Cerita Ramadan: Ikut Mudik Gratis saat Lebaran Ternyata Bikin Encok

#CeritaRamadan War tiket mudik itu menegangkan!

"Ramadan sama indahnya dengan Natal." Begitu kataku, si anak yang tumbuh dalam keluarga multikultural.

Bapak, ibu, aku, dan saudaraku beragama Kristen Protestan sejak lahir. Namun, kami tinggal serumah dengan mbah dan mas yang beragama Islam. Mbah adalah adik dari uti (nenekku), sementara mas merupakan saudara dekatku.

Bukan hal yang asing lagi untuk berburu takjil, mendengar takbiran, ikut buka puasa, bahkan ikut sahur bersama. Kadang mbah butuh bantuanku untuk menjajal makanan karena beliau sedang berpuasa. Ah, rindu sekali.

Bagiku, Ramadan punya tempat spesial karena mbah selalu membuat takjil yang enak-enak. Kalian perlu tahu alasan kenapa non-islam selalu excited ikut war takjil. Itu semua karena makanan atau minuman yang dijual, kadang berbeda dengan apa yang kita temukan sehari-hari.

Nah, sekitar pukul 16.00 WIB, mbah sering mengajakku untuk pergi ke pasar dan war takjil. Kadang, aku suka terbangun di jam-jam mereka sahur. Ya, cuma ikut makan doang sih, tapi gak ikut puasa hehe.

“Mbah, lagi sahur ya?”

“Aku jadi laper, aku ikut makan juga ya,” kataku lagi.

Berhubung tinggal bersama mas yang sudah bekerja, sewaktu kecil aku senang sekali dapat ‘amplop’ darinya. Isinya memang gak banyak, tetapi aku jadi tahu ‘oh begini toh rasanya dapat amplop Lebaran’.

Namun, aku tidak lagi merasakan momen puasa bersama mbah dan mas di rumah. Hidup merantau ke Jakarta, membuatku sangat-sangat rindu dengan takjil buatan mbah.

Kini yang unik dari momen Ramadanku bukan soal buka bersama atau war takjil, melainkan war tiket mudik! Terpisah sekitar 780 km dari keluarga, membuatku gak bisa seenak jidat pulang kampung.

Bahkan salah satu doa rutinku, “Tuhan semoga aku bisa pulang ke rumah, cuma dua kali kok pas Lebaran sama Natal. Boleh gak, Tuhan?”

Percayalah, war tiket mudik terasa sangat menegangkan. Berhubung Lebaran jadi momen yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar rakyat Indonesia, gak heran kalau harga tiket mudik via transportasi apa pun berkali-kali lipat lebih mahal. Aku cuma bisa menghela napas dan berharap war tiket ini berjalan mulus.

“Ya Tuhan, mahal banget. Padahal ini belum masuk bulan puasa kenapa harganya udah gak masuk akal,” begitu keluhku saat membuka aplikasi untuk memesan tiket kereta api.

Sayangnya, keberuntungan belum berpihak padaku saat itu. Aku kehabisan tiket kereta dari harga normal sampai mahal. Betul-betul habis total, rupanya banyak juga warga perantauan di kota yang tidak pernah tidur ini.

Berkat mencari info sana-sini, aku berhasil mendapatkan kesempatan mudik gratis bersama KAI dengan tiket kereta kelas ekonomi. Pikirku saat itu, wah senangnya bisa mudik tanpa harus mengeluarkan uang.

Namun, kesenanganku hanya sesaat. Opsi mudik dari Jakarta ke Surabaya naik kereta api kelas ekonomi selama 12 jam ternyata bikin encok! Ya, akulah si remaja jompo itu.

Namanya juga kelas ekonomi, kursinya tidak senyaman eksekutif. Apalagi, aku harus duduk selama 12 jam dengan kondisi kursi tegak dan AC yang tak begitu dingin. Aduhai, pinggang dan leherku rasanya sakit sekali.

Aku gak kapok war tiket mudik Lebaran meski harus deg-degan dan begadang tiap hari. Tapi, aku kapok memilih mudik jarak jauh dengan kereta kelas ekonomi.

Ini jadi pelajaran baru untukku di bulan Ramadan. Sepertinya, si anak jompo ini perlu menabung supaya bisa beli tiket eksekutif atau tiket pesawat daripada harus mengorbankan badan sendiri.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Non Muslim Coba Ikut Puasa, Keterusan Sampai 10 Tahun!

Topik:

  • Muhammad Tarmizi Murdianto

Berita Terkini Lainnya