Marginalisasi pendidikan, Apa Murid Hanya Sebuah Wadah Bagi Guru?

Apakah sistem pendidikan sudah mencapai kebebasan?

Kehadiran setiap manusia ke dunia tak terlepas dari bagaimana suatu pengetahuan di pertanyakan eksistensinya. Pengetahuan hadir membawa ilmu yang di mana setiap isi dari ilmu tersebut di tuangkan dalam sebuah wadah yang dinamakan Pendidikan. Dalam situasi Pendidikan terutama di negara kita ini, yaitu Indonesia tidak jauh dari benda yang dinamakan buku. Selain itu, sistem dalam Pendidikan pun seringkali menjadi topik perbincangan utama dalam berbagai kondisi yang sedang terjadi. Pendidikan ialah salah satu sumber dari proses berlangsungnya suatu interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.

Paulo Freire, seorang pejuang Pendidikan yang dimana kisahnya menjadi sorotan publik sebagai bukti sejarah mengenai kebebasan manusia dalam mengemban ilmu. Freire lahir di negara Brazil, yaitu di kota pelabuhan bagian timur laut, Recife pada 19 Desember tahun 1921. Beliau tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang baik budi, lembut, cakap, adil juga mampu untuk mencintai. Lingkungan itulah yang menjadi bakal dari sifat yang dimiliki Freire dalam menghadapi permasalahan sosial yang ada di sekitarnya.

Tahun 1929 di Amerika Serikat sedang terjadi krisis ekonomi yang membuat Freire dan keluarganya pindah ke luar kota, Jabatao. Hal itu dikarenakan finansial keluarganya mengalami penurunan sangat jauh dari kondisi sebelumnya, yang membuat Freire akhirnya tertuntut untuk belajar apa itu menjadi lapar di usianya yang masih dini dan menerima ketertinggalan masa belajar selama dua tahun dari teman sebayanya. Di usianya yang masih belia, Freire bertekad mengabdikan hidupnya untuk berjuang melawan kelaparan dengan tujuan supaya anak-anak lain tidak mengalami apa yang beliau rasakan.

Setelah lulus dari Pendidikan tinggi, Freire bekerja dalam bidang Kesejahteraan dan menjadi Direktur Bagian Pendidikan dan Kebudayaan SESI. Pengalaman itu mempertemukan Freire dengan kaum miskin di kota. Tahun 1960-an, Freire dihadapkan kembali dengan permasalahan sosial berupa keresahan yang ada di masyarakat akibat adanya gerakan pembaruan. Insiden itu berhubungan antara hak ikut serta masyarakat di Brasil dalam pemilihan umum dengan kemampuan menulis nama pemilih dengan tujuan menumbuhkan kesadaran politik bagi penduduknya.

Brazil pada tahun 1961 mengalami pergantian Presiden lalu Freire mendapat tugas sebagai Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife dan ia memperkenalkan program kenal aksara yang diingat sebagai Metode Paulo Freire. Metode ini mampu membawa kaum tuna aksara dalam waktu tidak lebih dari satu setengah bulan untuk bisa membaca dan menulis. Tidak hanya terbatas pada kemampuan itu tetapi juga mengantar penduduk pada kesadaran politik dengan harapan dapat berpartisipasi aktif untuk bersama-sama menentukan arah kemajuan negara (Denis Collins. 1961. His Life, Works, and Thought).

Terjadi banyak huru-hara di Amerika Serikat menjelang tahun 1970, juga bentrokan hingga keterlibatan dalam perang di Asia oleh partai penentang yang merebak sejak 1965. Kejadian itu memperlihatkan kepada Freire akan banyaknya pengucilan terhadap masyarakat yang tidak memiliki kekuatan pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebelum Freire wafat dalam usia 75 tahun, beliau tetap menuliskan karyanya meskipun hidup dalam pengasingan, kemudian menciptakan karya mengenai ecopedagogy juga beberapa buku lain seperti Politik Pendidikan (1999) dan Pendidikan sebagai Proses (2000) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of the Opressed (1972), teori yang dimiliki Freire menjelaskan tentang suatu hal yang harus diperjuangkan (humanisasi) merupakan masalah sentral yang ada di masyarakat, yakni berupa rasa ketidakadilan, pengeksploitasian, juga kekerasan yang didapatkan kaum tertindas oleh kaum penindas. Selain itu, dehumanisasi disini memaparkan bahwa kaum tertindas memiliki rasa untuk menindas akibat kebutuhan dari kebebasan, sehingga dalam buku ini diterangkan mengenai upaya pembebasan untuk kedua kaum baik tertindas maupun penindas.

Penindasan yang terjadi pada kaum tertindas meninggalkan perasaan sangat mengerikan yang hanya bisa diartikan oleh mereka sendiri karena pengalaman menanggung dan menerima beban penindasan. Kasus ini berkaitan dengan perjalanan hidup yang pernah dilewati penulis semasa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang erat dengan teori Freire yakni mengenai proses akademik yang terjadi antara guru dan murid. Sekolah dari penulis ini terkenal dengan segudang prestasinya bahkan seringkali mendapat kedudukan juara umum di berbagai perlombaan. Namun di balik prestasi yang begitu banyaknya terdapat kisah pilu yang terjadi hampir dialami sebagian besar murid di sekolah ini. Berhubungan dengan proses pembelajaran yang terjadi kerap kali ketika musim olimpiade tiba guru melakukan kewajibannya namun tidak sepenuhnya. Tak hanya guru, pihak sekolah pun lebih mengutamakan mereka yang memiliki kecerdasan lebih di bidang akademik dan memberikan pengajaran ekstra untuk mereka. Sementara di sisi lain murid yang dikatakan biasa saja ditinggalkan dengan tugas dengan sedikit bimbingan di kelas.

Selain itu, murid yang bisa dikatakan cerdas di bidang non-akademik pun juga mengalami hal yang sama. Mereka hanya diambil prestasinya saja dan untuk sebelumnya mereka sulit mendapatkan izin untuk keluar mengikuti olimpiade di bidang mereka masing- masing. Dua keadaan di atas sangat relevan dengan teori yang ada. Baik dari segi kaum tertindas dan kaum penindas maupun sistem yang telah ada di dalam sekolah ini

Kaum tertindas disini dilihat dari bagaimana dan siapa yang mengalami kondisi terpinggirkan. Hal ini menimbulkan amunisi negatif pada mereka yang mengalami kondisi ini dan bahkan bisa saja mereka juga menginginkan kebebasan itu yang juga dapat menghadirkan adanya dehumanisasi di antara mereka. Situasi tersebut disebabkan oleh adanya proses internalisasi kaum tertindas menggambarkan diri sebagai kamu penindas. Manusia tidak lepas dari yang namanya komunikasi karena manusia memiliki kebutuhan akan interaksi dalam menjalani hidupnya. Oleh karena itu, dalam teori Freire ini diharapkan pembebasan yang ada tidak terbatas pada dua peran saja, yaitu kaum tertindas dan kaum penindas tetapi pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan yang tidak menimbulkan pembalikan peran. Sehingga dapat timbul pemahaman baru mengenai relasi akan adanya kesadaran yang terdapat dalam diri yang tertindas dan penindas.

Berbicara mengenai sistem pembelajaran yang tertera di pengalaman penulis, dikatakan bahwa proses pembelajaran tidak menghadirkan adanya kesamaraatan akan pemahaman terhadap pelajaran yang diajarkan. Hal itu sesuai dengan “sistem bank” yakni Pendidikan merupakan alat yang digunakan oleh guru (subjek) yang memiliki suatu isi (pengetahuan) untuk diletakkan pada murid (wadah). Paulo Freire menerapkan sistem baru untuk mendapat konsientisasi. Maka dari itu, kondisi ini diperlukan adanya kerjasama yang kooperatif untuk menciptakan adanya tindakan dialogik seperti yang dipaparkan dalam teori Freire yang bertujuan untuk memacu adanya pembebasan.

Dari keadaan di atas, kaum tertindas juga mendapat rasa takut untuk berani mendapat kebebasan. Kasus tersebut juga disampaikan dalam teori Friere mengenai penyandaran yang membawa manusia menuju hal yang fanatik dan merusak. Sebenarnya penyandaran justru membawa kita sebagai manusia menjadi lebih memahami akan interaksi sosial yang ada di sekitar kita. Selanjutnya dengan teori lain dari Friere seperti sektarianisme dan radikalisasi dari perspektif yang berbeda antara golongan kanan dengan golongan kiri. Dengan demikian dapat dicapai pembebasan yang sebenarnya di dalam penerapan sistem pembelajaran yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

 

Sumber Referensi:

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Pustaka LP3ES, 2008.

Robikhah, A. S. (2018). Paradigma Pendidikan Pembebasan Paulo Freire Dalam Konteks Pendidikan Agama Islam. IQ (Ilmu Al-qur'an): Jurnal Pendidikan Islam, 1(01), 1-16.

Sutri, S. (2014). Paradigma Pendidikan Kaum Marginal Andrea Hirata dalam Karya-Karyanya (Kajian Strukturalisme Genetik). Judika (Jurnal Pendidikan UNSIKA), 2(1).

Baca Juga: [OPINI] Mengapa Seseorang Bisa Membenci Keluarganya?

042_Kurnia Lisnadatul A Photo Writer 042_Kurnia Lisnadatul A

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya