[OPINI] Stereotip dan Domestikasi Perempuan dalam Sinetron Televisi

Tak semua yang disajikan adalah realitas sosial

Sinema elektronik atau biasa kita sebut dengan sinetron yang ditayangkan di televisi menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia sampai sekarang. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat tidak lantas membuat televisi kehilangan pemirsanya. Data yang dipaparkan oleh IDN Riset Institute pada tahun 2020 menunjukkan bahwa televisi masih menjadi media yang banyak dikonsumsi oleh milenial, yakni sebesar 89 persen. Data tersebut memungkinkan bahwa masyarakat Indonesia masih menikmati tayangan yang tersaji dalam televisi, termasuk tayangan sinetronnya.

Sinetron yang ditayangkan dalam televisi pada hakikatnya berfungsi sebagai hiburan di samping sebagai media edukasi. Namun, hal itu bukan berarti sinetron dibuat semata-mata hanya untuk kepentingan hiburan saja, tanpa memandang unsur kualitas serta mutu yang terkandung di dalamnya. Sebab melalui sinetron, berarti kita tengah mengampanyekan suatu pandangan, pemikiran, dan budaya secara audio-visual kepada masyarakat luas. Pernyataan tersebut tidak lepas dari fungsi televisi sebagai media yang membentuk opini publik.

Penjabaran itu menjadikan industri pertelevisian tidak sekadar membuat sinetron hanya untuk tujuan komersial belaka, tetapi juga perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai korelasi dan mobilisasi yang baik untuk masyarakat, terlebih di zaman modern seperti saat ini ketika ideologi asing bermunculan.

Sinetron yang saat ini banyak ditayangkan di Indonesia dan cukup digandrungi oleh masyarakat, baik remaja maupun dewasa adalah sinetron yang mengangkat tema keluarga dengan genre drama. Alur cerita yang menghibur dalam setiap sajian sinetron bertema keluarga membuat masyarakat betah untuk terus menyaksikan. Konflik seperti perselingkuhan, KDRT, pemaksaan dalam berpoligami, maupun kekerasan anak yang mendominasi menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang sejatinya lebih tergugah pada sebuah tragedi.

Banyaknya penonton setia sinetron bertema keluarga dengan genre drama menjadikan sinetron tersebut memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk definisi sosial masyarakat, termasuk dalam menegaskan stereotip perempuan dan domestikasinya. Nyatanya, budaya patriarki masih menjadi sebuah pemikiran yang terus dijejalkan kepada masyarakat Indonesia.

Konsep keluarga yang dibangun dalam sebuah sinetron tak jarang memegang kuat konsep bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang menerima domestikasinya sebagai makhluk yang ‘hanya’ berperan dalam urusan rumah tangga, dan konsep bahwa laki-laki lebih superior dan unggul daripada perempuan. Sayangnya di sisi lain, pemahaman seperti itu lantas menjadikan perempuan mudah menjadi objek kekerasan.

Tak menafikan memang, bahwa kita kerap menjumpai sinetron yang memiliki skenario saat seorang istri menjadi objek kekerasan oleh suaminya sendiri, entah itu korban KDRT ataupun korban perselingkuhan. Selain itu, kita juga seringkali mendapati pemahaman dalam sinetron bahwa seorang istri yang baik adalah ia yang mampu memberikan keturunan, jika tidak mampu, maka istri akan meminta maaf secara sepihak kepada suami atas sesuatu hal yang bahkan bukan menjadi kesalahan dan kuasanya.

Sinetron juga sering kali menempatkan peran antagonis kepada perempuan. Misalnya, perempuan sebagai pelakor, perempuan yang menaruh iri dan dendam melihat saudara atau sahabatnya mendapatkan laki-laki yang lebih mapan, atau perempuan yang begitu konsumtif karena suka menghamburkan uang. Padahal, di dunia nyata, hal-hal seperti itu bisa pula dialami oleh laki-laki.

Kenyataan seperti ini seharusnya membuat kita sadar akan pentingnya menegakkan kesetaraan gender untuk meminimalkan kekerasan terhadap perempuan yang seringkali diberitakan di media massa. Bisa jadi, stereotip perempuan yang terus dijejalkan dalam ruang publik justru memancing tindakan kejahatan yang terjadi secara terus menerus terhadap perempuan. Tayangan-tayangan di televisi seharusnya lebih ditertibkan. Realistis memang saat kita berbicara mengenai kebutuhan pasar dan kebutuhan komersial. Namun, kenyataan bahwa televisi berperan penting dalam menciptakan image sosial di masyarakat seharusnya cukup membuat kita tegas mempertimbangkan konsep apa yang seharusnya ‘perlu’ ditanamkan di masyarakat.

Karena tidak semua yang disajikan dalam sinetron merupakan realitas sosial yang benar-benar terjadi.

Baca Juga: [OPINI] Hierarki Perempuan dalam Prostitusi: Kentalnya Patriarki

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya