Media dan Keluarga, Meliput dengan Perspektif Gender

Kian penting saat pandemik COVID-19

Jakarta, IDN Times - Drama Korea alias drakor yang sedang populer, terutama di tengah pandemik COVID-19, menyajikan gambaran menarik soal keluarga. Karakter dan plot cerita sejalan dengan beragam studi soal perkembangan sosok keluarga di media.

Salah satunya digambarkan Emily Rouse, seorang feminis di Kanada, bagaimana media memotret keluarga. Secara historis, tahun 1950-an, media massa menyajikan keluarga dalam format yang tradisional: pasangan orangtua yang bijaksana dan menjadi panutan dan penentu nilai-nilai dalam keluarga, pembagian peran ayah bekerja dan ibu memasak di dapur, anak-anak pergi ke sekolah, konflik dalam keluarga diselesaikan dengan “fatwa” orangtua, terutama ayah dan sebagainya. Untuk kasus di AS, biasanya keluarga kulit putih.

Tahun 1960-an, mulai ada perubahan. Media menyajikan kisah orangtua tunggal, meskipun dominasi pasangan menikah masih kuat.

Tahun 1970-1980an, tayangan di media, terutama televisi di AS, mulai menyajikan potret keluarga dari kalangan masyarakat yang saat itu dianggap minoritas: kulit berwarna. Masih ingat serial popular Cosby Show?

Sungguh pun demikian, minoritas belum banyak diberi tempat di media, termasuk media massa.

Di Indonesia, bahkan pemerintah Orde Baru masih menggunakan format keluarga tradisional untuk kampanye keluarga berencana: pasangan orangtua dan pesan: dua anak saja cukup.

Perkembangan potret media sebagaimana yang digambarkan Emily Rouse, kini bisa kita saksikan dalam serial drakor yang menyajikan beragam setting, mulai dari keluarga bahagia, keluarga yang berantakan seperti dalam kisah The World of Married, ibu tunggal yang mencoba bertahan mengurus anak sambil berjuang dalam karir seperti “Was it Love?”, ibu yang terobsesi mencarikan jodoh berdasarkan bibit, bebet, bobot seperti di film “Something in the Rain” sampai pola keluarga tak lengkap yang digambarkan di film “It’s Okay not Be Okay”.

Drakor dianggap menggambarkan perkembangan budaya yang terjadi di masyarakat. Mengapa popular di negara-negara di Asia termasuk Indonesia, karena dekat dengan realitas yang ada.

Media dan Keluarga, Meliput dengan Perspektif GenderDok. tvN

Serial keluarga yang popular di Indonesia adalah “Keluarga Cemara”.

Makin ke sini kian banyak film, sebagai bentuk media yang sangat berperan membentuk persepsi masyarakat, makin berani menyajikan bentuk keluarga yang non tradisional. Ada kisah orangtua yang sudah bercerai bekerjasama menjalankan peran orangtua bagi anak-anaknya, ada kisah pasangan gay/lesbian yang menjadi orangtua, anak-anak yang diasuh kakek dan atau nenek, keluarga besar hidup di bawah satu atap. Beragam bentuk keluarga ditampilkan.

Perkembangan potret keluarga yang disajikan media film, adalah refleksi dari apa yang terjadi di masyarakat. Media massa, jurnalis, meliput perkembangan itu. Transformasi keluarga dengan segala masalahnya, termasuk di era digital.

Konten media memengaruhi bagaimana pola hubungan dan komunikasi dalam keluarga, dan sebaliknya juga media massa menyerap dan menyajikan problematika yang dihadapi keluarga.

Dalam sebuah kertas kerja untuk Gedung Putih yang dibuat Annenberg School of Communication, tahun 1980-an, disebutkan bahwa, keluarga adalah agen utama sosialisasi. “Pengalaman tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh realitas yang ada di sekitarnya, berkaca kepada lingkungan keluarganya.”

Masalahnya, tidak seperti sekolah yang mendapatkan otoritas akses ke keluarga lewat peran negara, dalam bentuk kewajiban sekolah dan aturan lain, media massa mendapatkan akses masuk ke ruang keluarga tanpa izin otoritas formal dan syarat tertentu.Terutama adalah televisi, yang sempat dianggap sebagai “perekat keluarga”. Televisi memiliki akses ke anggota keluarga yang paling dilindungi: anak. Sebelum masifnya pengaruh media digital.

Media massa di Indonesia kini memiliki Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, yang dirumuskan bersama oleh komunitas media yang difasilitasi Dewan Pers dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Pedoman ini memuat 12 poin yang perlu diperhatikan oleh jurnalis dan media dalam meliput anak. Dewan Pers meluncurkan pedoman ini pada Hari Pers Nasional, 9 Februari 2019, di Bengkulu.

Apakah itu cukup? Tentu tidak.

Pedoman ini masih perlu disosialisasikan untuk dijalankan oleh setiap media massa.

Baca Juga: Tak Bisa Sembarangan, Ini Poin Penting Ciptakan Pemberitaan Ramah Anak

Media dan Keluarga, Meliput dengan Perspektif GenderIlustrasi Keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Pentingnya peliputan sensitif gender

Pandemik ini memutus anak-anak dari keluarga, teman-teman, sekolah, dan rutinitas yang biasa dijalani, membuat orangtua stres karena harus berjuang untuk menyeimbangkan beragam tanggung jawab sebagai yang menanggung kehidupan, mengasih keluarga dan sebagai pendidik secara bersamaan.

Meliput keluarga, membutuhkan pemahaman soal sensitivitas gender pula, agar tidak terkungkung dalam bias gender yang masih ada di masyarakat.

“Peliputan sensitif gender tidak boleh jadi isu pinggiran, justru selama krisis menjadi makin penting dan harus menjadi prioritas,” kata Emma Lygnerud Boberg, penasihat program gender dan pembangunan di International Marie Stopes (IMS).

Tanpa pemahaman gender, media justru berkontribusi terhadap makin buruknya dampak krisis dan memutar balik perjuangan kesetaraan yang diperoleh perempuan di seluruh dunia.

Pandemik membuat dilema bagi editor dan jurnalis yang harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, di saat yang sama juga harus memastikan perlindungan dari infeksi dan mitigasi untuk memutus mata rantai penularan virus.

Tengoklah situasi yang masih kita hadapi, dengan merujuk kepada data yang disajikan dalam laman International Media Support, saat memperingati Hari Perempuan Sedunia, Maret 2020.

Porsi perempuan dan laki-laki dalam pemberitaan masih jauh dari seimbang. Mayoritas konten media memotret perempuan dalam stereotipe fungsi, seperti sebagai ibu rumah tangga, model atau korban.

Perempuan masih sering dibahas di media dari sudut pandang: penampilan, usia, pakaian yang dikenakan dan status pernikahan. Laki-laki, di sisi lain, sering ditampilkan sebagai figur publik yang berdaya.

  • Hanya 4 persen dari peliputan di koran, radio dan TV di seluruh dunia yang menyoal stereotipe gender
  • Hanya 24 persen dari subyek news, orang yang diwawacarai adalah perempuan
  • Hanya 19 persen perempuan diwawancarai sebagai pakar/ahli
  • Hanya 16 persen dari pemberitaan berkaitan dengan politik dan pemerintahan menempatkan perempuan sebagai subyek

Angka-angka di atas tidak hanya menjadi indikasi ketidakseimbangan gender di media, tetapi juga menjadi penghalang serius bagi pembangunan dan demokrasi. Demokrasi yang berfungsi dengan baik membutuhkan kesetaraan gender, dan media perlu melakukan lebih baik untuk berkontribusi terhadap tujuan ini.

Media memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk menantang stereotipe dalam produksi konten dan bersama-sama kita perlu merumuskan contoh bagi generasi sekarang dan mendatang.

Media dan Keluarga, Meliput dengan Perspektif Genderpexels.com/august de richelieu

Dampak pandemik COVID-19

Sebuah situasi krisis, apakah itu krisis di bidang kesehatan, ekonomi, atau konflik termasuk yang disebabkan oleh bencana alam, seringkali menjadi refleksi dari kesenjangan yang ada di masyarakat. Bagaimana perempuan terdampak krisis, bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya.

Helen Lewis, jurnalis yang juga penulis “Difficult Women: A History of Feminism in 11 Fights,” khawatir bahwa, “Di seluruh dunia, kemandirian perempuan menjadi korban sunyi dari pandemik.”

Dalam sebuah artikel yang dimuat di laman The Atlantic, Lewis khawatir bahwa virus corona menjadi pukulan berbahaya bagi upaya perjuangan kesetaraan gender di mana pun.

Di negara maju, pasangan yang memiliki pendapatan ganda harus memutuskan siapa yang mengurus rumah tangga dan keluarga – dan karena biasanya laki-laki memiliki pendapatan lebih besar, akhirnya perempuan yang harus berkorban kehilangan pekerjaan, pendapatan dan waktu untuk dirinya.

Baik perempuan maupun laki-laki bakal mengalami penurunan pendapatan gaji selama situasi ekonomi yang sulit, tetapi tingkat pendapatan laki-laki biasanya pulih lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.

Porsi perempuan juga signifikan dalam sektor informal dan pekerja paruh waktu di seluruh dunia, dan mereka ini yang biasanya langsung terkena dampak, diputus hubungan kerja, saat perusahaan melakukan pengurangan aktivitas. Pandemik COVID-19 berpotensi menjadi momen kemunduran bagi perempuan dalam hal kemandirian dan kesempatan mendapatkan penghasilan bagi hidupnya – sebagian di antaranya tidak bakal kembali ke situasi sebelum pandemik COVID-19.

Hal lain yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Secara global, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual dari teman intim atau kekerasan seksual dari bukan pasangan, selama hidup mereka.

Kekerasan seksual dari pasangan intim, perdagangan manusia dan pernikahan anak, adalah hal yang jadi lebih buruk selama krisis. Ini data dari pengalaman pandemik sebelumnya yang dikumpulkan oleh CARE.

Jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat di berbagai negara yang menerapkan karantina rumah atau karantina wilayah termasuk di Indonesia.

Karantina dan pembatasan mobilitas sosial menjadi ancaman bagi keselamatan perempuan yang “terperangkap” di rumah. Masalahnya, layanan konseling maupun pendampingan bagi mereka justru ikut terganggu selama pandemik. Semua sumber daya dialokasikan untuk menangani krisis kesehatan.

Baca Juga: Nasib Perempuan Korban Kekerasan dan Para Pendampingnya saat Pandemik

Media dan Keluarga, Meliput dengan Perspektif GenderIlustrasi kekerasan terhadap perempuan. IDN Times/ Ardiansyah Fajar

Dalam situasi kemanusiaan itu, ketidaksetaraan gender makin lebar. Situasi pandemik membuktikan ancaman mengerikan tidak hanya bagi kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan perempuan, melainkan juga pendidikan, keamanan pangan dan mata pencaharian mereka.

Memotret keluarga, tidak hanya kelompok kelas menengah di kota. Keluarga di desa, tempat terpencil, termasuk masyarakat adat seringkali luput dari pemberitaan.  Pandemik didominasi krisis kesehatan, tantangan pembelajaran jarak jauh, krisis ekonomi termasuk pemulihannya.

Apa yang bisa dilakukan media?

IMS mengingatkan media perlu secara aktif mencari sudut pandang perempuan dalam peliputan, dan secara bersamaan mengangkat perspektif kelompok minoritas dan rentan.
Gender sensitive reporting menjadi kian penting.

Media memiliki kekuasaan untuk amplifikasi suara perempuan, meliput peran aktif perempuan dalam krisis, termasuk pandemik, mendukung partisipasi dalam debat publik, menantang stereotipe gender dan memastikan pengambil keputusan akuntabel untuk hak-hak perempuan. Ini bukan hanya untuk keuntungan perempuan.

Pada dasarnya media harus memberikan forum bagi kebutuhan, perspektif dan suara yang berbeda di masyarakat.

Jika konten media itu beragam dalam merefleksikan masyarakat dan demografi, apapun yang kita publikasikan akan lebih akurat, bernuansa dan menarik khalayak yang lebih besar ketimbang jika kita tidak melakukan itu. Ini berpotensi menciptakan perubahan positif di tingkat  kemenangan bagi semuanya.

Rekomendasi bagi media dan jurnalis:

  • Selalu mengingatkan pentingnya sensitif gender dalam peliputan pandemik
    Jika kalian menemukan bahwa perspektif perempuan tidak terwakili, sampaikan kepedulian ini.
  • Monitor konten by gender. Pastikan bahwa kamu tahu siapa yang diwakili atau diliput dan bagaimana peliputan. Pastikan ada keberimbangan jumlah narasumber dan tentu saja yang dimaksud di sini adalah narasumber yang layak. Buat data base narasumber perempuan di berbagai bidang keahlian.
  • Selaku gunakan kacamata keseimbangan gender, pastikan untuk mencari kisah terkait perempuan sebagaimana kisah terkait laki-laki, hati-hati dengan stereotipe dan gunakan bahasa yang netral secara gender.
  • Perluas perspektif soal peliputan dengan konsultasi ke organisasi atau ahli soal dampak pandemik ini, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, akurat dan adil tentang krisis ini.

Selalu menjalankan protokol kesehatan dalam peliputan COVID-19.

Baca Juga: COVID-19, Lonceng Bahaya bagi Perempuan yang Ingin Aborsi Aman

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya