Setahun Pandemik: Belajar Multitasking hingga Afirmasi Diri

#SatuTahunPandemik COVID-19

Mungkin ada banyak orang yang merasa gagap dan kaget menghadapi awal pandemik. Kehidupan seakan jungkir balik. Apalagi setelah pemerintah mengumumkan PSBB dan sejumlah kantor menerapkan work from home (WFH) bagi karyawannya. Namun, berbeda dengan saya yang justru menyambutnya dengan tersenyum lebar. Paling tidak di triwulan pertama.

Awal WFH, saya merasa produktivitas kerja justru melonjak, saya bisa lebih fokus bekerja dan banyak istirahat. Dan yang paling menyenangkan, saya bisa bergadang sampai pagi tanpa harus ketakutan bangun kesiangan karena harus siap-siap menuju kantor. Maklum, saya harus menempuh 1,5 jam lebih perjalanan dari rumah saya di Kabupaten Bogor menuju kantor di kawasan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan. Itu jika saya menggunakan transportasi massal KRL dilanjutkan dengan ojek online. Jika saya menggunakan sepeda motor, bisa lebih mempersingkat waktu sekitar 15 menit.

Tiga bulan pertama di awal pandemik saya begitu semangat beradaptasi, mulai dari melakukan koordinasi jarak jauh dengan tim reporter dan editor, hingga paruh waktu sebagai ibu rumah tangga. Peran yang kedua ini sejujurnya tak semudah yang dibayangkan. Saya harus menggunakan banyak jurus multitasking ala wonder woman, mengedit artikel sambil mengupas bawang, koordinasi liputan dengan reporter via Hangout sambil menyiapkan makan malam, hingga menjawab pertanyaan terkait pekerjaan sambil menjemur pakaian.

Lumayan struggle, tapi lama-lama terbiasa dan masih tetap bisa fokus. Selama di rumah saya juga banyak bereksplorasi dengan berbagai resep masakan, mungkin karena lebih punya banyak waktu jadi saya 'tiba-tiba' rajin bikin makanan varian baru. Karena gak bisa makan di restoran, saya bikin steak sendiri di rumah, saya belajar baking dari video-video di YouTube, segala hal baru saya coba.

Tiga bulan pertama yang cukup menyenangkan sekaligus menantang, sampai tiba saatnya saya mengalami kesulitan tidur. Jam 4 pagi masih belum bisa memejamkan mata, kadang tidur hanya 3 jam, karena tubuh yang biasa lelah sekarang hanya beraktivitas di rumah saja.

Saya cukup menjaga aktivitas ke luar rumah, karena dua pekan sekali ibu saya yang sudah lanjut usia dan memiliki komorbid selalu berkunjung ke rumah. Saya tentu tak ingin kondisi buruk menimpa orang tua yang tinggal satu-satunya ini. Pada bulan keenam pandemik, saya mulai stres lihat rumah berantakan, cucian piring menumpuk, skala emosi mulai meningkat. Pekerjaan yang semakin menuntut kecepatan dan kreativitas kadang turut memicu dalam kondisi tertentu.

Di satu sisi saya membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, di sisi lain saya kelimpungan mengurus tugas-tugas di rumah. Oke, saya akui sempat pongah mampu bertahan di tengah tekanan. Tapi mungkin juga karena sudah mulai bosan, saat itu saya ingin sekali melepas penat, sekali saja.

Pandemik juga melunturkan rencana banyak orang, termasuk saya. Saya dan pasangan selalu merencanakan liburan setiap tahun. Bagi kami, itu hadiah untuk diri sendiri setelah mengabdikan diri dengan pekerjaan. Setelah menahan sekuat tenaga untuk tidak keluar rumah, akhirnya saya memutuskan ke luar kota di bulan kesembilan pandemik. Dengan protokol ketat, berangkatlah kami liburan.

Sialnya, kurang dari 24 jam saya jatuh dari motor dan kaki saya keseleo. Tapi karena 'keras kepala' ingin liburan, saya tetap berangkat. Menggeret kaki kiri yang bengkak dengan susah payah di bandara, tentu bukan pengalaman yang saya inginkan di liburan kali ini. Tapi saya menikmati sepekan staycation di Yogyakarta kala itu. Yah, daripada gak ke mana-mana, pikir saya.

Pulang liburan, saya pikir dapat mengembalikan mood WFH saya. Sayangnya, tidak. Justru di akhir tahun saya sempat mengalami kondisi mood yang labil. Saya cukup lama menyimpannya sendiri, karena saya gak mau menunjukkan kepada orang lain--kecuali beberapa orang terdekat saya--yang mereka perlu tahu adalah all is well. Ada momen-momen saya sangat ingin menghindari berkomunikasi dengan beberapa orang, untuk menjaga kewarasan dan fokus saya bekerja.

Yang konyol, saya bahkan sempat beberapa kali bermimpi sedang mengedit berita breaking news, hahaha. Dalam tidur pun otak saya masih berpikir saya lagi bekerja. Saat saya utarakan mimpi konyol ini ke beberapa teman, ternyata ada juga yang punya pengalaman sama dengan saya. Ternyata, saya gak sendirian, syukurlah. Kita bisa mengakhirnya dengan ketawa bareng.

Dari situ saya banyak share keluh kesah dengan teman-teman terdekat, saling menyemangati, saling healing, saling merangkul dan menertawakan kelemahan diri masing-masing. Yah, terkadang kita hanya perlu meluapkan agar tidak merasa sendirian menghadapi ruwetnya kehidupan di era pandemik ini.

Banyak pelajaran yang bisa dimaknai dari pengalaman setahun pandemik. Mulai dari multitasking--sebagai perempuan bekerja dan mengurus rumah tangga, leadership--menjaga kewarasan tim dengan tetap menjaga mood bekerja mereka, dan terakhir healing--afirmasi diri. Apapun tantangannya di tengah pandemik ini, bisa dilalui jika kita bersama orang-orang yang peduli.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: 1 Tahun Pandemik: Benarkah Tak Seburuk Itu?

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya