Perang Lawan COVID-19: Tinjau Peran Ilmuwan Sosial di Garda Depan

Di situasi pelik ini, bangsa butuh kolaborasi!

Sejak awal tahun 2020 orang-orang di seluruh dunia mengalami efek semburan dari wabah pandemi baru bernama SARS-Cov-2 (COVID-19). Korban tewas terus melonjak melibatkan negara-negara besar. Sementara itu Indonesia yang tergolong negara Middle-Income Countries (MICs) nampak terengah-engahmenjalankan manajemen bencana nasional non-alam pertamanya sepanjang sejarah.
 
Presiden Indonesia Joko Widodo telah lama menghimbau “Social Distancing” hingga yang terbaru yaitu PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk membantu melandaikan kurva penularan, sementara pemerintah berusaha mengejar ketertinggalan dengan menunjuk Institut Biologi Molekuler Eijkman untuk memimpin penciptaan vaksin COVID-19 di Indonesia.

Namun, tampaknya, peran ahli - selain bidang kesehatan, hampir tidak terlihat. Sementara itu, peneliti lintas disiplin dari banyak negara saling bahu membahu untuk menyelesaikan wabah trans-nasional ini. Sangat disayangkan mengingat negara kita tampaknya giat dalam memproduksi penelitianter-indeks.
 
Pada bulan September 2019, Mantan Menteri RISTEK DIKTI mengumumkan “Tahun ini kuantitas publikasi Indonesia akhirnya menjadi nomor satu di antara negara-negara Asia Tenggara dengan 33.177 diindeks oleh SCOPUS pada tahun 2018”, kata Mohammad Nasir pada pembukaan Penghargaan Sains and Teknologi Index (SINTA). Jumlah yang tampak menjanjikan; menggambarkan kekuatan peneliti di negara ini. Namun, ketika krisis menghantam, kita kesulitan memanfaatkannya dengan baik.
 
Menurut laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018, setiap tahun mayoritas penelitian nasional adalah bisnis dan ekonomi. Ini menggambarkan tradisi penelitian negara lebih pada pertumbuhan ekonomi daripada sektor lainnya. Selain itu, lebih banyak makalah penelitian dan hak paten, daripada mengembangkan prototipe dan inovasi massa.
 
Kurangnya insentif terhadap peneliti adalah masalah, tidak hanya dana tetapi juga pengakuan untuk berkolaborasi. Peneliti tampaknya memiliki peran yang terbatas, dimana hasil penelitiannya cukup menjadi rekomendasi kebijakan yang bersifat alternatif. Adanya jarak yang menganga antara pengambil kebijakan dan peneliti membuat dampak kebermanfaatan dari penelitian tersebut terhadap penyelesaian persoalan bangsa menjadi sangat minim.
 
Belajar dari wabah penyakit masa lalu seperti SARS, MERS-CoV dan Ebola yang menyerang dunia. Penggunaan ilmu sosial menjadi sangat penting untuk memahami lapisan konteks budaya dan sosial masyarakat yang terkena dampak darurat kesehatan.Pendekatan seperti antropologi medis, administrasi publik, perubahan sosial dan perilaku (SBC), ilmu politik diperlukan untuk merancang Intervensi berbasis Ilmu Sosial (SSI) untuk respon yang lebih sensitif dan efektif, mengurangi gangguan sosial ekonomi dan melindungi kelompok-kelompok rentan dan marginal
 
SSI pada dasarnya merupakan praktik berbasis bukti (evidence) dalam penanggulangan bencana. Penerapan SSI yang inklusif dapat menghilangkan cost yang tidak perlu dalam kebijakan pemerintah -misalnya saat sebelumnya Pemerintah memutuskan untuk merangsang mobilitas pariwisata ditengah-tengah ancaman pandemi. Hal ini tentu bisa dianalisis sebagai ancaman terhadap sistem kesehatan dan masyarakat jika intervensi berbasis SSI digunakan dalam pembuatan kebijakan. Serta, menciptakan sistem yang tangguh di masa depan
 
Di Indonesia, kekuasaan dan kepemimpinan didistribusikan sampai batas tertentu. Melalui otonomi daerah, pemerintah lokal dapat merancang pendekatan sebagai respons terhadap pandemi, yang sejauh ini cukup variatif dari social distancing hingga PSBB, beberapa daerah lebih lambat daripada yang lain. Kita dapat melihat pergulatan dalam merancang rencana strategis yang dapat bersinergi dengan berbagai sektor.
 
Tidak hanya terbatas pada domain kebijakan atau operasional yang sempit seperti komunikasi risiko atau pembuatan kebijakan kesehatan. Beragam cakupan ilmu sosial dan humaniora juga dapat membantu pemerintah untuk mencapai kontribusi yang lebih luas seperti membantu menjelaskan kompleksitas masalah wabah ke publik yang lebih besar dan memahami learning outcomes dari berbagai kebijakan yang sudah ada, serta memerangi Hoax yang menyebar melalui media sosial.
 
COVID-19 adalah masalah sosial. Ini saatnya memanggil peneliti sosial untuk mengambil bagian dalam perang melawan virus corona, daripada ingin mereka hanya mengajar kelas online dari rumah. Pemerintah tidak hanya membutuhkan ahli medis tetapi juga ilmuwan sosial di garda depan untuk merancang kebijakan perubahan perilaku (Social Behavioural Change)dan evaluasi tindak lanjut. Terutama karena negara ini sedang mengantisipasi pembuatan vaksin, tanpa mengintegrasikan pendekatan SSI, proses distribusi akan problematik!

Baca Juga: [OPINI] Mengukur Bahayanya Gerakan Anarko Sindikalis

Ayu Anastasya Rachman Photo Writer Ayu Anastasya Rachman

Peneliti Pendidikan dan Pembangunan Internasional

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya