[OPINI] Sulitnya Menagih Janji dan Menjaga Komitmen di Era Smartphone

Ketika semuanya bisa dilakukan hanya dengan satu 'klik'

Penemuan smartphone memang tidak dapat kita mungkiri lagi kebermanfaatannya. Benda kecil ini mampu mendatangkan manfaat yang luar biasa dan membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Dengan smartphone, kita bisa berbelanja, belajar, mendapatkan hiburan, berkomunikasi, bahkan bekerja pun bisa dilakukan hanya dengan menggunakan smartphone.

Namun, satu hal yang perlu kita ketahui, setiap hal yang ada di dunia ini datang dengan tidak hanya membawa dampak positif saja. Bagaikan dua sisi uang koin, dampak negatif juga akan selalu datang menghampiri.

Mungkin banyak dari kita yang sudah tahu dampak negatif apa saja yang dihasilkan dari penggunaan smartphone. Seperti masalah kesehatan (untuk mata dan leher), masalah psikologis (rasa khawatir dan ketergantungan), serta masalah sosial (perubahan perilaku manusia menjadi individualis dan egois). Pembahasan ini akan fokus pada bagaimana smartphone telah mempengaruhi pola perilaku manusia, khususnya dalam hal menjaga komitmen.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu manfaat yang didatangkan oleh smartphone adalah kemudahan dalam berkomunikasi. Hanya dengan bermodalkan pulsa atau akses internet, kita bisa terhubung dengan seseorang kapan pun dan di mana pun.

Hal ini tentu berdampak besar pada pola interaksi manusia di mana kita bisa bertukar pesan secara cepat dan selalu terhubung dengan mereka yang tinggal berjauhan dengan kita.

Sayangnya, kecepatan dan ketepatan ini justru disalahgunakan oleh beberapa orang untuk seenaknya saja membatalkan janji dan mengubah komitmen yang telah dibuatnya. Tak jarang hal ini membuat hubungan pertemanan menjadi renggang atau bahkan terputus.

Dalam banyak cerita seringkali orang membatalkan janji tepat di hari yang dijanjikan. Bahkan tak jarang orang tersebut baru memberi kabar di waktu yang telah dijanjikan, atau malah menghilang tanpa memberi kabar sama sekali. Kejadian seperti ini biasanya kita jumpai dalam acara reuni atau acara kumpul-kumpul sesama teman. Sejak jauh-jauh hari ia sudah berjanji akan datang.

Namun, saat tiba hari yang dijanjikan, ia tiba-tiba saja membatalkan janji dengan berbagai alasan. Itu pun baru ia katakan ketika kita bertanya padanya. Dengan kemudahan yang ia dapat dalam berkomunikasi, ia merasa bisa memberi tahu kondisinya kapan pun dan di mana pun. Termasuk saat waktu yang dijanjikan tiba.

Atau cerita lain ketika hendak merencanakan piknik dengan teman-teman kita melalui grup chat. Kita sudah merencanakannya sejak jauh-jauh hari, dan hal itu sudah disetujui oleh sebagian besar orang.

Sehari menjelang piknik, tiba-tiba saja ada yang memberi kabar kalau ia tidak bisa ikut. Hal itu pun diikuti oleh beberapa orang yang 'baru ingat' bahwa dirinya juga tidak bisa menghadiri acara piknik tersebut. Akhirnya, situasi pun menjadi tidak pasti dan rencana piknik dibatalkan.

Kedua cerita di atas tentu menggambarkan kondisi yang sangat jauh berbeda ketika dulu kita belum mengenal smartphone. Ketika kita memiliki suatu janji dengan seseorang, kita akan cenderung memegang teguh janji itu karena kita tahu kita tidak bisa mengubah janji itu seenaknya. Pun kalau kita mau mengubah atau membatalkannya, kita harus mendatangi rumah rekan kita dan benar-benar menghadap wajahnya.

Selain itu, saat kita berjanji dengan seseorang, kita cenderung takut untuk membatalkannya. Kita takut membuat rekan kita marah, kecewa, dan menjauh sehingga tidak bisa berhubungan dengan kita lagi.

Berbeda ketika kita telah menggunakan smartphone, kita mungkin merasa takut akan mengecewakan rekan kita, tapi kita tidak merasa begitu khawatir karena kita tahu kita bisa meminta maaf kapan saja dan kita akan selalu terhubung dengannya.

Dalam hal yang positif, membatalkan janji dan mengubah komitmen sebetulnya dapat sangat berguna jika kita melakukannya dengan etika. Seperti halnya dalam hal perdagangan, membatalkan pesanan karena barang yang dipesan habis dapat menguntungkan hubungan kita dengan konsumen agar konsumen tidak merasa kecewa.

Atau misalnya dalam hal pekerjaan, mengubah janji yang telah dibuat karena suatu hal yang mendesak dengan klien dapat sangat berguna untuk menjaga relasi kita dengan mereka. Tapi, tentu, hal ini hal ini harus dilakukan dengan etika yang baik dan penuh tanggung jawab.

Ada baiknya jika kita ingin mengubah atau membatalkan janji, kita memberi tahu rekan kita satu minggu sebelum hari yang ditentukan tiba. Atau, jika keadaannya mendesak, dua hari sebelum hari yang dijanjikan adalah batas waktu yang paling maksimal.

Jangan pernah membatalkan janji secara mendadak. Apalagi jika kita membatalkan tepat di hari yang dijanjikan. Kita tidak pernah tahu seperti apa keadaan rekan kita. Siapa tahu ia adalah orang yang cukup sibuk dan berusaha meluangkan waktunya untuk kita.

Atau, siapa tahu ia telah susah payah datang dengan mengorbankan tenaga dan materinya, tapi kita justru tidak datang dan menghilang tanpa kabar.

Selain etika membatalkan janji, kita juga harus, sebisa mungkin, tidak membiarkan hal itu berubah menjadi kebiasaan kita. Jangan sampai kita terlalu seiring membatalkan janji dan membuat orang kehilangan rasa percaya mereka terhadap kita.

Terlebih lagi jika kita sering membatalkan janji secara mendadak. Hal ini akan sangat merugikan diri kita sendiri. Orang akan cenderung menganggap kita sebagai orang yang tidak dapat dipercaya dan enggan berteman dengan kita.

Hal terakhir yang perlu diingat adalah bahwa kita harus senantiasa menerima risiko yang ditimbulkan dari tindakan kita. Jangan sampai kita menghilang begitu saja setelah membatalkan janji dan enggan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh rekan kita.

Sudah menjadi konsekuensi apabila janji itu batal atau diubah, rekan kita akan merasa kesal dan dirugikan. Apalagi jika itu terjadi pada acara kumpul bersama di mana biasanya rekan kita telah memesan lokasi acara dan paket makanan untuk kita.

Ada baiknya jika kita dengan rendah hati bertanggung jawab dan mengganti kerugian yang ditanggung rekan kita akibat tindakan kita yang membatalkan janji secara mendadak.

Kehadiran smartphone memang sangat memudahkan kita dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal berkomunikasi. Tapi, jangan sampai perubahan pola interaksi yang membuat kita tidak perlu bertatap muka ini melunturkan etika dan sopan santun kita.

Membatalkan atau mengubah janji memang boleh dilakukan. Namun, kita harus melakukannya dengan etika yang baik dan senantiasa siap bertanggung jawab dengan konsekuensi yang ditimbulkan.

Jangan sampai benda kecil yang sudah menjadi bagian dari hidup kita ini menjadikan kita lupa bahwa kita adalah manusia yang akan selalu membutuhkan manusia lainnya dalam menjalani hidup.

Baca Juga: [OPINI] Menikmati Hidup Sederhana di Desa

Allisa Waskita Photo Writer Allisa Waskita

Unpredictable writer interested in exploring various topic.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya