Bagaimana Mencapai Ekonomi Digital Senilai Rp4.531 Triliun?

Laporan Bank Dunia soal Ekonomi Digital RI

Jakarta, IDN Times – Dalam beberapa waktu terakhir, saya berinteraksi dengan sejumlah narasumber berkaitan dengan ekonomi digital. Pekan pertama September 2021, tanggal 9, saya memandu salah satu sesi di Wild Digital Conference 2021. Dalam sesi bertajuk, Fintech, Simplifying Investments for Everyday, saya mendapatkan kisah tiga pendiri usaha berbasis digital, yaitu dari Pluang.id, Pintu.id dan Pasar Polis. Konferensi yang digelar secara daring ini membahas peluang kawasan Asia Tenggara sebagai kekuatan ekonomi digital.

Sudah pasti, Indonesia adalah yang paling potensial karena jumlah penduduk 267 juta dari 650 juta populasi ASEAN. Pasar besar, kelompok usia muda yang padat pula, serta kelas menengah yang tumbuh menjadi alasan ketiga pendiri usaha rintisan teknologi finansial (fintech) untuk menjajal peruntungan di sini.

Dua pekan berikutnya, 22 September 2021, saya diundang pengusaha Ekasari Lorena Surbakti, presiden direktur Grup Lorena. Eka mengajak saya bertemu dan “Ngopi Hitz” dengan dua pengusaha kuliner Bogor, Mochi Bogor dan Butter Fields, yang menjadi bagian dari program Bogor Hitz. Program ini diinisiasi Eka bersama Pemerintah Kota Bogor, untuk mendukung menguatnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) kota Bogor, melalui sebuah platform dagang digital (e-commerce).

Bogor Hitz tidak hanya melakukan kurasi, pula melakukan pelatihan, pembukaan pasar, transportasi logistik skala domestik maupun ke pasar global. Proses penting yang dilakukan adalah transformasi digital. “UMKM tidak cukup hanya naik kelas. Saya ingin UMKM Indonesia jadi ‘hitz’, memenangi pasar,” ujar Eka yang datang dari bisnis logistik dan transportasi darat. Lewat PT Bawa Indonesia Global, Eka tengah menggarap program serupa dengan sejumlah daerah termasuk dengan Banyuwangi, Bali dan Singkawang. Target di setiap daerah adalah 1.000-an UMKM.

Selasa, 28 September 2021 saya bertemu dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam sebuah makan malam. Salah satu yang kami bahas adalah potensi ekonomi digital di Indonesia. Lutfi, yang pernah menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Menteri Perdagangan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menyampaikan optimismenya atas potensi ekonomi digital negeri ini. Menurutnya, nilai ekonomi digital Indonesia tahun 2020 mencapai Rp632 triliun. “Tahun 2030 bisa delapan kalinya,” kata Lutfi. Itu berarti Rp4.531 triliun.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 Soal Kampanye Bangga Buatan Indonesia. Apa yang membedakan dengan kampanye cinta produk Indonesia di masa lalu?

Kali ini, pemantauan keberhasilan program antara lain bisa dilakukan lewat sejumlah platform e-commerce yang populer. Versi Kemenkop dan UMKM, pada Agustus 2021 sudah ada 15,3 juta UMKM masuk ekosistem digital. Target program digitalisasi UMKM pada 2024 adalah 30 juta.

Baca Juga: Kampanye Cinta Produk Indonesia Era Soeharto sampai Jokowi, Bedanya?

Bagaimana Mencapai Ekonomi Digital Senilai Rp4.531 Triliun?Ilustrasi Fintech (IDN Times/Arief Rahmat)

Ada potensi, ada investasi, ada regulasi. Setidaknya itu yang kita lihat saat bicara ekonomi digital di Indonesia. Hal ini yang juga mengemuka dalam laporan survei Bank Dunia yang diluncurkan akhir Juli 2021. Laporan berjudul, Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technology for Inclussion itu menampilkan sejumlah hal, yang garis besarnya saya sampaikan di bawah ini.

Indonesia mendorong konektivitas, tetapi banyak yang masih ketinggalan

Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di South East Asia. Jumlah orang dewasa yang terkoneksi dengan internet bertumbuh tiga kali lipat dari 13 persen tahun 2011, menjadi 51 persen tahun 2019.

“Tapi, 49 persen orang dewasa di Indonesia belum terkoneksi internet. Terdapat kesenjangan digital yang masih lebar akibat geografi, spasial, ekonomi dan status sosial. Mereka yang berada di 10 persen kelompok teratas dalam distribusi penghasilan, lima kali lebih terkoneksi dengan internet dibandingkan kelompok 10 persen terbawah,” demikian laporan Bank Dunia.

Mayoritas pengguna internet di Indonesia menggunakan telepon seluler (mobile only), sisanya menggunakan saluran pita lebar (broadband fixed), penetrasinya lebih rendah dibandingkan dengan kebanyakam negara di ASEAN.

Investasi swasta dalam infrastruktur broadband mobile berkembang dan ini menurunkan harga biaya data mobile, begitu pun harga dan keterjangkauan masih dianggap sebagai hambatan dalam adopsi pita lebar tetap oleh 44 persen rumah tangga di Indonesia.
Bank Dunia juga mendapati, konsumen di Indonesia meraup manfaat dari berkembangnya ekonomi digital.

Pengguna internet secara intensif menggunakannya untuk komunikasi, media sosial, aplikasi hiburan (tiga hal yang dominan). Secara rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 6 jam dalam sehari berselancar daring, kelompok yang lebih muda dan berpendidikan lebih banyak menggunakan akses digital.

Kita juga melihat, layanan transportasi digital makin umum digunakan. Ini tidak hanya menyediakan layanan mobilitas untuk meghubungkan pasar tenaga kerja di Indonesia terutama di area metropolitan yang luas, melainkan juga menawarkan kenyamanan seperti pesan antar makanan, logistik, dan makin dibutuhkan selama pandemik. Bank Dunia mencatat, satu perempat orang Indonesia dan sekitar 36,5 persen penduduk kota mengaku menggunakan transportasi daring sebelum pandemik COVID-19.

Aktivitas jual beli daring meningkat pesat, dan meskipun baru dilakukan dalam kelompok populasi yang relatif kecil, hal ini sudah meningkatkan kesejahteraan konsumen lewat harga beli yang kompetitif, lebih murah dan nyaman. Pada 2019, proporsi rumah tangga yang menggunakan internet yang membeli secara daring ada 12,8 persen, sedangkan yang menjual daring 5,1 persen.

Ada peluang terbaru bagi pekerja

Bank Dunia mencatat ada peluang baru bagi pekerja, tetapi masih konsentrasi di sektor, geografi dan kelompok pekerja tertentu e-commerce menyediakan diversifikasi jalur penghasilan, terutama untuk perempuan dan anak muda yang secara sementara harus keluar dari pasar kerja. Begitu pun, penetrasi dan intensitas e-commerce alami tantangan tingkat kepercayaan pada pengguna soal transaksi dan pembayaran daring, logistik dan konektivitas internet.

 Bagi banyak orang muda Indonesia, kerja digital kian populer sebagai batu loncatan, dan memberikan gaji yang lebih baik ketimbang kerja konvensional dan di sektor informal. Masalahnya, peluang kerja di sektor digital hanya bisa diakses terutama oleh mereka yang tinggal di kota. Selain itu, mereka yang bekerja di sektor digital bekerja 10 jam lebih lama rata-rata dalam seminggu dibandingkan dengan pekerja sektor lain di Indonesia.

Secara keseluruhan, data Bank Dunia menunjukkan, pekerja dengan keterampilan lebih tinggi mendapatkan manfaat lebih dari peluang yang datang di sektor ekonomi baru seperti digital, dibandingkan dengan mereka yang terbatas keterampilannya.

Masih terjadinya kesenjangan digital, juga menjadi alasan mengapa adopsi digital di perusahaan, khususnya usaha mikro kecil dan menengah masih rendah. Kondisi ini mulai berubah saat pandemik dan pemerintah membantunya dengan sejumlah kebijakan.

Kepemimpinan pemerintah jadi kunci

Bank Dunia mengingatkan, kepemimpinan pemerintah dalam penggunakan teknologi digital untuk meningkatkan penyediaan layanan, menjadi kunci pada skala yang krusial untuk memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang.

Teknologi pendidikan dan teknologi kesehatan di Indonesia yang baru tumbuh mendapatkan dukungan besar lewat sejumlah aplikasi yang populer selama pandemik. Begitu pun, jangkauan mereka masih terbatas di kalangan pengguna di kota, terutama di Jawa. Teknologi digital perlu diadopsi dan diaplikasikan secara luas oleh pemerintah agar bisa membenahi akar masalah kesenjangan dalam jangka panjang.

“Indonesia belum memiliki e-KTP, namun sudah memiliki sistem kependudukan nasional yang relatif kuat sebagai aset signifikan untuk membangun ekosistem e-KTP,” demikian laporan itu.

Memanfaatkan aset potensial ini dapat menghubungkan jutaan warga Indonesia untuk terkoneksi dan mendapatkan manfaat dari ekonomi digital dengan membantu mereka membangun identitas digital yang aman.

Pemerintah telah membuat sejumlah langkah konkret dalam tahun terakhir untuk melakukan agenda transformasi digital, tapi pengalaman meunjukkan upaya ini kerap kali menemukan hambatan dari data dan informasi yang tersebar di mana-mana, juga tantangan koordisi antara lembaga dan tingkat di pemerintah. “Untuk mengatasinya perlu sebuah sistem platform, yang bisa menjadi payung bagi semua upaya transformasi digital yang sudah jamak dilakukan sebagai contoh baik di banyak ekonomi global,” kata Bank Dunia.

Apa yang perlu dilakukan RI untuk membangun masa depan digital yang inklusif?

Ini rekomendasi Bank Dunia.

Pertama, ekspansi konektivitas dan memastikan akses universal ke internet berkualitas baik, dengan tidak hanya membangun infrastruktur fisik sampai ke pelosok negeri, juga melonggarkan intervensi yang berkaitan dengan kompetisi dan regulasi sektor yang menjadi hambatan utama untuk kualitas dan keterjangkauan internet, terutama bagi kalangan kurang mampu.

Kedua, memastikan bahwa ekonomi digital bekerja baik untuk semua, dengan invetasi dan fasilitasi hal penting untuk ekonomi digital, seraya pada saat bersamaan menangkap peluang yang ada. Intervensi untuk membuat kemajuan inklusi finansial, fasilitasi kepercayaan untuk mempromosikan layanan jasa pembayaran digital lebih luas, memperbaiki sistem logistik dan meningkatkan skala investasi di ketrampilan digital, sebagaimana ketrampilan lain untuk berkembang di era ekonomi digital adalah bagian kritikal dalam strategi yang perlu dilakukan pemerintah.

Ketiga, memosisikan pemerintah memimpin di depan dalam memanfaatkan medium untuk menyediakan layanan yang lebih baik, memperbaiki kualitas interaksi antara warga dengan pemerintah. Hal ini bisa ditempuh, antara lain dengan menginisiasi kerangka nasional ekonomi digital, implementasi transformasi digital secara keseluruhan yang dipacu oleh kelembagaan yang memiliki kewenangan cukup untuk mengatasi masalah koordinasi antar lembaga, dan mendorong kepercayaan atas transaksi daring dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.

Tampaknya, rekomendasi Bank Dunia soal regulasi ditindaklanjuti pemerintah. Masalah yang krusial adalah memastikan koordinasi antar lembaga dan kementerian berjalan baik. Ini pekerjaan rumah sangat berat, dan kuncinya ada di kepemimpinan nasional.

Baca Juga: Cerita 3 CEO Muda Mendirikan Pluang, Pintu, dan PasarPolis

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya