[OPINI] Knowledge Economy: Masa Depan Pendidikan Indonesia

Jika tidak ingin tertinggal, maka bersiaplah!

Hari ini kita menyaksikan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan modernisme negara-negara di Asia Timur -- Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Padahal jika mengunjungi Tiongkok di tahun 1990an, kita akan mendapati Shanghai dan Beijing adalah dua kota kumuh yang padat penduduk dengan mata pencaharian utama sebagai petani.
 
Dalam 2 dekade saja sejak Deng Xiao Ping memulai lompatan modernisasi, negara agraris ini bertransformasi menjadi negara industri, bahkan merajai sektor manufaktur dunia. Hari ini di Hongkong, kita bisa menemukan Opod, sebuah micro-apartemen yang dibangun dari pipa buangan pabrik untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk. Properti yang ekonomis, fungsional dan dapat dipindahkan -the future of real estate. Tiongkok berubah menjadi negara mega-ekonomi, Alibaba menyaingi Amazon, Wechat menyaingi Whatsapp, Weibo menyaingi Google. Apa kuncinya? kapitalisasi pengetahuan.
 
Pengetahuan tidak hanya digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala alam maupun sosial, akan tetapi menjadi modal/kapital yang bisa digunakan, diklaim, diperdagangkan untuk memudahkan kehidupan manusia.Peter Drucker (1969) menemukan Istilah Knowledge Economy untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang tidak lagi bergantung pada produksi, distribusi maupun konsumsi. Melainkan pada akses informasi, kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kepakaran (expertise), maupun ketersediaan tenaga kerja yang terampil.
 
Dampak Knowledge Economy di bidang pendidikan adalah menguatnya hubungan antara institusi pendidikan dengan industri. Kurikulum kampus mulai disesuaikan dengan permintaan industri. Dampaknya beberapa program studi seperti filsafat, astronomi fisika atau sastra menunjukkan kelesuan peminat.
 
Orientasi pendidikan tinggi mulai bergeser kepada lulusan. Lembaga Ranking Dunia seperti QS World University Ranking atau Times Higher Education menjadikan studi pelacakan lulusan sebagai salah satu indikator dengan bobot yang cukup tinggi dalam menilai kualitas kampus. Semakin cepat masa waktu tunggu kerja maka semakin baik kualitas pendidikan yang diterimanya.
 
Profil lulusan perguruan tinggi yang diinginkan tidak lagi bergantung pada IPK akademik. Melainkan pada keahlian yang spesifik (expertise), kemampuan bekerja sama dalam tim, kemampuan berbahasa asing hingga mengoperasikan internet. Empat aspek ini dapat meningkatkan daya saing seseorang di hadapan pemberi kerja.
 
Pekerjaan seperti Data Analyst, Game Creator, Programmer, Ux Designer, atau Online Retailer dsb, menjadi pekerjaan dengan fleksibilitas waktu dan insentif yang cepat dan menjanjikan, dibandingkan dosen, akuntan, pengacara maupun dokter. Hadirnya posisi-posisi baru seperti “bidang pemasaran” atau “bidang riset dan pengembangan” menjadi suprastruktur yang wajib baik dalam institusi nirlaba maupun yang berorientasi profit. 
 
Universitas tidak hanya bisa diselenggarakan oleh pemerintah atau yayasan, tetapi juga oleh perusahaan dan Bank. Logika ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan membuat pemerintah Indonesia memberikan otonomi kampus-kampus negeri dengan status PTN BH. Sehingga kampus dapat membuka berbagai program studi vokasi sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, terbentuknya pusat-pusat studi maupun laboratorium baik STEM (Sains, Teknologi, Teknik, Matematika) maupun Non-STEM menjadi motor penggerak riset dan HAKI.
 
Untuk menghasilkan lulusan yang terampil, program studi di masa depan menjadi semakin spesifik, bahkan menggunakan nomenklatur yang sama dengan industri untuk menarik minat mahasiswa. Dalam kurikulum, bobot pembelajaran praktik akan lebih dibutuhkan daripada pembelajaran teori. Penguasaan soft skills seperti kepemimpinan dan resolusi masalah semakin dibutuhkan agar lulus mata kuliah.
 
Aktivitas riset tidak hanya diukur dari publikasi terindeks saja, melainkan pemanfaatan hasil riset berupa prototipe baik dalam ilmu sosial maupun ilmu alam. Munculnya kepakaran mendorong adanya kolaborasi antara peneliti lintas disiplin ilmu. Kemampuan untuk menyelenggarakan progam riset kolaboratif adalah kunci untuk menemukan inovasi.
 
Berkembangnya paradigma knowledge economy di Indonesia dapat memperkuat industri dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, penyelenggaraan pendidikan janganlah sampai tidak mengindahkan nilai-nilai moralitas (sikap jujur dan adil) serta manfaat pengetahuan terhadap masyarakat (khususnya kelompok-kelompok marginal).
 
Bersiaplah!

Baca Juga: [OPINI] Kampus, Perempuan dan Ruang Kesetaraan Gender

Ayu Anastasya Rachman Photo Writer Ayu Anastasya Rachman

Peneliti Pendidikan dan Pembangunan Internasional

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya