4 Fakta Ekidna Attenborough, Mamalia Primitif yang Sempat Menghilang

- Ekidna adalah mamalia primitif asal Papua yang berkembang biak dengan cara bertelur
- Ekidna Attenborough, atau ekidna moncong panjang Sir David, merupakan spesies ekidna terkecil dalam genusnya
- Payangko merupakan hewan pemalu dan sulit ditemukan, sehingga masih banyak informasi yang tidak diketahui tentangnya
Di kedalaman Pulau Papua, terdapat mamalia misterius yang disebut sebagai ekidna. Ekidna merupakan mamalia berduri menyerupai landak dengan moncong mirip anteater dan kaki seperti tikus tanah. Hewan ini tergolong dalam ordo Monotremata, yaitu mamalia yang berkembang biak dengan cara bertelur. Dalam ordo primitif ini, hanya tersisa ekidna dan platypus yang masih eksis hingga saat ini.
Salah satu spesies ekidna yang terdapat di Pulau Papua adalah ekidna Attenborough atau ekidna moncong panjang Sir David. Warga lokal menyebut ekidna ini dengan nama payangko. Payangko diberi nama ilmiah Zaglossus attenboroughi, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada Sir David Attenborough, seorang naturalis terkemuka asal Inggris. Mari simak fakta-fakta payangko lainnya! Let's check it out!
1. Sering disebut fosil hidup

Dilansir Animal Diversity Web, payangko merupakan ekidna terkecil dalam genusnya, hampir mirip dengan ekidna moncong pendek. Berbeda dengan ekidna lain, moncong payangko lebih lurus. Tubuhnya dilapisi oleh bulu kecoklatan yang pendek, padat, dan halus. Durinya melapisi punggung dan paling banyak terdapat di dekat bagian ekor.
Ekidna betina memiliki kantung pada perutnya untuk menyimpan telur. Setelah menetas, anak ekidna yang disebut dengan puggle akan tinggal dalam kantung induknya. Dikarenakan ekidna betina tidak memiliki puting, susu disalurkan melalui rambut pada perutnya yang kemudian dijilati oleh puggle. Dilansir dari WAWA Conservation, ekidna memiliki satu lubang yang disebut dengan kloaka. Kloaka berfungsi sebagai saluran pengeluaran sisa pencernaan, urin, dan genitalia. Ciri-ciri tersebut menjadi pertanda penting bahwa ekidna merupakan mamalia awal yang berevolusi dari reptil, sehingga ia sering disebut sebagai fosil hidup.
2. Misterius dan penyendiri

Banyak informasi yang tidak diketahui dari payangko karena hewan ini sangat sulit ditemukan. Berdasarkan laman Animal Diversity Web, masih belum diketahui hal-hal seperti jumlah populasi, perilaku, masa hidup, perilaku kawin, detail reproduksi, dan predator alami. Hal ini dikarenakan payangko sangat pemalu, lebih memilih tinggal dalam liang, dan aktif pada malam hari. Ditambah lagi, ekidna merupakan hewan soliter atau hidup menyendiri, hanya bertemu sesamanya setahun sekali saat musim kawin.
Saking misteriusnya, masyarakat setempat melibatkan ekidna dalam kegiatan kebudayaan. Untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih, mereka diperintah untuk memburu ekidna dan ikan marlin karena sulit ditemukan. Selain itu, jika ada penduduk yang melakukan kesalahan, akan dihukum dengan membayar denda atau memburu ekidna. Perburuan dilakukan menggunakan anjing-anjing terlatih yang dapat mendeteksi ekidna bahkan dalam medan sulit di Gunung Cyclops.
3. Sempat diduga musnah dari peradaban

Pada tahun 1961, seorang botanis Belanda bernama Pieter van Royen menemukan seekor ekidna moncong panjang di ketinggian 1600 m Gunung Berg Rara, Pegunungan Cylops, Papua bagian utara. Ekidna tersebut kemudian diidentifikasi sebagai spesies baru yang diberi nama Zaglossus attenboroughi. Karena hanya ditemukan satu ekor, banyak yang menganggap bahwa ekidna ini mungkin telah punah.
Dilansir EDGE, penelitian mengenai payangko dilakukan pada masyarakat sekitar Pegunungan Cyclops pada tahun 2007. Diketahui bahwa masyarakat melihat payangko dan ditemukan nose pokes atau lubang moncong payangko pada tanah. Namun, setelahnya tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan payangko dan bahkan dianggap mungkin sudah punah.
Berita mengenai payangko kembali datang dari ekspedisi yang dilakukan pada tahun 2023 lalu. Dilansir dari laman iNaturalist, ekspedisi yang dilakukan oleh peneliti dan mahasiswa Universitas Oxford di Pegunungan Cyclops berhasil mendapatkan rekaman payangko melalui kamera trail. Rekaman tersebut mengkonfirmasi bahwa payangko tidak punah selama 60 tahun belakang.
4. Kembali mendekati kepunahan

Ekidna utamanya memakan serangga tanah. Dalam menemukan makanan, ekidna menggunakan ujung moncongnya yang memiliki elektro-reseptor. Ketika moncongnya mendeteksi makanan, ekidna akan menggali tanah dengan cakarnya. Proses membolak-balikkan tanah tersebut membuat tanah menjadi gembur. Ekidna turut serta meningkatkan kualitas tanah, sehingga berdampak baik pada keanekaragaman hayati sekitar. Melansir WAWA Conservation, ekidna dapat menggali hingga 200 meter kubik tanah setiap tahunnya.
Sayangnya, payangko dan spesies ekidna moncong panjang lain mendapati berbagai ancaman. Pulau Papua tidak memiliki mamalia besar sebagai predator ekidna, ancaman justru berasal dari manusia. Berbagai aktivitas pembukaan lahan pertambangan dan pertanian menyebabkan hilangnya habitat mereka. Ekidna juga diburu untuk dikonsumsi karena rasa daging mereka yang enak.
Meskipun kembali dari dugaan kepunahan, payangko masih rentan terhadap kepunahan. Populasi mamalia primitif ini terus menurun dan termasuk dalam daftar terancam punah (critically endangered) pada IUCN Red List. Saat ini, payangko belum termasuk dalam hewan yang dilindungi. Berbagai upaya dilakukan oleh berbagai komunitas untuk menjaga populasi ekidna, mulai dari sosialisasi hingga menyediakan zona konservasi larangan berburu ekidna. Yuk, kita ikut sosialisasikan pentingnya menjaga kelestarian ekidna!