[OPINI] Di Balik Beauty Privilege, Ketika Cantik Tak Melulu Indah

Beauty privilese terus populer, tapi cantik punya risikonya

Katanya, jadi orang yang cantik itu punya keistimewaannya tersendiri. Bukan lagi soal visual yang mampu menarik hati banyak orang, tetapi juga perihal kemudahan untuk berada di lingkungan sosial serta kemudahan berperan di dalamnya. Misalnya dalam lingkungan kerja.

Seorang teman kemudian mengatakan dalam diskusi singkat kami, bahwa kalau kamu adalah pegawai yang cantik, maka kesulitan apa pun yang ada di lingkungan kerja akan segera kamu dapatkan bantuannya. Hal tersebut, katanya, tidak berlaku jika kita memiliki paras yang biasa saja. Kamu setuju, gak?

1. Standar kecantikan perempuan Indonesia

[OPINI] Di Balik Beauty Privilege, Ketika Cantik Tak Melulu Indahilustrasi perempuan tersenyum (pixabay.com/Endho)

Ngomong-ngomong soal cantik, tidak mungkin terlepas dari definisi sosial yang berkembang di tengah masyarakat kita. Lantas, bagaimana seseorang bisa dikatakan cantik? Di Indonesia sendiri, “cantik” merujuk pada perempuan yang berkulit putih, mulus, bertubuh langsing, dan tinggi. Banyak media yang juga menggambarkan hal yang sama tentang cantik, yaitu berkulit putih, tubuh tinggi, dan langsing.

ZAP Beauty Index mencanangkan pula tentang definisi cantik di mata perempuan Indonesia berdasarkan hasil risetnya dalam segmen Beauty Beyond Words. Hasil survei ZAP Beauty Index tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 40,9 persen perempuan Indonesia mendefinisikan cantik adalah bertubuh sehat dan bugar atau fit.

Definisi tersebut kemudian bergeser pada tahun 2019, ketika sebanyak 46,7 persen responden mendefinisikan cantik yakni memperindah penampilan secara keseluruhan atau dapat dikenal dengan well-dressed. Namun, yang pastinya memiliki kulit cerah non glowing masih menjadi definisi cantik secara umum di mata mayoritas perempuan Indonesia (82,5 persen). Catat, bukan laki-laki yang mendefinisikan hegemoni ini, tetapi kaum perempuan sendiri.

2. Definisi tentang beauty privilege

[OPINI] Di Balik Beauty Privilege, Ketika Cantik Tak Melulu Indahilustrasi orang bekerja (pexels.com/Thirdman)

Standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat luas kemudian melahirkan yang namanya beauty privilege. Kamu tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah tersebut. Dalam artikel jurnal berjudul “Tingkat Kepercayaan Diri pada Wanita Dewasa Awal dengan Adanya Tren Beauty Privilege” yang ditulis oleh Viazensa Tiara Pratami, dkk. pada tahun 2023 disebutkan bahwa adanya beauty privilege berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan dan bahkan menjadi salah satu faktor keberhasilan eksistensi seorang individu dalam masyarakat.

Beauty privilege merupakan fenomena ketika individu yang dianggap cantik mendapatkan keuntungan maupun keistimewaan dari lingkungan sosial, atau istilah gampangnya adalah hak istimewa si cantik. Beauty privilege benar-benar ada dan terjadi dalam aspek kehidupan, salah satunya dunia kerja. Kenyataannya, perempuan yang memiliki paras cantik dapat menjadi aset untuk memperoleh pekerjaan dan menunjang kariernya. Hal ini bisa kita lihat melalui banyaknya pamflet yang membuka lowongan pekerjaan dengan syarat good looking atau berpenampilan menarik.

Tidak sedikit perusahaan yang menempatkan syarat berpenampilan menarik di poin teratas. Umumnya, persyaratan semacam itu disertai dengan pembatasan usia, misalnya maksimal 25 tahun. Di sisi lain, hal tersebut normal memang karena dikatakan bahwa penampilan pegawai menjadi salah satu personal branding-nya sekaligus cerminan perusahaan.

Contoh dari fenomena beauty privilege lainnya yang kerap kita jumpai adalah di media sosial. Orang yang memiliki paras cantik cenderung mendapatkan banyak view dan like dari pengguna media sosial. Selain itu, mereka juga berpeluang untuk cepat viral.

3. Mengerikannya beauty privilege

[OPINI] Di Balik Beauty Privilege, Ketika Cantik Tak Melulu Indahilustrasi orang bermain media sosial (freepik.com/freepik)

Hak istimewa ini jelas memiliki dampak baik bagi mereka yang berparas cantik maupun rupawan. Namun, efek dari beauty privilege juga terbilang mengerikan. Sebab, orang yang memiliki paras biasa saja dapat kena imbasnya. Kamu barangkali pernah mendapati kasus ketika orang dengan paras biasa saja memperoleh ejekan maupun cemoohan dari pengguna sosial media, padahal orang tersebut tidak melakukan kesalahan apa pun yang merugikan pihak tertentu.

Sebaliknya, mereka yang jelas bersalah masih memperoleh sanjungan, pujian, serta dukungan orang banyak, tidak lain karena mereka berparas cantik. Ingat kasus Isabella Guzman? Kasus Isabella Guzman menjadi terkenal di dunia bukan hanya karena dirinya telah membunuh ibu kandungnya secara keji, tetapi juga karena dirinya memiliki paras yang cantik. Oleh karena itu, ia dijuluki sebagai psikopat cantik.

Kalau kamu membaca komentar warganet di platform yang membicarakan tentang Isabella Guzman ataupun kasusnya, kamu akan menemukan komentar warganet yang memuji kecantikannya atau mewajarkan tindakannya tersebut. Parahnya lagi, ada pula yang berkomentar ingin dibunuh oleh sosoknya yang dinilai cantik itu.

Baca Juga: [OPINI] Tren Honjok: Seni Hidup Sendiri dari Korea Selatan

4. Cantik tidak melulu membahagiakan

[OPINI] Di Balik Beauty Privilege, Ketika Cantik Tak Melulu Indahilustrasi kesendirian (pexels.com/destiawan nur agustra)

Namun, meskipun perempuan yang berparas cantik memiliki keistimewaan, mereka juga tidak lepas dari hal-hal yang tidak membahagiakan. Hal yang umum terjadi di masyarakat kita adalah menjadikan perempuan yang cantik, menarik, maupun seksi sebagai objek seksualitas, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya.

Artinya, mereka tidak lagi dipandang sebagai manusia yang memiliki perasaan, tetapi hanya sebagai objek yang dapat merangsang gairah kaum laki-laki maupun sebagai objek yang dapat menarik hati banyak orang. Dalam program televisi misalnya, tidak sedikit kasus yang secara tidak langsung menggambarkan bahwa kehadiran perempuan cantik dalam program tersebut adalah sebagai konsumsi publik, terutama kaum laki-laki.

Selain itu, perempuan yang dianggap cantik juga cenderung lebih mendapatkan cat calling. Agaknya, cat calling banyak diterima oleh perempuan berparas yang dianggap lebih cantik ketimbang perempuan yang memiliki paras biasa saja. Hal ini tentu membuat risih dan mengganggu bagi mereka. 

5. Stigma terhadap orang good looking

[OPINI] Di Balik Beauty Privilege, Ketika Cantik Tak Melulu Indahilustrasi orang merenung (unsplash.com/sean Kong)

Tidak hanya itu, mereka juga memiliki beberapa stigma yang melekat. Stigma tersebut seperti dicap orang yang sombong, orang yang materialistis, orang yang tidak tulus, bahkan sampai kerap disebut sebagai perebut kekasih orang. Hal-hal semacam itu yang menjadi sisi buruk dari memiliki paras cantik.

Jadi teringat kutipan yang berbunyi, “Cantik itu luka. Kata orang, wanita jika cantik masalah hidupnya akan 50 persen lebih mudah. Gampang cari kerja, gampang mengerjakan tugas, gampang cari pacar. Tapi mereka lupa, bahwa mereka hanya melihat fisiknya. Bukan perjuangannya”.

Baca Juga: [OPINI] Dilema Pernikahan, Pasangan Anugerah atau Ujian?

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya