Kontroversi “PSBB Total”, Kata-kata yang Tak Pernah Diucapkan

Tugas jurnalis kian berat

Jakarta, IDN Times – Akhirnya koreksi itu datang dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. Doni, yang juga Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mengatakan, Gubernur Anies Baswedan tak pernah menyebut istilah “PSBB Total” untuk wilayah DKI Jakarta.

Saat saya kontak lewat telepon, Senin, 14 September 2020, Doni menegaskan kembali apa yang dia sampaikan dalam jumpa pers lewat akun YouTube BNPB, Minggu (13/9/2020). Pihaknya selalu berkonsultasi dan berkomunikasi terus dengan Gubernur Anies. Minta tidak ada polemik perbedaan pendapat antara Pemprov DKI Jakarta dengan Satgas COVID-19. “Tolong Mbak Uni, diklarifikasikan ke publik, Gubernur Anies tidak pernah gunakan istilah ‘PSBB Total’,” ujar Doni.

Saya menonton secara penuh dua jumpa pers Anies Baswedan pada hari Rabu (9/9/2020) yang mengumumkan keputusan menarik rem darurat dengan menerapkan PSBB -Pembatasan Sosial Berskala Besar - seperti di awal pandemik, juga video konferensi pers dengan tema yang sama, pada hari Minggu (13/9/2020). Tidak ada penggunaan istilah "PSBB Total”.

Persisnya, yang disampaikan Anies dalam keterangan pers yang kemudian dilabeli dengan embel-embel “PSBB Total” adalah, “Bukan lagi PSBB transisi, tapi kita harus melakukan PSBB sebagaimana masa awal dulu dan inilah rem darurat yang harus kita tarik sebagaimana tadi kita lihat begitu dilakukan pembatasan, maka jumlah kasus menurun sehingga kita bisa menyelamatkan saudara-saudara kita.”

Sebelumnya Anies memaparkan grafik dan informasi soal COVID-19 di Jakarta.

Baca Juga: Doni Monardo: Pak Anies Tidak Pernah Menggunakan Istilah PSBB Total

Kontroversi “PSBB Total”, Kata-kata yang Tak Pernah DiucapkanKepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Jadi, siapa yang memulai istilah “PSBB Total” itu? Jawabannya adalah media. Ada yang memulai menggunakan istilah itu berdasarkan persepsi dan konklusi, lantas judul dan istilah itu menulari media lain. Termasuk IDN Times. Ini bagian dari kelemahan media di era digital, yang memperhitungkan algoritma dalam distribusi konten lewat platform, sehingga mudah terjebak untuk menggunakan istilah yang belum tentu tepat dan akurat, tetapi sudah terlanjur viral.

Pada saat yang bersamaan, tingkat literasi digital publik kita masih sangat rendah. Orang terbiasa hanya membaca judul saja, tanpa mau mengecek isi beritanya. Apalagi meluangkan waktu menonton jumpa pers dengan durasi lebih dari 40 menitan itu.
Sikap ini tidak hanya di kalangan awam. Di kalangan sosok berpendidikan pun, bahkan level pakar maupun pejabat tinggi, kebiasaan hanya membaca judul lantas berbagi informasi yang belum dikurasi banyak terjadi. Saya mengalami itu di grup komunikasi singkat WhatsApp, maupun di media sosial lain termasuk Facebook, Twitter dan Instagram. Figur publik berdebat, berkomentar, atas konten media hanya dengan membaca judulnya.

Pekan lalu kita kehilangan Jakob Oetama, pendiri dan pemilik jejaring Kelompok Kompas Gramedia. Sosok Begawan Pers. Saya menulis salah satu warisan pentingnya, yaitu “Jurnalisme Makna”. Pentingnya peran jurnalis, dan media untuk menggali duduk perkara sebuah peristiwa, apalagi yang memicu kontroversi. Bukan sekadar sodorkan fakta, apalagi yang belum diverifikasi.

Dalam buku berjudul BLUR, How To Know What’s True in The Age of Information Overload, yang ditulis oleh duet Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dibahas soal peran penting jurnalis di era digital.

Buku ini, yang ditujukan ke publik luas, tidak fokus ke jurnalis, sebagaimana buku sebelumnya, Elemen Jurnalisme”. Membahas delapan hal yang penting bagi jurnalis di masa depan. Menurut saya, artinya masa kini, karena buku ini diterbitkan pada tahun 2010.

Pertama, fungsi otentikator, pensahih (authenticator). Kita memerlukan pers yang membantu mensahihkan fakta yang benar dan dapat dipercaya. Ini jadi lebih krusial di saat jurnalis bukan lagi penyedia informasi tunggal.

Kedua, fungsi penuntun akal (sense maker). Jurnalisme sangat cocok memerankan fungsi sebagai penuntun akal, meletakkan informasi pada konteks dan mencari kaitannya hingga konsumen bisa memutuskan apa makna berita itu bagi kita. Jurnalisme Makna.

Ketiga, investigator. Jurnalis perlu terus melanjutkan fungsi sebagai investigator publik. Sering disebutkan dengan istilah menjadi anjing penjaga (watchdog), terutama memastikan pemegang kekuasaan akuntabel. Makin penting dalam suasana kerja penuh ketergesaan, jurnalisme pernyataan atau jurnalisme pengukuhan yang interpretatif, propagandis dan menempatkan khalayak sebagai kaki tangan yang partisan.

Keempat, penyaksi (witness bearer). Ini fungsi pengawasan pers yang lebih lunak dari sebagai anjing penjaga terhadap kekuasaan. Tak semua cahaya yang disorotkan pers mengekspos pelanggaran, ada sesuatu yang kuat dan esensial, tapi kurang diperhatikan. Ada hal tertentu di komunitas yang harus diamati, diawasi, diteliti. Jika tidak, pemerintah dan pihak yang ingin mengeksploitasi akan mengedepankan kepentingan pribadi ketimbang kebaikan publik.

Kelima, pemberdaya (empowerer). Pers diharapkan memberi alat yang memungkinkan warga menemukan cara baru untuk mengetahui. Salah satunya dengan menempatkan publik sebagai bagian dari proses berita dan bukan cuma sebagai khalayak. Jajak pendapat adalah salah satu bentuk implementasi, selain melibatkan warga sebagai subyek informasi.

Keenam, agregator cerdas (smart aggregator). Kita perlu bantuan memanfaatkan kekuatan web. Kita butuh agrerator pintar yang menyisir web untuk bekerja melampaui algoritma komputer dan agregator umum. Perusahaan media perlu benar-benar membantu melayani konsumen berita yang berorientasi ke depan, mengarahkan khalayak ke sumber web lain yang dianggap penting dan layak jadi rujukan. Kurasi adalah pengetahuan.

Ketujuh, penyedia forum (forum organizer). Surat pembaca rubrik opini, adalah contohnya. Jurnalis, khususnya yang bekerja di daerah, perlu membantu terbentuknya diskusi yang melibatkan warga secara aktif. Lembaga berita milik komunitas harus didukung agar berkembang.

Kedelapan, panutan (role model). Pers perlu menjadi panutan terutama bagi warga yang ingin membawa kesaksiannya sendiri dan sekaligus bertindak sebagau jurnalis warga. Netizen. Mereka akan berkaca kepada jurnalis untuk melihat bagaimana pekerjaan ini dilakukan, meniru apa yang mereka lihat dan sukai dan meninggalkan apa yang mereka tidak sukai.

Saya mengutip delapan peran jurnalis masa depan itu dari buku BLUR, yang diterjemahkan secara resmi oleh Dewan Pers pada tahun 2012.

Jurnalisme, dengan kata lain, tak menjadi usang. Ia hanya menjadi lebih rumit.
Kenapa tidak usang? Karena prinsip dan peran itu sudah ada jauh sebelum era digital.
Wilard Bleyer, guru besar jurnalistik yang juga pendiri sekolah jurnalistik di Wisconsin University di AS, tahun 1913, menulis buku, News Paper Writing and Editing. Sebelas poin pengingat dari Bleyer masih relevan sampai kini, menurut saya.

Diantaranya adalah: “Ingat bahwa apapun yang kamu tulis, dibaca oleh ribuan orang, jangan lupakan bahwa artikelmu/headline-mu berdampak, mempengaruhi opini publik.”
Kontroversi “PSBB Total” adalah contoh nyata dan terbaru.

Baca Juga: Ternyata Ada Tiga Jenis PSBB, Apa Saja Perbedaannya? 

Kontroversi “PSBB Total”, Kata-kata yang Tak Pernah DiucapkanApel Pengawasan Penindakan PSBB (Dok. Humas Pemprov DKI Jakarta)

Sebenarnya saya berharap Gubernur Anies segera mengoreksi media yang memuat kepala berita dengan istilah yang tidak pernah dia sampaikan, agar tidak menimbulkan kontroversi sampai tiga hari.

Dalam suasana pandemik yang memburuk, hal terakhir yang kita perlukan adalah debat menghabiskan energi atas kata-kata yang tak pernah ada.

Lansekap politik di antara Pilgub DKI Jakarta 2017 yang dimenangi Anies (jelas dia bukan calon dari kubu partai politik pendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo), dengan kompetisi Pemilihan Presiden 2024 sudah membuat proses penanganan pandemik COVID-19 bak ular karet yang mulur-mengerut.

Tapi, tanggung jawab konten media ada di medianya itu sendiri, bukan berharap kepada narasumbernya.

Saya menyisir jejak siapa media pertama kali memuat judul “PSBB Total” itu, yang kemudian diikuti tim IDN Times. Tidak perlu saya sampaikan detailnya di sini.

Tulisan ini saya buat untuk pengingat diri dan tim kami. Juga, semoga untuk kita semua. Beda jurnalis dengan pendengung dan pembingung di media sosial, adalah tanggung jawab atas konten apa yang dipublikasikan. Dalam konteks itu, saya minta maaf kepada publik, atas penggunaan istilah yang tidak akurat itu di IDN Times.

Kasus ini menjadi pengalaman menarik dalam komunikasi publik selama pandemik corona di tanah air.

Baca Juga: [LINIMASA-4] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya