[OPINI] Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang Semakin Terlupakan

Selamat hari pendidikan nasional, pertiwiku!

Dalam rangka menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan juga sebagai upaya mendikte perkembangan teknologi yang begitu pesat yaitu antara kompetensi hard skill dengan soft kill haruslah seimbang. Mengesampingkan karakter namun lebih mengutamakan wawasan dan pengetahuan dinilai sebagai sebuah strategi yang kurang tepat. Maka dari itu, sangat dibutuhkan pendidikan karakter seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan sebagai sebuah sarana yang dapat memahami dunia dan senantiasa masyarakat siap untuk mengubahnya. Pada intinya, bahwa pendidikan karakter sebagai proses menjembatani pembelajaran sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan realitas sosial.

Urgensi pendidikan karakter lainnya, mampu menopang kepribadian bangsa beradab dan berkualitas. Kini, konsep pendidikan karakter di Indonesia seperti kehilangan arah, padahal kita mempunyai sosok tokoh ulung yaitu bapak Ki Hajar Dewantara. Beliau yang telah meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan di Indonesia, walaupun kita masih menggunakan sistem tersebut, akan tetapi hari demi hari kian tersingkirkan. Lalu, seperti apa konsep pendidikan karakter ala Ki Hajar Dewantara yang harus kita bumikan untuk masa depan Indonesia kelak?

Sistem Trilogi

Ki Hajar Dewantara menawarkan sistem “trilogi” yang berperan membina dan mendidik anak dengan melibatkan peran orang tua, sekolah, dan masyarakat. Peran orang tua sebagai penentu karakter anak mendapatkan penanaman moral dan akhlak sejak dini diberlakukan oleh orang tua, karena berpengaruh besar dalam menentukan pencapaian tujuan cita-cita anak. Sebagai pembuat kebijakan praksis berlandaskan nilai-nilai kebajikan yang melekat pada sifat naluri manusia seperti kejujuran, kesopanan, kedermawanan, dan etos kerja yang tinggi menciptakan kepribadian anak yang berkualitas. Sebaliknya perilaku negatif orang tua akan menyebarkan “virus” kepada anaknya. Mereka terbawa pada perilaku negatif orang tua sehingga menimbulkan sikap tak acuh di dalam dirinya. Terjalinnya komunikasi yang baik antara orangtua dan anak mampu menciptakan rasa tenggang yang tinggi sehingga menimbulkan saling pengertian di antara keduanya.

Saat ini, sekolah sangat ambisius untuk mencetak siswa pandai dengan meraih nilai tertinggi dan dalam rangka mengejar ataupun meningkatkan citra sekolah. Sekolah telah luput dari penanaman nilai-nilai pendidikan karakter. Hakikatnya, pendidikan mempunyai dua makna ganda yaitu, pendidikan untuk mencapai kebutuhan aspek kognitif dan pendidikan sebagai pembentuk jati diri siswa. Sebagai pembentuk peran sekolah amat penting, melalui tangan dingin seorang guru dalam istilah Jawa dikenal dengan “digugu lan ditiru”. Filosofi ini mengajarkan guru yang baik adalah guru yang tidak menjadi penguasa, tetapi sebagai pembimbing dengan keramahtamahan. Dalam proses mentransfer ilmu guru tidak memberikan tekanan ataupun tuntutan berat dalam kondisi yang demikian, menimbulkan anak didik yang stress dan frustasi mengarahkan pada perilaku menyimpang. Maka dari itu, diupayakan memberikan motivasi dan stimulasi secara komperhensif.

Masyarakat sebagai faktor penilai dan pengendali tingkah laku anak, hanya mempunyai sedikit peran namun dalam ruang lingkup yang tidak dibatasi. Dalam lingkungan yang luas ini, anak secara tidak langsung mendapatkan pengajaran yang pantas atau tidak pantas dijadikan pegangan hidup sebagai makhluk sosial. Ketiga peran tersebut, menurut Ki Hajar Dewantara jika direflesikan pada pendidikan karakter di tengah kemutakhiran teknologi dinilai sangat tepat untuk diterapkan oleh sekolah, dalam memberikan pengaruh dunia pedagogi kini dan esok.

Metode Among

Metode Among berkaitan dengan kata dasar Mong yang mencakup Momong, Among, dan Ngemong. Momong dalam bahasa Jawa berarti merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang disertai dengan doa dan harapan serta mentransformasi anak agar selalu berada di jalan kebenaran. Sedangkan Among, termasuk proses walang wuruk berarti pengajaran tentang nilai kebaikan dan keburukan disertai dengan pengenalan hukuman terhadap contoh perilaku di tahap ini sesuai dengan kodratnya. Terakhir, Ngemong adalah suatu proses mendidik agar anak dapat bertanggung jawab dan displin atas perbuatan yang telah dilakukan.

Dalam ketiga sikap itu dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa melalui peran guru di sekolah, orang tua di rumah, dan lingkungan masyarakat mewadahi tumbuh dan kembang perilaku anak dalam meraih impian mereka. Tugas mereka adalah bukan sekedar mendikte, melainkan menjadi pemandu untuk mendukung pola pikir dan tumbuh kembang anak. Sistem among mengajarkan arti kemerdekaan dalam dunia pedagogi. Pendidikan bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang mapan akal budi dan pekerti bukan untuk mengupayakan kehidupan berdasarkan kekuasaan pihak berintelek tapi melupakan pendidikan karakter sebagai titik tolak ukur seorang ilmuwan. Perilaku siswa yang negatif lahir sebagai akibat dari sistem kegiatan sekolah yang membosankan dan dinilai sangat menyimpang dari sistem among.

Sistem among berlandaskan pada ketiga hal berikut. Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha ( Di Depan Memberikan Keteladanan), Ing Madya Mangun Karsa (Di Tengah Memberi Semangat), dan Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan). Jadi, secara tersirat dalam hal ini adalah para orang tua, guru, dan masyarakat tidak hanya menjadi suri teladan tetapi juga menciptakan semangat sehingga mendorong agar anak dapat memberdayakan diri demi pencapaian tujuan hidupnya. Pembebasan dalam pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara adalah yang diawasi dan dibatasi, maksudnya dengan memberikan teguran dan arahan ketika anak mengambil jalan yang keliru.

Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa kebebasan berpendidikan itu bersifat relatif melalui penerapan pembelajaran metode “trilogi” dan “among”. Merujuk pada ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara lebih bersifat nasionalitas, beliau banyak menganggas ide-ide mengenai masyarakat Indonesia yang belum terjamak oleh pendidikan. Gagasan beliau yang gemilang dengan mendirikan Taman Siswa dan tidak mengambil kebudayaan asing yang akan dikonstruksikan dalam sistem tatanan pendidikan di Indonesia, melahirkan dasar-dasar pendidikan nasional yang masih digunakan hingga saat ini. Beliau mengembangkan sistem pendidikan multikultural berkeadilan yang bersifat egaliter dan senantiasa menumbuhkan toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat. Jika setiap orang sama di hadapan hukum, maka begitu juga dengan setiap individu yang mendapatkan hak dan kesempatan yang sama. Konsep pendidikan ini mampu menjawab tantangan di tengah keberagaman yang semakin kompleks.

Baca Juga: [OPINI] Kuliah Daring, Bagaimana Rasanya? Banyak Sambatnya~

Shafira Arifah Photo Verified Writer Shafira Arifah

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya