Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini Faktanya

Kemampuan komunikasi penting

IDN Times, Jakarta – Pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 1 Oktober 2019 diwarnai oleh fakta-fakta menarik. Untuk pertama kalinya parlemen dipimpin oleh perempuan, yaitu Puan Maharani.

Legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu meraih suara terbanyak nasional, sebesar 404.034 suara. Puan, yang menjadi menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan di periode pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo itu mewakili daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah V, yang meliputi daerah Klaten, Sukoharjo, Boyolali, dan Kota Surakarta.

Ibunda Puan, Megawati Soekarnoputri, juga menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden Republik Indonesia, meskipun bukan melalui sistem pemilihan langsung.

Megawati menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dalam proses politik di Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat RI tahun 2001. Megawati adalah ketua umum PDIP.

Sidang paripurna DPR RI periode 2019-2024 dipimpin oleh Hillary Lasut, legislator perempuan berusia 23 tahun. Hillary berasal dari Partai NasDem, dan berusia termuda, 23 tahun. Sidang paripurna perdana selalu dipimpin oleh legislator tertua dan termuda.

Dari sisi keterwakilan perempuan, ada kenaikan persentase jumlah perempuan yang masuk ke Senayan, kantor perlemen kita, yaitu menjadi 20,5 persen atau 118 kursi, dibandingkan pada Pemilu 2014 yang hanya 17,6 persen. Meski angkanya masih di bawah 30 persen yang menjadi target afirmasi perempuan di lembaga legislatif.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengusulkan, evaluasi kebijakan kuota 30 persen perempuan dengan menambahkan soal penempatan caleg perempuan di nomor urut 1 pada 30 persen daerah pemilihan.

Kajian Perludem menunjukkan hasil pemilu dari 2009 hingga 2019, anggota DPR terpilih terutama berasal dari nomor urut 1 di dapilnya.

Masih ada kabar gembira lagi dari Senayan. Meutya Viada Hafid, legislator dari Partai Golkar, dipilih menjadi Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi masalah pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelijen.

Mantan jurnalis yang juga kondang sebagai presenter televisi ini tergolong legislator yang rajin turun ke dapilnya, dan memiliki komunikasi politik yang baik.

Apakah empat fakta di atas mampu membawa angin segar peran perempuan dalam politik, dan pembentukan legislasi yang berpihak kepada perempuan dan anak?
Ini sejumlah isu yang selama ini menjadi bahasan setiap kali kita membicarakan perempuan dan politik.

Baca Juga: Ini Rintangan Perempuan untuk Bersaing di Kancah Politik

1. Perempuan masih sulit bersaing dengan laki-laki dalam merebut kursi di parlemen

Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini FaktanyaKomisi I DPR Rapat Kerja dengan Menteri Komunikasi dan Informatika membahas Rencana Kerja Kemenkominfo Tahun Anggaran 2020, Selasa, 5 November 2019 (Twitter/@DPR_RI)

Ratu Dian Hatifah, mantan ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) tingkat nasional yang juga politisi, mengutip data UN Women tahun 2015, bahwa hanya 22 persen dari seluruh perempuan anggota parlemen tingkat nasional di seluruh dunia adalah perempuan. Rwanda adalah negara dengan jumlah anggota parlemen perempuan terbanyak, yaitu 63,8 persen.

Dalam sebuah acara yang diadakan Konrad-Adenauer Stiftung (KAS) dan Bandung Advisory Group (B-Trust) di Malang, pada 2017, Ratu Dian memaparkan data bahwa rata-rata jumlah anggota parlemen perempuan di negara kawasan Skandinavia adalah 41,5 persen, di kawasan AS 26,3 persen, dan di negara-negara Asia 18,5 persen.

Di Indonesia angkanya 97 orang atau 17,32 persen untuk anggota DPR perempuan hasil Pemilu Legislatif 2014.

Angkanya turun dibanding periode sebelumnya, 2009-2014 yang mencapai 103 orang atau 18,38 persen. Menurut Ratu Dian, ada 38 negara yang masih memiliki jumlah anggota parlemen perempuan kurang dari 10 persen.

Ratu Dian memaparkan, jumlah perempuan yang dicalonkan untuk menduduki kursi parlemen nasional pada Pemilu 2009 adalah 33,6 persen, sedangkan pada pemilu 2014 adalah 37 persen.

“Hanya 36 persen petahana lolos kembali, sebagian besar terpental keluar," kata Ratu Dian.

Politikus Partai Golkar ini menyebutkan, faktor kinerja juga kian maraknya politik uang dalam pemilu, membuat perempuan sulit bersaing merebut kursi ke Senayan.

Di tingkat daerah, hari ini pun, angkanya juga jauh dari menggembirakan. Sebagai contoh, hanya satu perempuan yang lolos menjadi anggota DPRD Tingkat I di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Baiq Isvie Rupaeda, politikus Partai Golkar menjadi satu-satunya perempuan di antara 65 orang wakil rakyat NTB yang dilantik pada 2 Agustus 2019. Pada periode sebelumnya, ada enam anggota DPRD perempuan di provinsi itu.

2. Partai politik tidak serius mencalonkan perempuan dalam setiap pemilu

Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini FaktanyaIDN Times/Panji Galih

Dalam keterangan tertulis yang diterima media massa pada Agustus 2019, Titi Anggraini mencatat bahwa sebagian besar perempuan yang terpilih adalah yang menempati nomor urut 1 dan 2.

Di nomor urut 1 terdapat 57 perempuan yang terpilih dari 235 Daftar Calon Tetap (DCT) perempuan yang ditempatkan pada nomor urut 1.

Untuk yang mendapat nomor urut 2, dari total DCT terdapat 372 orang perempuan, tapi yang terpilih hanya 29 orang. Sisanya perempuan yang berhasil terpilih menjadi wakil rakyat tersebar di nomor urut 3, 4, 5, 6 dan 7.

Untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), angka keterpilihan perempuan adalah sebesar 30,9 persen atau sebanyak 42 perempuan berhasil menduduki kursi anggota DPD. Dari 34 provinsi, terdapat delapan provinsi yang tidak memiliki calon anggota DPD perempuan.

Beberapa dari daerah itu antara lain Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.

Adapun Provinsi Sumatera Selatan, menjadi satu-satunya provinsi yang mampu mengantarkan wakilnya di DPD perempuan seluruhnya, sedangkan dua di antaranya dengan jumlah 3 orang perempuan DPD terpilih di Provinsi Jawa Tengah dan Maluku.

Stagnansi angka keterwakilan perempuan paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, pertama, perempuan masih ditempatkan bukan pada nomor urut yang cenderung banyak dipilih, yaitu nomor 1 dan 2.

Kepada VOA Indonesia, Edriana Noerdin mendukung fakta yang disampaikan Perludem. Edriana maju sebagai caleg dari Gerindra untuk daerah pemilihan Sumbar 1. Dia membenarkan perempuan biasanya ditempatkan di urutan nomor 3 ke bawah. Edriana mendapat nomor urut 3. Menurutnya, ada beberapa partai politik tidak serius menempatkan caleg perempuan.

Pada Pemilu 2019, terdapat 3.194 caleg perempuan dari total 7.968 caleg di seluruh Indonesia. PSI menjadi partai yang mengusung caleg perempuan terbanyak, dengan jumlah 274. Partai yang mengusung caleg perempuan paling sedikit adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan jumlah 76 orang.

3. Perempuan politisi masih alami hambatan diskriminasi dan isu personal

Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini FaktanyaRatu Dian Hatifah (Instagram)

Kepada VOA, Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin, mengakui masih ada diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik. Itu juga terlihat dari pengalamannya saat maju sebagai caleg dari daerah pemilihan Jawa Barat 7 dengan nomor urut 2.

Salah satunya yaitu soal urusan pribadi, yang kerap diperbincangkan ketika perempuan menjadi politikus.

"Dulu saya kuliah di Australia, ketika perdana menterinya perempuan yang diulik itu kehidupan pribadinya. Saya menyadari praktik tersebut masih terjadi di sini. Jadi kalau boleh saya titip ke media, kalau tanya ke perempuan di luar hal pribadinya," tutur Puteri.

Puteri adalah anak dari mantan ketua DPR Ade Komarudin. Dia lolos ke Senayan untuk periode 2019-2024 dari dapil Purwakarta.

Sementara itu, Ratu Dian menyoroti soal keterkaitan politisi perempuan dengan jejaring kekerabatan elite politik.

"Sebanyak 40 persen caleg perempuan terpilih memiliki jaringan kekerabatan dengan elite politik, sedangkan 26 persen adalah kader partai,” ujar Ratu Dian, merujuk kepada periode pemilu sebelumnya.

Hillary Lasut adalah putri dari pasangan Elly Engelbert Lasut dan Telly Tjanggulung. Elly pernah dua periode menjadi Bupati Kepulauan Talaud, sedangkan Telly Tjanggulung pernah menjabat Bupati Minahasa Tenggara. Sesuai data pribadinya, Hillary tergolong orang muda yang aktif dan menyiapkan diri menjadi politisi seperti kedua orang tuanya.

Dalam sejumlah pelatihan berkaitan dengan Penguatan Peran, Kapasitas dan Kompetensi Anggota Parlemen Perempuan yang digelar KAS dan B-Trust, juga digarisbawahi kecenderungan citra perempuan politisi yang buruk.

“Belum ada perempuan yang benar-benar membekas dalam ingatan publik sebagai tokoh politik berprestasi,” kata Ratu Dian.

Dia menyebut belum ada sosok seperti Aisyah Amini, politisi dari Partai Persatuan Pembangunan di era 1980-1990-an yang disebut singa podium.

Hal lain adalah sejumlah skandal politisi atau kegagalan rumah tangga yang memperburuk citra perempuan dalam politik, dan menutup prestasi yang telah mereka buat.

"Keluarga, terutama suami dan anak adalah faktor pendukung terbesar bagi perempuan berkarier, termasuk politisi. Tapi, suami juga bisa menjadi musuh paling berat juga, dan bermasalah dengan pasangan sungguh menghabiskan energi,” keluh salah satu perempuan politisi dalam sesi diskusi yang saya hadiri. Semacam musuh dalam selimut.

Citra perempuan politisi juga dianggap masih negatif, apalagi ketika sejumlah kasus korupsi yang ramai diberitakan media massa melibatkan perempuan sebagai pelaku. Padahal, dibandingkan dengan pelaku tindak pidana korupsi laki-laki, jumlah perempuan yang terseret kasus jauh lebih kecil.

Kabinet Kerja Presiden Joko “Jokowi” Widodo periode pertama ada sembilan menteri perempuan. “Tapi hanya Puan Maharani dan Khofifah Indar Parawansa yang asalnya dari jalur kader politik,” kata Ratu Dian.

Baca Juga: Ini Profil Hillary Brigita Lasut, Anggota Dewan Termuda di DPR RI

4. Perempuan politisi dianggap belum berperan banyak saat bertugas di parlemen dan minim pemberitaan

Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini FaktanyaIDN Times/Irfan Fathurohman

Hetifah Sjaifudian, pendiri B-Trust, mengutip data dari Kompas yang menyebutkan kehadiran perempuan di DPR dinilai publik belum membawa perubahan nyata di masyarakat.

Anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya membeberkan stigma yang ada di publik terkait politisi. “Rich, Lazy and Corrupt!”. Ini yang mendorong pihaknya giat melakukan pelatihan bagi perempuan politisi.

Pada Pemilu 1999, proporsi perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen hanya 9,2 persen dari total jumlah anggota. Pada 2004, proporsinya meningkat jadi 11,81 persen. Peningkatan cukup besar terjadi pada Pemilu 2009, 18 persen.

Jajak pendapat Kompas pada 2013 menunjukkan kehadiran perempuan di DPR dinilai publik belum membawa perubahan nyata di masyarakat. Secara umum, 62,5 persen responden menyatakan ketidakpuasannya atas kinerja para perempuan politisi di Senayan. Hasil jajak pendapat membahas pula sejumlah sektor strategis yang disorot publik. Salah satunya adalah soal pekerja migran.

Enam dari sepuluh responden menyatakan tak puas atas upaya perempuan anggota parlemen dalam menghasilkan perundang-undangan, yang melindungi para perempuan pekerja migran. Bahkan, kerja perempuan anggota legislatif untuk memajukan pendidikan pun dinilai masih kurang memuaskan oleh separuh bagian responden.

Ketika mahasiswa dan penggiat sipil riuh rendah meminta segera disahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, publik tidak melihat upaya serius politisi perempuan di parlemen mendukung gerakan ini.
Fenomena ini mengingatkan saya kepada curahan hati peserta pelatihan bagi anggota parlemen perempuan di Sumatera Utara.

"Kalau kita vokal sedikit, kita bisa dimusuhi. Bukan dimusuhi fraksi lain, apalagi mitra kerja. Kita bahkan dimusuhi fraksi sendiri, atau rekan satu partai,” ujar anggota parlemen perempuan tersebut.

Sebagaimana pernah saya tuliskan di Rappler.com, Senin malam, 8 Juni 2015, selama dua jam saya berdiskusi dengan puluhan perempuan politisi di kawasan ini. Keluhan soal bagaimana persepsi politisi laki-laki dan elite partai politik cuma salah satunya.

Faktor budaya juga masih kuat, bahwa perempuan “tidak boleh terlalu maju, apalagi menghabiskan energi dan waktu terlampau banyak di kegiatan luar rumah”.

Di era politik pencitraan, perempuan politisi relatif sepi dari peliputan media. Takshow politik di media televisi jarang mengundang perempuan sebagai narasumber. Yang diundang sosok yang itu itu saja, sama orangnya dari satu layar kaca ke layar kaca lainnya.

Media juga jarang mewawancarai perempuan dalam kasus yang mengundang perhatian publik, meskipun tidak sedikit perempuan politisi yang secara kredensial tak kalah intelektual, misalnya menyandang gelar master bahkan doktor dari perguruan tinggi yang kredibel di tingkat nasional maupun daerah.

5. Perempuan politisi di daerah masih gagap teknologi untuk sampaikan pikiran

Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini FaktanyaTwitter/NihayahCenter@ninikwafiroh

Dalam diskusi dengan ratusan anggota DPRD di sejumlah provinsi, saya mendapat kesan bahwa situasi “kurang diliput media” ini juga didukung oleh masih enggannya perempuan politisi berhadapan dengan pers.

“Harus diakui, kami ingin cenderung menghindari media,” kata Nurhasanah, anggota DPRD Sumut, dari Fraksi Partai Demokrat. Politisi yang tiga dekade menjadi jurnalis, termasuk di Harian Waspada itu, menganggap perempuan di parlemen perlu membekali diri dengan kemampuan berhubungan dengan media.

“Tolong juga sampaikan kepada media di ibu kota, termasuk talkshow Indonesia Lawyer Club-nya Bang One, agar mengundang politisi perempuan membahas tema aktual,” kata Nurhasanah. Bang One adalah sebutan untuk Karni Ilyas, pembawa acara bincang-bincang di TVOne itu.

Faktanya memang narasumber di acara bincang politik masih didominasi laki-laki.
Gaptek alias gagap teknologi informasi juga menambah sulitnya perempuan politisi mengoptimalkan saluran media berbasis Internet, seperti media sosial.

“Punya akun Facebook, tapi sudah lama tidak aktif, dan biasanya untuk pertemanan saja. Belum dimanfaatkan untuk menjaring pendapat publik atau melaporkan hasil kerja,” kata mereka.

Saya sepakat dengan Hetifah dan perempuan politisi yang semalam saya temui di Medan. Mereka merasa lebih rentan atas sorotan publik, termasuk melalui pemberitaan media. Tak heran jika dalam isu penting di publik, misalnya ketika “beras plastik” yang mengancam keamanan pangan menjadi topik hangat, kita tidak mendengar politisi perempuan di parlemen angkat suara.

Ketika kontroversi uji keperawanan bagi calon anggota TNI menjadi tema pemberitaan media, seingat saya hanya Nihayatul Mafiroh (@NihayahCenter), anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang bersuara cukup lantang menentang hal ini.

Saya mengutip wawancara Ninik, panggilan akrabnya, yang saya dapat dari rekaman video yang diunggah ke YouTube.

Ninik Wafiroh adalah salah satu perempuan politisi yang menyadari pentingnya melaporkan kinerja ke publik dengan memanfaatkan media sosial. Sosok lainnya adalah Ledia Hanifah, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sosok kunci dalam pembahasan Rancangan UU Disabilitas.

Rieke Diah Pitaloka sudah dikenal sebagai selebriti sebelum menjadi anggota DPR RI, dan suaranya cukup kencang terkait pembelaan terhadap buruh.

Pekan lalu Ninik Wafiroh mencuri perhatian publik lewat video viralnya, saat dia meminta pemerintah dan BPJS Kesehatan menyelesaikan sejumlah masalah, termasuk keberatan masyarakat atas kenaikan iuran premi BPJS untuk kelas III Mandiri.

Lewat akun Twitter @NihayahCenter, Ninik, wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa dapil Banyuwangi itu menyiarkan video streaming rapat dengar pendapat Komisi IX dengan Menkes, BPJS Kesehatan, dan sejumlah menteri terkait pada 7-8 November 2019. Ninik adalah wakil ketua Komisi IX.

6. Bagaimana perempuan politisi meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi dengan publik?

Benarkah Peran Perempuan Politisi Masih Dianggap Rendah? Ini FaktanyaIDN Times

Pelatihan penguatan kapasitas untuk perempuan politisi dalam berkomunikasi dan memanfaatkan teknologi informasi, menjadi salah satu solusi meningkatkan peran perempuan di parlemen, baik di pusat maupun daerah.

Ini sebuah proses panjang yang dimulai dengan meyakinkan perempuan politisi bahwa kursi yang didudukinya di parlemen adalah mandat rakyat, bukan semata “hadiah” dari fasilitas dan jejaring yang dibuat oleh kerabat elite politik, apalagi orang tua.

Saya yakin bahwa mereka yang bekerja keras dalam proses menjadi wakil rakyat, akan lebih menghargai proses, dan bekerja lebih baik saat duduk di parlemen. Setidaknya sebelum godaan untuk korupsi membajak proses itu.

Politik di Indonesia dikenal mahal, termasuk untuk “mengakuisisi” setiap suara dalam proses pemilu. Ini yang menggoda caleg untuk menempuh jalan pintas. Padahal ada cara lain yang bisa dilakukan, termasuk membangun komunikasi politik yang mumpuni, baik saat menjadi caleg maupun saat sudah menjadi legislator.

Ilmuwan Pippa Noris dari Universitas Harvard mendefinisikan komunikasi politik sebagai: “Sebuah proses yang interaktif berkaitan dengan penyampaian informasi di antara politisi, media, dan publik.

Proses transmisi informasi biasanya bersumber dari institusi pemerintahan atau kekuasaan yang disampaikan ke publik/warga, secara horizontal di antara sesama aktor politik, pula melalui proses pembentukan opini untuk mempengaruhi kekuasaan”.

Komunikasi politik punya konotasi negatif juga, yaitu propaganda.
Apa pun tujuannya, semuanya bermula dari prinsip yang universal: kenali target audiens. Knowing Your Audience. Komunikasi di level nasional memiliki pilihan saluran yang lebih banyak ketimbang di level lokal.

Tetapi saluran lokal memiliki kekuatan soal “dekat”. Proximity. Bauran strategi dan pilihan saluran, termasuk platform, akan menentukan efektivitas komunikasi politik. Setiap platform, efektif untuk target audiens tertentu.

Penting mengenali proses dan cara kerja media. Untuk level nasional, pada prinsipnya media bekerja nyaris 24 jam sehari, dalam 7 hari sepekan. Apalagi untuk televisi dan media digital. Untuk di daerah kondisinya bisa berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Media tidak memuat semua tema, padahal media menerima ratusan informasi setiap harinya. Memahami isu yang memiliki nilai berita (news values), penting. Mulai dari aktualitas atau momentum, tingkat kepentingan, kedekatan, relevansi sampai data penunjang.

Content is the King, distribution is the Queen. Practice makes perfect.
Di era digital membuat kita bisa mengakses segala jenis informasi dan data yang diperlukan, melalui mesin pencari di Internet. Mengenai bagaimana mendeteksi isu dan mengeksplorasi peluang untuk berhubungan dengan media, area di mana saya sering diminta untuk berbagi pengalaman dari sudut pandang media, saya mendorong perempuan di parlemen untuk memanfaatkan medium digital yang tersedia.

Jika media arus utama belum peduli untuk menjangkau perempuan di parlemen, buatlah media sendiri. Informasi bisa disampaikan baik berupa teks, maupun video.
Saya percaya bahwa perempuan, di luar soal kodrat yang terkait dengan fisik dan reproduksi, punya potensi yang sama dengan laki-laki, termasuk dalam politik. Era digital justru membuka peluang lebih besar daripada sebelumnya.

Sejarah membuktikan hal itu. Bagaimana misalnya Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memimpin negerinya menghadapi saat krisis aksi teror mematikan di Christchurch tahun lalu.

Salah satu politisi perempuan paling mumpuni, Perdana Menteri Inggris selama 11 tahun, Margareth Thatcher, punya kutipan yang legendaris. Thatcher, yang punya julukan The Iron Lady, pernah berkata, “If you want something said, ask a man; if you want something done, ask a woman”.
Setuju kah Anda?

Baca Juga: Keterlibatan Perempuan di DPR Tembus Angka 20 Persen

Topik:

  • Sunariyah
  • Wendy Novianto

Berita Terkini Lainnya