Drakor The World of the Married dan Nasib RUU PKS

KDRT di masa pandemik naik 75 persen

Jakarta, IDN Times – Kalian yang suka Drama Korea (drakor), pasti tahu, bahkan menonton The World of the Married. Drakor ini mencetak perolehan TV Rating tinggi di Korea Selatan. Episode ke-16, yang terakhir dari seri drakor yang ditayangkan sejak Maret hingga Mei 2020 itu mencetak TVR 28,37 persen, tertinggi dalam sejarah yang diraih sebuah drama yang ditayangkan di TV kabel di Negeri Ginseng itu.

Drakor ini memuat konflik dalam rumah tangga dokter Ji Sun-woo (yang diperankan Kim Hee-ae) dengan suaminya sutradara Lee Tae-oh (diperankan oleh Park Hae-joon). Ada perselingkuhan antara Lee Tae-oh dengan Yeo Dakyung ( diperankan Han So-hee), yang membuat perkawinan Ji Sun-woo dan Lee Tae-oh bubar.

The World of the Married popular karena dianggap relevan, punya kedekatan emosional dengan realitas yang ada di masyarakat. Istri lebih sukses dalam karir, suami mengalami kesulitan dalam usaha, dan sibuk mencari investor, lantas kepincut anak pemilik duit. Sang anak dalam perkawinan, jadi korban konflik yang diwarnai dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tokoh lainnya, Min Hyun Seo (diperankan Shim Eun-woo), terjebak dalam hubungan dengan pasangan yang suka kekerasan dan kejam, Park In Kyu (diperankan Lee Hak Joo).

Drakor ini ditayangkan saat dunia, termasuk Korsel, memasuki era pandemik Covid-19. Tetapi pengambilan gambar dilakukan sebelumnya. Kita melihat suasana di Seoul, Gyeonggi-do dan Gangwon-do yang menjadi lokasi syuting, masih normal. Pelakon berkegiatan tanpa masker di kota Gosan, yang menjadi lokasi di drakor itu.

Ji Sun-woo dan pemeran istri di drakor ini berkegiatan sepanjang hari, dan bisa “melarikan” diri ke bar atau restoran jika penat. Pula saat konflik dengan suami. Begitu juga Min Hyun Seo bisa “melarikan” diri dari tekanan fisik dan mental yang dialaminya dengan bekerja di rumah sakit atas bantuan dokter Ji Sun-woo yang memanfaatkan Min Hyun Seo untuk memata-matai suaminya yang berselingkuh dengan Yeo Dakyung.

Bagaimana situasinya jika konflik dengan kekerasan terjadi saat pandemik? Ketika keluarga, termasuk pasangan suami-istri “terperangkap” di rumah karena karantina wilayah alias lockdown? Bagaimana jika kekerasan yang dialami tidak hanya kekerasan fisik dan verbal, tetapi juga kekerasan seksual yang membahayakan jiwa dan mental korban?

“Untuk banyak perempuan dan anak perempuan, ancaman terbesar justru terjadi di saat seharusnya mereka ada di tempat yang paling aman, yaitu di rumah. Kita tahu bahwa lockdown dan karantina penting untuk memutus (penularan) COVID-19. Tapi, hal ini juga bisa menjadi perangkap bagi perempuan yang tinggal dengan pasangan yang cenderung melakukan kekerasan,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres.

UN Women, lembaga PBB yang menangani kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan mencatat bahwa KDRT atau kekerasan domestik sudah menjadi satu dari pelanggaran hak asasi manusia yang terbesar.

Pada tanggal 6 April 2020, Direktur Eksekutif UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka menyampaikan, sebanyak 243 juta perempuan dan anak perempuan telah menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual dari pasangan intimnya (termasuk suami), dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. April, adalah bulan di mana sekitar 40 persen dari populasi dunia mengalami karantina, dipaksa berada di rumah saja.

Angka di atas, bertambah selama pandemik. Tidak mudah mendapat angka sebenarnya dari peristiwa KDRT. Kurang dari 40 persen korban melapor atau mencari bantuan. Dari yang melapor, kurang dari 10 persen yang melaporkannya ke polisi.
Begitu pun, data awal menunjukkan bahwa ada peningkatan 30 persen keluhan yang diterima saluran layanan bantuan di Singapura dan Siprus. Di New South Wales, Australia ada peningkatan 40 persen permintaan bantuan atas KDRT. Di Prancis, KDRT meningkat 30 persen sejak negeri itu menerapkan lockdown pada 17 Maret 2020. Di Argentina, telepon darurat pelaporan KDRT menerima aduan 25 persen lebih banyak sejak lockdown pada Maret 2020.

Di Inggris, panggilan telepon, surat elektronik dan kunjungan ke situs Respect yang menangani isu KDRT masing-masing naik 97 persen, 185 persen dan 581 persen. Lonjakan signifikan. Dalam tiga pekan pertama lockdown karena COVID-19, 14 perempuan dan dua anak terbunuh.

“Terkurung akibat harus di rumah saja bagaikan badai yang sempurna bagi kebiasaan kekerasan di balik pintu,” kata Mlambo-Ngcuka. Penyebabnya berkisar soal keamanan, kesehatan dan duit. Kehilangan nafkah karena krisis ekonomi selama pandemik kian memperparah KDRT.

Bagaimana di Indonesia?

Baca Juga: Apa Susahnya Membahas RUU PKS?

Drakor The World of the Married dan Nasib RUU PKSIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 75 persen sejak pandemik berlangsung.
Dalam siaran langsung lewat akun YouTube BNPB, Jumat (10/7/2020), dr Reisa Broto, tim komunikasi publik Gugus Tugas COVID-19, menayangkan presentasi dari Pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemik ada 14.719, dibagi 3 kategori : di ranah personal 75,4 persen atau 11.105 kasus, ranah komunitas 24,4 persen atau 3.602 kasus, dan ranah negara 0,08 persen atau 12 kasus.

Kita bisa mengetahui dari presentasi itu bahwa kekerasan pada perempuan yang paling banyak terjadi adalah jenis kekerasan fisik, mencapai 5.548 kasus. Kekerasan psikis ada 2.123 kasus, dan kekerasan seksual 4.898 kasus. Kekerasan karena soal ekonomi mencapai 1.528 kasus. Kekerasan terhadap buruh migran dan trafficking tercatat 610 kasus.

Melihat angka-angka di atas, seraya mengingatkan kembali bahwa angka pelaporan KDRT adalah fenomena pucuk gunung es, maka kian sulit dipahami bahwa pemerintah dan DPR RI memilih untuk mencabut mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Resesi ekonomi yang sudah mengepung kita, jutaan orang menganggur, masalah keuangan yang membelit keluarga korban pemutusan hubungan kerja (PHK) menambah badai ancaman KDRT.

Survei yang dilakukan Komnas Perempuan dalam periode April-Mei 2020, misalnya, menemukan kekerasan psikologis dan ekonomi mendominasi KDRT. Survei dilakukan kepada 2.285 responden perempuan maupun laki-laki.

“Sebanyak 80 persen dari responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama pandemik,” kata Komisioner Komnas, Maria Ulfah Anshor.

Dalam bulan ini setidaknya saya mengikuti dua kegiatan yang membahas nasib perempuan. Pertama, Focus Group Discussion (FGD) Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Selama Pandemik COVID-19, untuk klaster dampak sosial kemasyarakatan. FGD diadakan oleh Komnas Perempuan. Kedua, menjadi pembicara di sesi pelatihan media dan gender yang diadakan Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK).

Benang merah dari dua kegiatan di atas, adalah pentingnya semua pilar yang ada di masyarakat, terutama media, untuk terus-menerus mengingatkan ancaman kekerasan terhadap perempuan dan anak, apalagi di masa pandemik. Kita tidak tahu kapan pandemik berakhir. Mengajak siapa pun yang peduli, termasuk penyintas untuk bersuara. Ketidakpastian bisa berlangsung satu sampai dua tahun ke depan. Termasuk dampak krisis ekonominya.

Pelajaran pahit lainnya adalah, kita tidak bisa menggantungkan nasib penindakan kekerasan terhadap perempuan kepada elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Sulit dipercaya bukan, saat kian banyak perempuan duduk di kursi penting baik di kabinet, bahkan memimpin lembaga legislatif, beleid yang dimaksudkan melindungi perempuan justru terseok-seok saat pembahasan, dan bahkan mental dari pembahasan tahun 2020.

Kembali ke situasi di Korsel, dan The World of the Married, yang populer itu. Ada tanda-tanda bahwa budaya kekerasan terhadap perempuan di sana, yang diperparah dengan kebiasaan konsumsi minuman keras, menurun ke generasi yang lebih muda.

Dalam sebuah survei yang dilakukan Daily Telegraph pada tahun 2017, sebanyak 80 persen laki-laki di negeri itu melakukan pelecehan mental maupun fisik. Bentuknya bisa berupa melarang bergaul dengan teman dan keluarga, pula kekerasan fisik.

The Asia Foundation pernah membuat survei di Kamboja, bagaimana drakor yang penuh adegan konflik, KDRT, perselingkuhan, meromantisasi kekerasan dalam hubungan percintaan, mempengaruhi khalayak penonton di sana. Saya berharap ada survei dan penelitian serupa di Indonesia soal sinetron dan drakor yang kini masuk ke ruang keluarga setelah juga ditayangkan oleh stasiun televisi yang bisa diakses secara gratis (free to air).

Spoiler alert, drakor The World of the Married yang kerap dibahas sebagai bentuk “daya tahan” perempuan dalam sebuah hubungan, berujung Ji Sun-woo dan Dakyung berani mengambil keputusan bercerai dari pasangan yang melakukan kekerasan, minimal verbal. Sementara Min Hyun Seo yang kerap mengalami kekerasaan fisik akhirnya berani memutuskan hubungan meski tidak mudah. Dan kekasihnya yang obsesif, Park In Kyu,  kemudian tewas mengenaskan.

Pada Februari 2018, Statista.com melaporkan KDRT terhadap perempuan dan anak perempuan menjadi isu sosial nomor satu di Korsel. Ini menunjukkan ada masalah budaya dan sosial, yang akarnya adalah masyarakat yang didominasi budaya patriarki. Hambatan terbesar bagi legislasi yang menjamin ruang kesetaraan bagi perempuan.

Sebuah opini yang ditulis Se-woong Koo di koran New York Times tahun 2016 mengkritisi bahwa negeri yang dianggap maju tapi proses legislasinya masih dikuasai laki-laki itu takut menerima aturan perundangan yang nondiskriminatif. Baik presiden, pemimpin dan elit politik, sektor swasta termasuk para suami secara sistematis menutup mata terhadap kenyataan itu.

Menurut Se-woong Koo, kolumnis yang juga pemimpin redaksi Korean Expose, Korsel tentu tidak menerapkan sistem otokrasi totalitarian seperti di Korea Utara. Tapi, tetap saja kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan terjadi setiap hari.

Fenomena ini juga kita hadapi di negeri sendiri.

Baca Juga: Sah! RUU PKS Dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya