Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Daging Tenggiling Aman Dikonsumsi?

ilustrasi tenggiling (unsplash.com/Louis Mornaud)
Intinya sih...
  • Tenggiling adalah mamalia unik dengan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologi.
  • Konsumsi tenggiling berpotensi menyebabkan penularan penyakit zoonosis.
  • Perdagangan daging hewan liar, seperti tenggiling, mengancam keberlangsungan hidup spesies dan ekosistem.

Tenggiling adalah mamalia unik dengan tubuh yang ditutupi sisik pelindung. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dengan mengendalikan populasi serangga, terutama semut dan rayap. Namun, saat ini, keberadaan mereka semakin terancam akibat konsumsi oleh manusia dan perdagangan satwa liar ilegal.

Tenggiling menjadi salah satu mamalia yang paling sering diperdagangkan secara ilegal di dunia. Mamalia ini diperdagangkan karena sisik dan daging mereka dianggap memiliki efek obat dan untuk dikonsumsi. Konsumsi tenggiling tidak hanya menimbulkan bahaya besar bagi spesies ini, tetapi juga bagi kesehatan manusia dan keseimbangan ekologi. Yuk, kita bahas apakah tenggiling boleh dikonsumsi dan apa efek dari konsumsi mamalia bersisik ini!

1. Penularan penyakit zoonosis

ilustrasi tenggiling (commons.wikimedia.org/AJT Johnsingh, WWF India, dan NCF)

Salah satu bahaya terbesar dari mengonsumsi daging tenggiling ialah potensi penularan penyakit zoonosis. Meski tenggiling sendiri tidak diketahui membawa virus yang menginfeksi manusia, hewan ini bisa menjadi inang bagi parasit, seperti kutu, yang dapat menyebarkan penyakit bawaan vektor. Perdagangan satwa liar ilegal yang melibatkan tenggiling juga telah dikaitkan dengan wabah penyakit, seperti COVID-19. Pasar satwa liar, yang menjual tenggiling bersama hewan lain, dapat menjadi pusat penularan penyakit dari hewan ke manusia.

2. Potensi pandemik

ilustrasi tenggiling (commons.wikimedia.org/Shukran888)

Konsumsi tenggiling menjadi perhatian serius selama pandemik COVID-19, saat penelitian awal menunjukkan bahwa virus tersebut mungkin ditularkan dari kelelawar ke tenggiling, kemudian ke manusia. Temuan ini menyoroti bahaya serius terkait dengan konsumsi satwa liar, terutama di pasar-pasar yang memperjualbelikan hewan dalam kondisi sanitasi yang buruk. Kurangnya pengawasan terhadap penanganan hewan di pasar-pasar ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia. Hal ini menegaskan pentingnya upaya untuk melarang perdagangan satwa liar dan mendorong praktik kesehatan yang lebih aman di seluruh dunia. Pandemik ini juga mengingatkan kita akan dampak serius dari interaksi manusia yang tidak terkendali dengan satwa liar.

3. Ancaman terhadap keanekaragaman hayati

ilustrasi tenggiling (pexels.com/zoey sung)

Mengonsumsi tenggiling secara langsung berkontribusi pada penurunan populasi hewan ini dan mengancam keanekaragaman hayati. Terdapat delapan spesies tenggiling di seluruh dunia dan semuanya diklasifikasikan sebagai terancam punah akibat perburuan liar dan hilangnya habitat. Permintaan daging dan sisik tenggiling memicu perdagangan yang tidak hanya membahayakan mereka, tetapi juga mengganggu pengendalian populasi serangga.

4. Praktik yang tidak berkelanjutan

ilustrasi tenggiling (unsplash.com/Louis Mornaud)

Perdagangan daging hewan liar, termasuk tenggiling, sering kali menyebabkan praktik perburuan yang tidak berkelanjutan. Dengan meningkatnya ekspansi perkotaan dan permintaan daging hewan liar, banyak spesies satwa liar menghadapi ancaman kepunahan. Tenggiling sangat rentan terhadap kepunahan karena laju reproduksi mereka yang lambat dan pola makan yang sangat spesifik.

5. Implikasi budaya

ilustrasi tenggiling (pixabay.com/Pixabay)

Dalam beberapa budaya, mengonsumsi daging tenggiling dianggap sebagai simbol status. Signifikansi budaya ini mempersulit upaya konservasi karena permintaan terus berlanjut meski ada implikasi etis dari mengonsumsi spesies yang terancam punah. Gagasan bahwa sisik tenggiling memiliki khasiat obat juga mendorong tingginya permintaan akan daging hewan ini. Meski begitu, klaim ini tidak didukung oleh bukti ilmiah.

Jadi, sangat disarankan untuk tidak mengonsumsi daging tenggiling. Bahaya mengonsumsi tenggiling melampaui risiko kesehatan individu dan mencakup kekhawatiran ekologis serta etis yang lebih luas. Melindungi tenggiling bukan hanya penting untuk kelangsungan hidup mereka, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan ekologi dan mencegah wabah penyakit zoonosis pada masa mendatang.

Referensi

"The Plight of the Pangolin". Eco Health Alliance. Diakses pada Januari 2025.
"Pangolin Facts: Learn about the World’s Most Trafficked Mammal". International Fund for Animal Welfare. Diakses pada Januari 2025.
"Taking Wildlife off the Menu". Pangolin Crisis Fund. Diakses pada Januari 2025.
Simo, Franklin T., dkk. 2024. "Urban wild meat and pangolin consumption across southern forested Cameroon: The limited influence of COVID‐19". People and Nature.
"Pangolin Meat Consumption Falls in Cameroon as Support for Protection Rises". WildAid. Diakses pada Januari 2025.
"Report: Understanding Urban Consumption of Pangolin Meat in Cameroon". WildAid Africa. Diakses pada Januari 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us