Saat Student-Athlete Meneladani Idola Mereka yang Berpuasa

Motivasi dari kisah atlet basket NBA

"Untuk bisa bermain selama 48 menit dan melakukannya tanpa minum atau makan adalah sebuah keajaiban," kata Kyrie Irving, point guard Dallas Mavericks.

Usai menundukkan Denver Nuggets dengan tembakan krusialnya pada detik-detik akhir di American Airlines Center, Dallas, Texas, Amerika Serikat, Selasa (18/3/2024), Kyrie Irving menemui awak media di ruang konferensi pers. Dia diminta mengulas pertandingan yang baru saja dilaluinya dengan gemilang. Pada pertandingan itu, Irving bermain selama 40 menit dengan mengoleksi 24 poin, 9 assist, dan 7 rebound—plus tembakan kemenangan yang menjadi sorotan dalam semalam.

Penampilan Irving yang gemilang itu makin memukau saat mengetahui dirinya berpuasa pada Ramadan 2024 ini. Kyrie Irving kebetulan salah satu atlet muslim di NBA yang terus berpuasa di tengah jadwal padat liga basket tersohor sedunia. Sebagai gambaran, sebuah tim NBA bisa bermain 2—3 kali dalam seminggu. Itu belum dihitung dengan sesi latihan tim dan individu pada waktu-waktu tertentu.

Sosok Kyrie Irving sendiri mengingat saya akan Hakeem Olajuwon, atlet muslim lainnya yang terkenal pada era 1990-an. Layaknya Irving, Olajuwon menjalani puasa meski liga basket terus bergulir seperti biasa. Bahkan, pada Februari 1995, Olajuwon terpilih sebagai NBA Player of the Month. Untuk ukuran atlet yang tengah berpuasa, pencapaian itu tentu luar biasa.

Saya sempat menulis kisah Hakeem Olajuwon di IDN Times Community. Saya tahu seperti apa perjuangannya menghadapi tantangan sebagai seorang atlet yang berpuasa. Namun, saya belum pernah menceritakan pengaruh atlet-atlet seperti Olajuwon dan Irving dalam kehidupan pribadi.

Sebagai informasi, saya merupakan student-athlete—sebutan untuk seorang pelajar yang sekaligus seorang atlet—pada masa muda. Saya bisa berlatih basket hampir tiap hari bersama tim sekolah dan klub tanpa mengabaikan pendidikan. Pada 2009, saya kebetulan terpilih masuk tim basket daerah untuk Kualifikasi Pekan Olahraga Daerah (Porda). Aktivitas saya seputar belajar dan berlatih pun makin ketat. Belum lagi dengan urusan-urusan lain.

Pada September tahun yang sama, saya mesti melalui semuanya sambil berpuasa. Sebab, Kualifikasi Porda akan berlangsung pada akhir tahun. Sementara libur bukan pilihan terbaik saat itu. Persiapannya terlalu sebentar untuk mengambil jeda. Mau tidak mau, saya perlu belajar dan berlatih dengan tetap menahan haus dan lapar.

Awalnya memang terdengar mengerikan, terutama karena porsi latihan tidak berbeda dari biasanya saat Ramadan. Bahkan, pada beberapa kesempatan, latihan jadi lebih berat karena hadirnya latihan tambahan. Maklum, sebagai salah satu atlet termuda saat itu, saya punya gap yang mesti dipangkas. Namun, berkat motivasi dari pelatih, saya mau menjalaninya dengan keyakinan yang kuat.

Saat itu, pelatih saya memberi saya sebuah DVD berisi cerita Hakeem Olajuwon. Saya menontonnya dengan serius karena, katanya, cerita itu bisa menguatkan saya. Seperti sudah saya singgung di muka, Olajuwon merupakan salah satu pionir atlet basket NBA yang berpuasa. Dia juga yang menginspirasi atlet-atlet seperti Kyrie Irving untuk melakukan hal serupa. Benar saja, setelah menonton DVD itu, semangat saya membuncah. Latihan mulai pukul 14:00 WIB pun saya jalani.

Saya biasa memulai latihan lebih awal dari tim. Sebab, saya mesti mengejar ketertinggalan tadi. Latihan tim sendiri baru dimulai setelah salat asar, sekitar pukul 15:00 WIB, di pekarangan rumah pelatih saya.

Menu latihan kebetulan selalu diawali latihan fisik yang bisa dilakukan di pekarangan. Setelah istirahat sebentar untuk salat asar, latihan fisik dengan menu berbeda dilanjutkan di sana. Baru setelah itu kami berlari menyusuri rel kereta, kebun, dan bukit menuju lapangan, untuk ditutup dengan latihan tim yang terdiri dari fundamental dan penguatan strategi. Kami biasanya baru berhenti menjelang magrib dan kembali ke rumah pelatih menyusuri jalur yang sama dengan jalur keberangkatan kami yang terdiri dari bukit, kebun, dan rel kereta. Jadi terasa sangat melelahkan karena perjalanannya membutuhkan usaha yang sama.

Latihan bersama tim Porda ini sendiri berlangsung dua kali seminggu pada tengah pekan. Kemudian, dilanjutkan dengan latihan bersama klub tiap Sabtu dan Minggu. Pada hari lainnya, saya bisa menghabiskan waktu bersama tim sekolahan. Semuanya bisa dilalui dengan berpuasa karena meneladani idola yang juga berpuasa.

Pada masa-masa itu, pilihan saya tentang menjalani puasa sambil belajar dan berlatih sebenarnya sempat bercabang kepada dua hal: tunduk kepada hawa nafsu atau ajaran agama. Sebagai anak yang dibesarkan di keluarga yang cukup religius, tentu tunduk kepada hawa nafsu bukan pilihan yang bisa diambil. Namun, membayangkan tantangannya saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri. Saya seolah berada di persimpangan yang membingungkan. 

Untungnya, saya punya pelatih yang memiliki cara tepat untuk memotivasi anak asuhnya untuk menghadapi tantangan itu. Ramadan pada 2009 pun menjadi salah satu Ramadan terbaik dalam hidup saya. Sebab, selain bisa tetap belajar dan berlatih sambil berpuasa, saya juga makin mengenal siapa mereka yang saya idolakan dan betapa kehadirannya memengaruhi kehidupan saya sampai hari ini.

Baca Juga: Ziarah Makam Leluhur saat Ramadan sebagai Amalan dari Sabda Nietzsche 

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya