[OPINI] Film The Book Thief dan Ketakutan Fasisme terhadap Buku

Relevansinya dengan Tindakan Penyitaan Buku di Indonesia

Awalnya saya kurang begitu tertarik dengan film ini. Anggapan saya, ini hanya salah satu film dari Hollywood, tentang ketertindasan kaum Yahudi di masa lalu. Sementara pada masa sekarang, perihal bagaimana sepak terjang negara Israel, terhadap tetangganya, Palestina, boleh dikata minim sekali, bahkan hampir tidak ada film Hollywood tentang itu. Akan tetapi, setelah saya coba tonton, kesan berbeda saya dapatkan.

"The Book Thief", adalah sebuah film yang diangkat dari novel dengan judul sama, yang ditulis oleh Markus Zusak, seorang penulis dari Australia. Film yang disutradarai oleh Brian Percival ini berkisah tentang seorang anak perempuan yang bernama Liesel Meminger, yang diperankan oleh Sophie Nelisse, dan kegemarannya membaca buku. Saking sukanya pada aktivitas membaca buku, ia pun nekat mengambil sebuah buku dalam tumpukan buku yang dibakar oleh Nazi.

Liesel dititipkan oleh orang tuanya, yang komunis, pada keluarga Hubermann di Munich, dengan tujuan untuk menghindari persekusi dari Partai Nazi yang saat itu berkuasa. Kaum komunis pada masa kekuasaan Hitler dan Partai Nazi, mengalami nasib yang sama dengan kaum Yahudi, yaitu harus menghabiskan hari-hari mereka di kamp konsentrasi.

Have you seen that girl? Filthy. Everything they said about communists is true, dirty and stupid” (Apakah kau lihat anak perempuan itu? Jorok. Semua yang mereka bilang tentang kaum komunis adalah benar, kotor dan bodoh). Begitu perkataan sang ibu asuh (ibu angkat), Rosa Hubermann, tentang diri Liesel,  terhadap petugas palang merah yang membawa Liesel padanya. Dialog ini menjelaskan tentang latar belakang ideologi orang tua Liesel, dan bagaimana stereotip masyarakat Jerman era Hitler, pada kaum komunis.

Awalnya Liesel buta huruf, akan tetapi rasa ingin tahunya pada buku dan isinya sudah muncul, hal ini terlihat dari tindakannya yang mencuri buku seorang penggali kubur, setelah buku tersebut jatuh dari kantong yang bersangkutan. Saat itu sang penggali kubur tengah menggali tanah bersalju, untuk menguburkan adik Liesel, yang meninggal di atas kereta dalam perjalanan menuju Munich. Ayah angkat Liesel, yaitu Hans Hubermann, kemudian membacakan buku yang dicuri Liesel tersebut, yang berjudul “The Grave Digger’s Handbook” (Buku Saku Penggali Kubur). Dengan buku tersebut, ayah angkat Liesel, mengajarinya membaca.

Pada suatu malam, Liesel dan temannya, Rudy Steiner, diperankan oleh Nico Liersch, menghadiri sebuah parade dan rapat akbar yang diselenggarakan oleh Partai Nazi. Rapat tersebut ternyata bertujuan untuk membakar berbagai buku, film, Koran, dan majalah, yang dianggap oleh Partai Nazi sebagai “Intellectual Dirt”, atau kotoran intelektual. Liesel, awalnya terbawa euforia untuk membakar buku, akan tetapi, ia kemudian tercenung dan merasa kecewa dengan pembakaran buku tersebut. Seorang anak, anggota Pemuda Hitler (Hitler Youth Movement), organisasi yang Liesel dan Rudy menjadi anggotanya, mengungkap identitas Liesel, sebagai anak seorang komunis dan menantang Rudy dan Liesel untuk membakar buku. Liesel kemudian melemparkan buku tersebut ke kobaran api, dengan berat hati.

Setelah rapat selesai, Liesel mengambil sebuah buku yang sudah sedikit terbakar, perbuatannya dilihat oleh istri walikota, Ilsa Hermann. Walikota tersebut lah yang sebelumnya memimpin rapat pembakaran buku. Liesel baru menyadari bahwa perempuan yang memergokinya mengambil buku yang telah terbakar tersebut, adalah istri Walikota, ketika ia disuruh mengantarkan laundry ke rumah walikota, oleh ibu angkatnya. 

Di sana Liesel ternyata dibawa oleh istri walikota tersebut, ke perpustakaan miliknya, ia diperbolehkan membaca buku apa saja dan datang kapan saja ke perpustakaan itu. Liesel tak menyia-nyiakan kesempatan itu, iapun melahap banyak buku di sana. Kesenangan Liesel berakhir, ketika si walikota menemukan Liesel yang tengah asyik membaca di perpustakaan. Walikota tersebut lalu melarangnya untuk datang lagi, dan memberhentikan ibu angkat Liesel sebagai tukang laundry mereka. 

Suatu hari, seorang Yahudi bernama Max Vandenburg, datang ke rumah mereka, dalam kondisi lemah. Ia berhasil lolos dari peristiwa Kristallnacht, yaitu pembantaian orang-orang Yahudi, dan perusakan terhadap toko-toko Yahudi oleh SA, organisasi paramiliter Partai Nazi. Peristiwa brutal tersebut terjadi pada tanggal 9-10 November 1938, tahun yang melatari bagian awal film ini. 

Ayah angkat Liesel, Hans Hubermann, berhutang budi pada ayah Max, yang pernah menyelamatkannya dalam perang. Max lalu ditampung dan dirawat di rumah mereka. Liesel dan Max menjadi akrab karena sama-sama benci Hitler, yang telah membuat mereka terpisah dari orang-orang yang mereka sayangi. Liesel juga membacakan buku yang didapatnya dari perpustakaan Walikota, pada Max yang tengah memulihkan diri.

Perang dunia kedua, yang semakin  mendekati akhir, membuat Liesel kemudian terpaksa kembali berpisah dengan orang-orang yang disayanginya. Setelah ayah angkatnya pulang dari medan pertempuran, karena harus ikut wajib militer. Daerah tempat mereka tinggal terkena bom. Hans, Rosa, dan Rudy tewas akibat bom tersebut.

Epiloq dari film ini adalah Liesel menjadi seorang penulis dan tinggal di Upper East Side, Manhattan, Amerika Serikat. Ia berumur panjang dan wafat pada usia 90 tahun.

Dari film ini kita bisa lihat dengan jelas bahwa kaum fasis sangat takut terhadap buku-buku yang isinya. berseberangan dengan ideologi mereka. Karena itulah aksi pembakaran buku mereka lakukan, supaya rakyat mayoritas tak bisa membaca buku-buku tersebut. 

Bagaimana dengan Indonesia? Boleh dikata kita hanya bisa merasakan kondisi bebas membaca, pada saat sebelum Dekrit Presiden 1959 dikeluarkan. Atau sekitar 14 tahun saja, kalau dihitung dari proklamasi kemerdekaan. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Reformasi, pemerintah membatasi akses rakyat terhadap berbagai buku, literatur, musik, dan film. 

Pada masa Demokrasi Terpimpin, musik ngak ngik ngok dilarang, karena dianggap sebagai representasi budaya liberal. Pada masa Orde Baru lebih parah lagi, akibat dari diberlakukannya TAP MPRS No. XXV/1966, semua literatur dan film yang dianggap berisi penyebaran ideologi Marxisme-Leninisme, dilarang oleh pemerintah. 

Pada masa Reformasi, TAP MPRS kontroversial tersebut tetap berlaku dan tidak dicabut. Hal ini lah yang membuat pembakaran dan penyitaan buku masih saja terjadi di Indonesia. Akhir-akhir ini bahkan di beberapa daerah di Indonesia, beberapa anggota TNI diberitakan menyita buku-buku yang dianggap berbau PKI. 

Tindakan pelarangan buku tersebut pada dasarnya adalah suatu bentuk pembodohan dan bertentangan dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terutama terkait tujuan negara Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Persoalannya kemudian, adalah mental fasis yang melekat pada para penguasa Indonesia, hingga pelarangan buku dan literatur masih saja terjadi walaupun era kediktatoran Orde Baru sudah berakhir. Mungkin hanya pada era kepemimpinan Gusdur, kita bisa merasakan sedikit alam kebebasan. Beliau sempat mewacanakan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 tersebut, hanya saja sebelum hal itu tercapai, Gusdur sudah keburu digulingkan oleh aliansi para elit sisa Orde Baru dan Reformis Gadungan, Amien Rais, Megawati, dan kawan-kawan. 

Ke depannya, untuk melenyapkan mental fasis para penguasa ini, rakyat sebagai pemilik sejati negeri ini, harus berani bersuara. Terutama orang-orang yang benar-benar berpikiran maju dan konsisten, siapapun mereka dan di kubu manapun mereka berada. Tegasnya, jika elit yang mereka dukung, entah itu Jokowi ataupun Prabowo tak mau membuang mental fasisnya, mereka harus berani menarik dukungan dari para elit tersebut. Sikap yang tidak tegas dan membiarkan para pemimpin bermental fasis berkuasa, adalah setali tiga uang dengan kaum fasis yang gemar mengangkangi kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Baca Juga: [OPINI] Tentang Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Harsa Permata lahir di Aceh Selatan, pada tanggal 30 Januari 1979. Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi pengajar di Sekolah Dasar dan Menengah internasional di Jakarta, pada tahun 2005-2011, salah satunya adalah Sekolah Jubilee, Jakarta. Pada tahun 2016, menjadi dosen tetap di Universitas Universal, Batam, Kepulauan Riau. Ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya