[OPINI] Quantum Leap Film 'Balada Si Roy'

Di Balik Layar Film Balada Si Roy

Quantum Leap adalah film serial yang dibintangi oleh Scott Bakula dan Dean Stockwell. Film ini diputar di NBC pada 1989-1993. Di Indonesia, ditayangkan di RCTI sekitar 1992-1993. Film ini menceritakan tentang tokoh ilmuwan bernama Samuel Backet yang meloncat dari satu tubuh ke tubuh orang lain, dengan waktu dan kondisi yang berbeda. Penonton selalu disuguhi hal-hal baru dan takterduga. Hal lucu biasanya muncul ketika Sam masuk ke tubuh perempuan.

Jauh sebelumnya, time travel semacam ini terjadi juga pada film seri Voyagers  yang ditayangkan pada tahun 1982-1983 di NBC yang dibintangi Jon Erik Hexum dan Meeno Peluce. Untuk film layar lebar, ingatan kita sangat lekat dengan Back to The Future yang rilis pada 1985 dan melambungkan nama Michael J. Fox. Ketiga film itu hanya contoh betapa rumitnya meyakinkan penonton ketika mereka harus menjelajah dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dengan segala perubahan yang sangat cepat, sehingga tokoh, kostum, dan desain zaman harus mengikuti perubahan itu. Kekuatan dari film di atas adalah berusaha memperihatkan dan meyakinkan kepada penonton bahwa mereka sedang diajak pada sebuah situasi yang baru.

Intinya film semacam ini harus konsisten dengan ketidakkonsistenannya. Film memang produk imajinasi namun bukan berarti boleh asal-asalan. Logika, alur cerita, penguasaan historis harus benar-benar diperhatikan untuk mendekatkan diri pada logika penonton.  Penonton tidak mau tahu tentang proses di balik layar yang harus dihadapi para sineas. Ketika penonton menemukan hal yang tidak logis dan janggal, celah itu akan digunjingkan selamanya. Bagaimana dengan film Balada Si Roy?

Kembali Ke Zaman Orde Baru 

[OPINI] Quantum Leap Film 'Balada Si Roy'instagram.com/angelanggiee

Tantangan yang dihadapi oleh sineas ketika memindahkan dari tahun di mana film itu sedang dikonstruk ke tahun lampu cukup rumit. Seperti yang terjadi pada film Balada Si Roy yang berlatar akhir 80-an atau awal 90-an, mereka harus melakukan riset-riset akademik dan membaca berbagai referensi. Bertanya kepada pelaku atau orang-orang yang memahami kondisi dan situasi tersebut adalah konsekuensi untuk menemukan napas zamannya. Maka, jika Fajar Nugros selaku sutradara dan Susanti Dewi selaku produser harus menunggu dua tahun agar film ini terrealisasi, maka kebutuhan pra-produksi menjadi salah satu alasannya.

Mewujudkan film yang berlatar belakang masa lampu, harus memahami juga isu sosial, politik dan kebudayaannya. Sebagai contoh, di Zaman Orde Baru, sangat sulit menemukan perempuan yang berjlbab di kelas. Mau tidak mau, mindset tersebut harus tergambar di dalam film ini. Begitupun dengan problematika kelas. Militer pada waktu itu sangat menguasai ruang-ruang publik, termasuk dengan istilah dwifungsi ABRI, simbol-simbol dan tatanan sosial lainnya.

Sisi lain yang juga patut diperhitungkan ketika mengeksekusi sebuah latar tempat adalah menyesuaikan sedekat mungkin dengan realitas pada zaman tersebut. Film ini berjarak sekitar tiga puluh tahun dengan realitas hari ini sehingga untuk menjangkau logika publik, maka film ini harus mencari lokasi yang mirip dengan masa lampau sehingga jalan beton, sekolah bertingkat, kendaraan zaman sekarang, tentu harus dihindari.

Hal itu diakui Angela (Anggi) yang diberi kepercayaan menjadi costume supervisor. Ia menjelaskan bahwa ketika mengetahui film ini berlatar di tahun 80-90-an, ia merasa tertantang untuk ikut merealisasikannya. Selain menonton beberapa film di era itu, ia juga hunting ke tempat-tempat di mana masih menjual pakaian retro. Ia juga berkonsultasi dengan penulis novel, Gol A Gong, yang memang memahami karakteristik kebudayaan popular di zaman tersebut.

“Saya diminta Mas Gong untuk menonton film Outsiders sebagai referensi,” ungkap Anggi yang  juga sering dipakai menjadi costume supervisor untuk Bunga Citra Lestari dan beberapa artis lainnya. Anggi mengaku bahwa film yang digarap sekarang ini cukup menantang dan memiliki kekhasan tersendiri. Dengan jumlah ratusan pemain yang terlibat, ia harus berpikir keras untuk melihat detail-detail pada setiap pemain mulai dari urusan baju, sepatu hingga pernak-pernik yang dipakai pemain.

“Kalung, gelang bahkan simbol-simbol yang dipakai harus menyesuaikan dengan era tersebut,” Anggi menambahkan. “Bahkan seragam sekolah yang dipakai oleh talent dan figuran di dalam film ini, walaupun sama-sama berwarna putih abu-abu, tapi karakteristik pemakaiannya berbeda. Dulu, siswa sekolah ternyata cara berpakaiannya agak unik. Dua kancing paling atas dibuka. Bajunya jarang yang mau dimasukan dan rambutnya mirip John Taylor.” Untuk urusan sepatu, Anggi menyiapkan puluhan pasang merk Dragon Fly dan Warrior yang waktu itu memang digandrungi. Sementara untuk pilihan alternatif, ada juga sepatu Nike Cortez dan  Converse yang disiapkan.

Ketika syuting pada scene tertentu belum selesai, Anggi sudah harus menyiapkan kostum yang akan dipakai pemain di scene berikutnya. Kadang pikirannya sedikit terbelah. Ia harus benar-benar berkonsentrasi untuk memastikan semua hal berjalan aman. Kesalahan sedikit saja akan berakibat fatal.

Bahkan Anggi harus menempelkan atribut logo beberapa menit sebelum syuting dimulai. Waktu itu, ia hanya mengingat bahwa film ini dibuat di Banten, maka logo yang terbayang dalam pikirannya ketika menyiapkan baju Satpam adalah ada logo Pemerintah Provinsi Banten. Ia lupa bahwa di tahun 80-an, Banten masih menyatu dengan provinsi Jawa Barat. Untunglah Anggi berkonsultasi terlebih dahulu sehingga ia masih bisa menempelkan logo gemah ripah repeh rapih yang menjadi logo Jawa Barat.

Memahami Semiotika 

[OPINI] Quantum Leap Film 'Balada Si Roy'instagram.com/susantidewi

Proses adaptasi novel ke dalam film, memang unik walaupun  tidak selalu harus setia. Sebetulnya untuk memudahkan proses pengambilan gambar, sutradara memiliki pilihan untuk menarik latar masa lampau ke masa kini. Hal itu pernah terjadi dalam film-film yang diadaptasi. Namun otentifikasi akan lenyap dan dengan begitu akan muncul konekuensi lain yang tumbuh seiring lenyapnya otentifikasi itu. Hal yang menjadi penjembatan agar ruh dari teks pertama (novel) tidak lenyap ketika diadaptasi ke dalam teks kedua (film) adalah membedah dan memahami tanda-tanda.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda. Roland Barthes menjelaskan bahwa pada tataran tanda, selalu ada lapis makna yang bisa dibedah. Urusan jeans belel, kalung dogtag atau buku-buku yang dibaca, tidak bisa hanya dilihat dari gaya atau produk pop culture. Ia bisa juga dimaknai sebagai bentuk perlawanan hegemoni dominan yang melawan kemapanan. Di dalam film ini, begitu kaya dengan lapis makna yang harus dikuasai oleh kru film sehingga setiap tanda yang dimunculkan bisa dipahami dan dimaknai lebih dalam.

Untuk urusan ini, Fajar Nugros sangat hati-hati dalam memunculkan tanda. Perfeksionis. Ia tidak mau hanya menjebakkan diri pada tanda di permukaan. Mengapa Ani dilabeli Dewi Venus? Mengapa harus ada tokoh Joe? Kenapa harus Abidzar yang menjadi Si Roy adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk dan ia berusaha membongkar setiap makna untuk mengurai jawabannya. Seperti Quantum Leap, kita sedang diajak bertemu kembali dengan masa lampau.

Baca Juga: [OPINI] Citraan Maskulinitas 'Balada Si Roy'

Firman Venayaksa Photo Writer Firman Venayaksa

Pengamat Youth Culture, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya