya. Tabik.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Suka Duka Hamil dan Melahirkan di Tengah Pandemik COVID-19

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya