Ayah, Bawa Aku Pulang ke Rumah yang Mendekap Perbedaan

Surat untuk Ayah...

Ayah, ingatkah dulu Ayah pernah bilang bahwa hanya ada dua jenis manusia di dunia ini? Ya, baik dan jahat. Aku selalu mengingat itu. Berkat dirimu, aku benar-benar mengerti bagaimana caranya memperlakukan orang lain.

Ayah, ingatkah dulu kau selalu mengatakan bahwa orang baik akan diberikan berkah berlimpah, sedangkan orang jahat akan menerima hukuman? Aku benar-benar mengingat itu. Berkat ajaranmu, aku selalu berusaha menjadi orang baik, supaya diberikan berkah.

Ayah, ingatkah dulu kau selalu berkata bahwa aku harus menghormati siapapun, terutama kaum minoritas? Aku melakukannya. Berkat nasihatmu, aku selalu mencintai secara berbeda meskipun dalam perbedaan.

Ayah, sekarang bolehkah aku bertanya? Apakah semua yang kau ajarkan dulu itu benar? Apakah yang kau katakan dulu bukan sekedar kisah khayalan untuk membodohi anakmu ini?

Ayah, ternyata kau salah.
Manusia tidak terbagi ke dalam baik dan jahat. Ayah mungkin lupa untuk mengajarkanku bahwa manusia terbagi ke dalam beberapa agama, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau Khonghucu. Ayah, baik dan jahat ternyata sudah tidak berlaku lagi. Aku sudah sering menyaksikan sesama orang dalam agama kita berbuat kejahatan, namun mereka mendapat berkah berupa dukungan moral dan material. Ayah, katamu orang jahat akan mendapat hukuman, bukannya berkah. Lalu, aku melihat segelintir orang berbuat kebaikan, mati-matian membela kemanusiaan, tapi apa yang mereka dapatkan? Ancaman, hukuman, bahkan kematian. Ayah, ternyata kau membohongiku selama ini.

Ayah, mungkin seharusnya aku tidak boleh menoleransi kaum minoritas. Ya, toleransi yang aku lakukan hanya membuatku dianggap penista, pengkhianat, bahkan kafir. Aku kebingungan, Ayah. Apa yang salah dariku? Apa yang telah kau tanamkan di otak anakmu ini sehingga selalu memandang segala hal seolah secara berbeda?

Ayah, kemarin seseorang dipenjara karena dituduh menistakan agama. Padahal dia orang baik. Mengapa, Ayah? 

Aku merasakan ketidakadilan dan duka mendalam atas dirinya. Aku teringat rumah, tempat dimana aku pertama belajar mengenai perbedaan. Bukankah hanya di rumah kita, sebuah mesjid bisa berdiri berdampingan dengan tempat ibadah agama lain? Bukankah hanya di rumah kita, sebuah perayaan keagaaman yang ada pada agama kita bisa diselenggarakan di tempat ibadah agama lain? Bukankah itu keindahan yang pertama kali aku kenal dulu?

Ayah, mungkinkah aku sudah kehilangan arah? Lisanku sudah tidak bisa lagi berkata karena takut. Padahal, aku selalu mengingat nasihatmu untuk mendengarkah kata hati nurani di saat-saat seperti ini. Tapi, Ayah, mengertikah kau bahwa suara hati nuraniku saat ini merupakan suara minoritas? Ayah sudah menyaksikan terlalu banyak apa yang mereka lakukan terhadap minoritas.

Ayah, aku malu. Aku ingin pulang. Bawa aku pulang ke tempat dimana perbedaan itu pernah menjadi indah.

Sri Rahayu Photo Writer Sri Rahayu

Seorang Social Media Specialist yang juga senang untuk menulis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya