Hilirisasi Itu Cemerlang, tapi 4 Hal Ini Jangan Diabaikan

Sudah kuatkah industri dalam negeri?

Beberapa tahun terakhir, istilah hilirisasi riuh digaungkan oleh Pemerintah. Bukan tanpa alasan, negeri ini sedang bersemangat untuk naik kelas menjadi negeri yang lebih berdigdaya dan berdaulat di atas kekayaannya sendiri, alias menjadi negara maju. Sebuah langkah yang cemerlang. Namun, juga sangat berani.

Pasalnya, sejak awal deklarasinya, upaya hilirisasi ini telah banyak menuai kontra dari berbagai pihak, termasuk negara-negara maju dan organisasi-organisasi internasional. Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah gugatan Uni Eropa di organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) pada awal 2021.

Sejak 2020 lalu, Indonesia memang sudah memulai langkah #HilirisasiUntukNegeri ini. Langkah awal yang diambilnya dengan membuat kebijakan larangan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa. Bagi Indonesia, ini adalah langkah yang sangat strategis, mengingat dunia sedang berbondong-bondong melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau (green economy) yang berkelanjutan. Di mana salah satu yang sedang diupayakan adalah mentransformasi kendaraan berbasis listrik atau baterai.

Kita ambil contoh mobil listrik. Bahlil Lahadalia dari #KementerianInvestasi/BKPM menyebutkan, bahwa komponen untuk membuat mobil listrik terdiri dari 40 persen baterai dan 60 persen kerangka. Nah, bahan baku pembuatan baterainya itu sendiri ada 4, yaitu nikel, kobalt, mangan, dan lithium. Indonesia memiliki semua sumber daya tersebut, kecuali lithium.

Pada intinya, kalau kita sudah memiliki semua atau sebagian besarnya, mengapa tidak membuat atau mengembangkannya  sendiri di dalam negeri? Ini akan menghasilkan prospek dan nilai tambah tersendiri bagi Indonesia. Inilah yang sedang giat dikejar Indonesia, menggali nilai tambah dari hilirisasi!

Sementara itu, pihak Uni Eropa yang suplai bahan mentahnya diperoleh dari Indonesia, harus rela gigit jari sebab pasokan bahan baku mereka menjadi "tidak aman". Inilah mengapa Indonesia kemudian mendapat gugatan di WTO.

Tak bisa disangkal, kekayaaan alam Indonesia memang seksi, baik yang berasal dari perut bumi hingga yang tersedia di atas permukaannya. Bayangkan saja, Indonesia menempati urutan pertama terbesar dunia dalam jumlah cadangan nikelnya, yaitu sekitar 1,6 juta metrik ton atau menyumbang sekitar 48,48 persen produksi nikel global pada 2022. Di tahun yang sama, Indonesia juga menduduki posisi ke-enam untuk sumber daya bauksit (mencapai 1 miliar metrik ton kering) dan emas (2.600 ton). Cadangan timah Indonesia juga berada di posisi kedua terbesar dunia, loh, dengan jumlah mencapai sekitar 800 ribu ton atau 17 persen dari cadangan timah global.

Di sektor kehutanan, Indonesia juga memiliki kelapa, sebagai komoditas unggulan kedua setelah sawit. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Indonesia merupakan penghasil kelapa terbesar dunia, dengan rata-rata produksi 18.04 juta ton. Adapun komoditas karet alam, yang hampir setiap tahunnya membawa Indonesia menempati posisi 5 besar dalam produksi karet terbesar dunia.

Di sektor kelautan, Indonesia juga memiliki sumber daya rumput laut yang begitu berlimpah. Menurut data FAO 2022, Indonesia merupakan produsen rumput laut terbesar kedua setelah Cina pada tahun 2022. Sementara pada 2021, rumput laut Indonesia sempat merajai produksi global dengan total 12,3 persen. Tak berhenti di situ, Indonesia juga masih memiliki daftar panjang sumber daya potensial. Di antaranya, garam, kayu log, getah pinus, biofuel, udang, rajungan, minyak bumi, besi baja, batu bara, aspal buton, hingga gas bumi, yang kemudian dimasukkan dalam peta jalan #HilirisasiUntukNegeri.

Sayangnya, selama ini, semua sumber daya alam yang nilai dan potensinya fantastis tersebut tak pernah "dimiliki" Indonesia sepenuhnya. Mereka diekspor dalam bentuk bahan mentah ke berbagai belahan dunia dengan nilai yang "tak seberapa". Jika dilihat ke belakang, sudah berapa lama kita mengekspor bahan-bahan mentah tersebut dan apa yang kita miliki sekarang? Rasanya, masih belum sebanding dengan yang dihasilkan, bukan?.

Hilirisasi, yang merupakan sebuah konsep pengolahan sumber daya dari bahan baku mentah hingga menghasilkan produk turunannya, adalah langkah cerdik bagi masa depan Indonesia. Beberapa alasannya adalah menentukan kedaulatan Indonesia. Adanya hilirisasi ini diharapkan tidak membuat negeri ini terus 'didikte' oleh negara lain terkait sumber daya kita sendiri.

Terlihat menjanjikan, namun upaya hilirisasi juga seyogyanya tak dilakukan dengan gegabah dan tanpa perhitungan. Beberapa hal yang mungkin perlu menjadi perhatian, termasuk:

Pembatasan pembangunan smelter

Hilirisasi di bidang minerba (mineral dan batu bara) kini memang menjadi fokus utama. Di mana langkah ini, harus dijawab dengan pembangunan smelter atau pabrik pemurnian dan pengolahan mineral mentah. 

Pada hilirisasi nikel yang dimulai sejak 2020 silam, telah tercatat sekitar 34 smelter nikel yang sudah beroperasi di Indonesia, dan kabarnya akan terus bertambah hingga tahun 2025. Sayangnya, rata-rata smelter ini masih menghasilkan produk berupa fero nikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI), yang masih belum memenuhi standar hilirisasi yang diinginkan Indonesia. Di antara jumlah tersebut, hanya 4 smelter yang sudah mampu menghasilkan produk yang layak menjadi bahan baku industri, seperti nikel hidrometalurgi yang merupakan bahan baku utama pembuatan baterai.

Sementara itu, saat ini saja, semua smelter tersebut telah mengonsumsi nikel sebanyak 150—160 juta ton per tahun. Bahkan, jumlah ini juga ditaksir akan meningkat tiga kali lipat menjadi 360—390 juta ton seiring rencana penambahan smelter pada 2025.

Jika jumlah cadangan nikel yang dimiliki Indonesia pada 2022 saja dilaporkan sekitar 1,6 juta metrik ton, akan berapa lama cadangan itu bertahan? Tentunya, jika jumlah konsumsi tak diimbangi dengan jumlah cadangan, ini akan mengancam keberlanjutan hilirisasi itu sendiri. Sementara jika jalan akhirnya harus mengeksplorasi sumber nikel lagi tanpa "penghematan", ini juga akan berdampak pada keberlanjutan lingkungan secara lebih luas.

Redesign hulu hingga hilir secara matang

Belajar dari hilirisasi kakao, sejak 2010, Kementerian Perindustrian telah menginisiasi program hilirisasi kakao karena potensinya yang sangat besar. Berdasarkan laporan Kementerian perdagangan, hilirisasi kakao ini telah memberi dampak positif terhadap nilai investasi yang masuk serta dalam segi utilitas, produksi, dan penyerapan jumlah tenaga kerja.  Hilirisasi kakao juga telah mentransformasi Indonesia dari negara produsen kakao menjadi negara industri pengolah kakao. Keren sekali, bukan?

Sayangnya, setelah beberapa tahun berjalan, hilirisasi tak berjalan optimal karena ternyata produksi dalam negeri tak mampu menyuplai semua kebutuhan industri. Dr. Alvian Helmi, S.KPm., M.Sc, Asisten direktur kajian strategis Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam diskusi edukasi yang diselenggarakan oleh #KementerianInvestasi/BKPM bersama IDNTimes bertajuk Transformasi Ekonomi: Menjelajahi Model Hilirisasi Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan, menjelaskan:

"(Pada hilirisasi kakao) hilirisasi sudah berjalan. Sudah ada pelarangan bea keluar. Tapi kemudian kekurangan bahan baku. Hulunya gak diperhatiin lagi. Hilirnya oke, hulunya kedodoran. Dampaknya, pada tahun 2020-an, sekitar 6 perusahaan cokelat tutup pengolahannya. Nah, sekarang kalau kita perlu optimalisasi, artinya perlu redesign hulu-hilir, rantai pasoknya harus betul-betul clear".

Oleh karena itu, untuk mewujudkan upaya hilirisasi yang optimal, diperlukan penyusunan rantai nilai dan rantai pasok seefisien dan sedetail mungkin. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk mendukung "komunikasi" industri yang lebih sinergi. 

Orientasi hilirisasi untuk Indonesia, bukan hanya di Indonesia

Secara ekonomi, hilirisasi memang sangat potensial membawa dampak yang menjanjikan. Pertama, hilirisasi dapat menjadi jalan masuknya investasi dalam negeri. Kedua, hilirisasi dapat meningkatkan peluang terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih masif. Ketiga, hilirisasi juga bisa memberi kesempatan untuk pengembangan bisnis kecil atau UMKM.

Oleh karena itu, dalam penyusunan konsep hilirisasi, juga perlu adanya penyusunan orientasi kemana tujuan hilirisasi. Apakah hilirisasi akan berorientasi sepenuhnya untuk masyarakat Indonesia atau hanya terjadi di Indonesia?

Dalam kesempatan yang sama,  Alvian Helmi juga menambahkan, hilirisasi bisa digalurkan menjadi dua bagian, yaitu hilirisasi di Indonesia atau hilirisasi Indonesia. Hilirisasi di Indonesia artinya, sumber daya alam berasal dari Indonesia, yang melakukan tenaga kerja asing, dan produk hasil hilirisasi akan dikirim ke luar. Jadi, hanya melakukan proses di Indonesia. Dalam hal ini, hilirisasi tidak akan membawa dampak terhadap transformasi sosial dan tranformasi ekonomi pada masyarakat Indonesia.

Sementara hilirisasi Indonesia, sebaliknya. Hilirisasi Indonesia berarti memberdayakan sumber daya dan tenaga kerja dari dalam negeri. Dalam hal ini, hilirisasi akan membawa dampak terhadap tranformasi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini juga dapat memicu terwujudkan pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals), inklusivitas, dan design work.

Selain itu, hilirisasi Indonesia juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan masyarakat yang industrialis, artinya masyarakat yang mampu berpikir industri. Misalnya, ada potensi sumber daya, mereka akan berpikir untuk menghilirkan sumber daya tersebut tanpa menunggu aba-aba, sehingga masyarakat juga bisa berkembang dengan sendirinya.

Harapannya, hilirisasi yang sedang dikembangkan saat ini merupakan hilirisasi Indonesia yang mendorong kemajuan dan perkembangan masyarakat Indonesia, baik dari segi sosial maupun ekonominya.

Penguatan industri dalam negeri

Kita tahu, negara ini memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Namun, pengembangan potensi tersebut belum sepenuhnya optimal. Kita ambil contoh potensi kakao di Indonesia. 

Indonesia adalah salah satu negara produsen dan eksportir kakao terbesar di dunia. Meski demikian, ketika konsep hilirisasi kakao diterapkan, Indonesia masih mengimpor biji kakao dalam jumlah yang besar untuk mendapatkan cita rasa premium. Hal ini karena kualitas kakao yang kita miliki masih rendah dan belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan industri, seperti dilaporkan dalam jurnal yang berjudul Analisis Dampak Hilirisasi Industri Kakao di Indonesia tahun 2020.

Jika menilik potensi sumber daya lain, seperti garam. Bukan rahasia lagi, negara kita adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang sangat panjang. Terlebih, negara kita juga dilalui garis katulistiwa yang menguntungkan untuk produksi garam. Sayangnya, setiap tahunnya kita masih mengandalkan impor garam dalam jumlah yang tidak sedikit.

Mengutip laman Universitas Gadjah Mada, setiap tahunnya, kebutuhan garam nasional bisa mencapai 4,3 juta ton, termasuk garam konsumsi dan garam industri. Sementara dalam negeri sendiri hanya mampu memasok sekitar 1,8 juta ton per tahun.

Jika pemanfaatan sumber daya nasional saja belum optimal, bagaimana kita bisa mengolah persaingan dalam industri hilirisasi? Bagaimana jika hilirisasi itu justru mematikan industri dalam negeri itu sendiri?

#HilirisasiUntukNegeri adalah konsep transformasi ekonomi yang menjanjikan untuk masa depan Indonesia. Namun, penerapannya juga harus dikaji dengan sangat mendalam, rinci, dan tidak setengah-setengah untuk menuai manfaatnya itu sendiri.

Dwi wahyu intani Photo Verified Writer Dwi wahyu intani

@intanio99

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya