Bersyukurlah, Tidak Semua Orang Berbahagia di Malam Takbiran

#CeritaRamadan Ada mereka yang renta dan bersusah payah

Aku lupa kapan waktu tepatnya, mungkin ada di kitaran tahun 2012-2017. Yang jelas, saat itu aku masih tinggal di Yogyakarta. Mungkin juga, aku belum bekerja dengan serius seperti sekarang.

Hari itu adalah hari terakhir berpuasa. Maka, sudah pasti malam harinya takbir berkumandang di setiap penjuru kota Yogyakarta. Sebagian orang mungkin sudah menyiapkan properti unik untuk dibawa pawai keliling kota. Ada pula yang menyiapkan kostum terbaik dan paling rapinya sembari mengarak obor.

Sementara itu, aku dan keluargaku belum mudik ke rumah Simbah yang ada di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kala itu, kami masih memiliki sebuah mobil sederhana. Kalau mudik, kami mengendarai mobil tersebut dan kadang menunggu hari kedua Lebaran agar tidak terjebak arus mudik. Maklum, mobil kami tidak ada AC-nya. Terlalu lama terjebak kemacetan bisa bikin kami frustrasi lantaran kepanasan.

Jadilah pada malam takbiran itu, kami memilih makan malam di luar rumah. Sepertinya, kami juga sudah di luar rumah sejak siang atau sore hari demi membeli kebutuhan rumah tangga di supermarket sebuah mall di Jl. Solo.

Sembari mencari tempat makan yang belum ditentukan, kami berputar-putar di jalanan besar kota Yogyakarta. Kami sengaja ingin menonton suasana malam takbiran dengan pawainya yang unik-unik. Tentu ini pemandangan yang menarik karena tidak setiap hari bisa ditemui.

Sudah berputar-putar, kami belum menemukan juga tempat makan yang menarik hati. Beberapa warung dan restoran juga sudah libur atau tutup lebih cepat. Yang tersisa tinggal warung-warung tenda di pinggir jalan.

Setelah melewati area Alun-Alun Selatan, kami melalui area Jokteng (Pojok Beteng) Wetan. Sebuah warung tenda yang menjual seafood di Jl. Mayjen Sutoyo jadi pilihan. Makanlah kami dengan lahap. Seporsi nasi dengan ca kangkung dan udang terasa melegakan di perut yang sudah beberapa waktu menahan lapar.

Setelah makanan di perut terasa sudah turun sempurna, kami bergegas membayar dan meninggalkan tempat. Meski begitu, kami tidak langsung pulang. Kami masih berkeliling kota sejenak sebelum akhirnya benar-benar kembali ke rumah.

Pada suatu jalan, mobil kami berbelok ke sisi kiri. Tidak ingat pastinya di mana, tapi sepertinya itu ada di perempatan Plengkung Gading. Di antara keramaian pawai yang masih berlanjut, di antara orang yang duduk-duduk di trotoar untuk menonton, serta beberapa toko kelontong yang masih buka, terseliplah pemandangan yang bikin trenyuh.

Seorang kakek dengan pakaian sederhana berupa kaus dan celana pendek, mendorong gerobak kayunya. Dia sendirian, tak seorang pun membersamainya. Dari arahnya mendorong gerobak, ia hendak pergi ke arah selatan.

Ibuku yang melihatnya pun, meminta kakakku yang menyupir mobil untuk berhenti. Seketika ia merogoh tasnya dan mengambil selembar uang. Ibu turun dan aku menemaninya. Sebelum mencapai kakek tersebut, rupanya ada seorang pemuda yang terlebih dahulu menghampiri kakek tersebut. Pemuda itu turun dari motornya dan memberikan uang. Kakek itu pun menerima dan mengucapkan terima kasih.

Sejurus kemudian, giliran ibuku yang menghampiri dan memberikan uang kepada kakek itu. Ditanyainya kakek tersebut. Rupanya, ia menjual kerajinan gerabah yang ditaruhnya di gerobak. Ada semacam piring dari tanah liat dan lain-lain. Kulihat, memang masih terbilang banyak yang ia bawa. Ada setengah gerobaknya.

Kakek itu juga mengatakan bahwa ia baru mau pulang. Di Bantul rumahnya berada. Aku tidak menanyakan di mana persisnya, tapi prediksiku mungkin di Kasongan. Memang Kasongan adalah sentranya kerajinan gerabah. 

Jika benar si kakek tinggal di Kasongan, maka ia harus menempuh 5-6 km berjalan kaki dari area Plengkung Gading. Menurut perkiraan Google Maps, perjalanannya bisa memakan waktu 1 jam 19 menit paling cepat dan 1 jam 25 menit paling lambat.

Seketika ada bermacam-macam perasaan berkecamuk di dada. Bagaimana mungkin di momen takbiran yang sebahagia ini, masih ada sosok renta yang bekerja keras dan tidak banyak yang dihasilkannya? Bukankah di saat ini, biasanya orang-orang sudah mudik dan duduk manis bersama keluarga besar? Bukannya di waktu-waktu seperti ini, orang-orang sudah cuti dan tidak lagi bekerja? Kenapa bisa ada pemandangan kontras seperti ini di antara orang-orang yang tengah "berpesta"? Kok bisa, sih? Tidak adil rasanya membayangkan diri ini menjadi seperti si kakek.

Meski begitu, tak kulihat raut mengeluh sang kakek saat itu. Ia hanya ikhlas menerima pemberian dari orang-orang yang tergerak hati untuk membantunya. Nrima ing pandum, mungkin filosofi Jawa ini yang bisa kulihat dari si kakek. Mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan dan menerima secara penuh tanpa menuntut sesuatu yang lebih.

Hingga detik cerita ini ditulis, aku selalu mengingat kejadian itu. Aku tidak akan pernah lupa. Di satu sisi, rasanya ingin protes atas ketidakadilan nasib tersebut. Di sisi lain, peristiwa itu adalah sebuah ketukan keras agar aku mensyukuri apa pun yang kumiliki dalam hidup. Gaji yang tak banyak tapi tidak perlu sampai meminta-minta, itu sudah lebih dari cukup. Bisa menjalankan hobi dan terus belajar juga patut disyukuri. Bisa meraih pendidikan tinggi untuk mencapai karier yang sekarang, juga tidak semua orang mampu melalui.

Bersyukur, bersyukur, bersyukur! Terima kasih untuk kakek penjual gerabah di malam takbiran. Terima kasih karena sudah mengajarkanku soal kehidupan tanpa menasihati apa pun. Di mana pun engkau berada sekarang, semoga masih sehat dan dikelilingi kebahagiaan ya! Semoga di malam-malam takbiran berikutnya, kakek sudah bisa berkumpul dengan keluarga dan tidak perlu bekerja selelah itu. Amin.

Baca Juga: Ramadan Jauh dari Rumah: Merajut Kebersamaan di Tengah Pandemik

Topik:

  • Febriyanti Revitasari
  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya