Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi lukisan seorang ahli bedah mengikat lengan wanita dengan perban setelah melakukan buang darah. (commons.wikimedia.org/Jacob Toorenvliet)

Dokter Yunani bernama Hippokrates dari sekolah kedokteran Kos hidup dari tahun 460 SM sampai 375 SM. Hippokrates mendapat pujian sebagai salah satu orang pertama yang melihat penyakit dengan cara ilmiah daripada supernatural. Dia berpendapat bahwa menyembuhkan penyakit membutuhkan perawatan yang tepat bukan dengan cara pengabdian kepada para dewa.

Hippokrates mengabdikan hidupnya untuk menciptakan sekolah kedokteran intelektual pertama, dan ia mendapatkan julukan "Bapak Kedokteran". Hippokrates dan murid-muridnya menghasilkan 60 dokumen medis yang masih dipertahankan sampai sekarang dan disatukan oleh konsep "pikiran yang sehat ada dalam tubuh yang sehat".

Hippokrates menduga bahwa penyakit terjadi dalam empat elemen dasar: udara, tanah, air, dan api. Hippokrates dan murid-muridnya mengaitkannya dengan empat humor pada manusia: dahak, empedu hitam, empedu kuning, dan darah. Dengan kata lain, penyakit berasal karena terlalu banyak hal buruk yang berhubungan dengan ketidakseimbangan humor.

Untuk memperbaikinya, dibutuhkan beberapa pilihan pengobatan yang sangat tidak menyenangkan, seperti pembersihan, katarsis, diuresis, dan buang darah (veneseksi). Akan tetapi, proses mengeluarkan darah sebagai pengobatan utama, tidak diyakini betul sampai seorang tokoh medis abad pertama bernama Galenus dari Pergamon hadir. Ia menyimpulkan bahwa darah adalah penyebab dari 99 persen penyakit. Segera, semua orang mempercayainya. Mari kita menjelajahi sejarah buang darah (bloodletting).

1. Buang darah sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu

relief yang menggambarkan peralatan kedokteran di kuil Kom Ombo, Mesir kuno (commons.wikimedia.org/Olaf Tausch)

Sebagaimana yang dirinci British Columbia Medical Journal, orang Mesir kuno pertama kali mendokumentasikan buang darah (veneseksi) kira-kira tiga ribu tahun yang lalu. Segera, semua orang dari Yunani, Romawi, hingga Arab dan beberapa kelompok Asia melakukan praktik yang sama untuk penyembuhan. Salah satu praktik medis tertua dan paling universal di dunia, buang darah dilakukan bagi mereka yang terkena demam atau migrain.

Praktik ini berlanjut sepanjang Abad Pertengahan dan seterusnya, tetapi selama abad ke-19, parktik ini mulai dipertanyakan khasiatnya. Meskipun begitu, buku seperti Theory and Practice of Bloodletting karya Heinrich Stern masih mendukung praktik tersebut hingga awal abad ke-20. Praktik tersebut berlanjut hingga hari ini untuk mengobati beberapa penyakit tertentu.

2. Macam-macam veneseksi

ilustrasi buang darah yang bisa dilakukan di titik tubuh tertentu (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Teknik buang darah bervariasi tergantung pada apa yang ingin dicapai dokter secara terapeutik. Selain manusia, hewan juga bisa dilakukan tindakan veneseksi. Buang darah biasanya dengan pengeluaran darah dari vena atau arteri besar (biasanya vena kubital median). Tujuan dari "general bloodletting" ini sederhana, yakni mengurangi jumlah keseluruhan darah dalam tubuh.

Adapun "local bloodletting," itu bergantung pada berbagai metode untuk mencapai efek yang diinginkan. Misalnya, seorang dokter mungkin menggunakan bekam, lintah, atau skarifikasi untuk menginduksi pengurangan darah ke bagian tubuh tertentu.

British Columbia Journal of Medicine menjelaskan bahwa skarifikasi dilakukan dengan mengikis kulit pasien dengan kotak kuningan yang di dalamnya ada banyak pisau kecil. Adapun lintah, adalah prosedur yang mengandalkan lintah untuk menghisap darah dan melahap darah yang tidak diinginkan dari tubuh. Bekam menggunakan cangkir berbentuk kubah yang diletakkan di kulit untuk menghisap darah melalui pori-pori kulit. Setelah cangkir ditempatkan, dokter melakukan penyedotan melalui panas atau penghilangan udara vakum.

3. Buang darah dilakukan pendeta hingga tukang cukur

ilustrasi buang darah di toko tukang cukur yang sekaligus dokter (commons.wikimedia.org/Egbert van Heemskerk)

Selama Abad Pertengahan, dokter mengandalkan veneseksi untuk mengobati segala macam penyakit mulai dari epilepsi hingga wabah, tulis History. Hingga abad ke-12, orang sakit akan mengunjungi biarawan atau pendeta di lingkungan mereka untuk prosedur semacam itu. Akan tetapi, pada tahun 1163, gereja melarang praktik tersebut karena dianggap "menjijikkan".

Segera, tukang cukur mengambil alih pengobatan ini. Mereka menawarkan pencukuran dan pemotongan, hingga pencabutan gigi, pendarahan, bekam, dan bahkan amputasi. Ahli bedah pangkas rambut ini juga menggantung kain merah dan putih yang berlumuran darah di luar untuk mengiklankan layanan mereka. Nah, warna ini akhirnya menjadi simbol tukang cukur dengan garis-garis merah dan putihnya.

Tukang cukur-ahli bedah ini mempertahankan peran sentral dalam buang darah selama berabad-abad lamanya, bahkan ketika dokter merekomendasikan prosedur tersebut. Dokter sering merekomendasikan pasien mereka ke tukang cukur-ahli bedah untuk melakukan prosedur buang darah. Beberapa dokter dan tukang cukur-ahli bedah bahkan menganjurkan buang darah untuk mencegah penyakit. Nah, pemisahan dokter dan tukang cukur-ahli bedah ini adalah salah satu perbedaan paling kritis yang diterapkan dalam kedokteran saat ini, yaitu dokter versus ahli bedah.

4. Alat-alat yang diperlukan untuk buang darah

alat-alat medis kuno untuk buang darah (commons.wikimedia.org/Ciacho5)

Dokter yang melakukan praktik buang darah akan membawa berbagai alat di tas mereka. Alat-alat ini seperti lanset, fleam (alat genggam untuk buang darah), kaca berbentuk kubah untuk bekam, kotak kuningan kecil berisi pisau untuk skarifikasi, dan lintah. Lanset pada masa itu adalah wadah kulit penyu atau gading. Alat bermata dua ini memiliki titik tajam untuk mengiris vena dengan mudah.

Dokter biasanya menargetkan vena luar, yang dapat ditemukan di leher atau lengan bawah. Akan tetapi, dalam kasus yang paling menakutkan, dokter mempraktikkan arteriotomi, di mana mereka membuka dinding arteri pasien, dan lanset ibu jari terbukti sangat membantu dalam situasi ini. Begitu pula dengan fleam, set bilah dalam berbagai ukuran.

Selain skarifikasi dan bekam, ada juga lintah. Lintah Hirudo medicinalis adalah pilihan terbaik, karena mampu menghisap sekitar 10 kali berat badan (antara 5 sampai 10 mililiter) darah. Pada abad ke-18, inovasi dalam alat-alat ini (misalnya, scarificator dan lanset) membuat buang darah sedikit tidak menyiksa.

5. Pertumpahan darah yang dilakukan oleh penduduk Mesoamerika

relief ritual pertumpahan darah suku Maya (commons.wikimedia.org/British Museum/Unknown artist)

Sebelum Christopher Columbus mendatangi Dunia Baru, suku Maya sudah mempraktikkan pertumpahan darah. Ritualnya berupa menusuk bibir, lidah, alat kelamin, dan apa pun yang bisa ditusuk oleh alat batu tajam. Semakin parah rasa sakit dan kehilangan darah, semakin berarti pengorbanannya.

Namun, ritual pertumpahan darah ini tidak hanya menekankan semangat religius, tetapi juga menyediakan kohesi dalam masyarakat Maya. Oleh sebab itu, pertumpahan darah merembes ke setiap lapisan masyarakat, dari pendeta elit hingga prajurit biasa. Ikonografi Maya bahkan menggambarkan laki-laki dari semua lapisan masyarakat yang menusuk bagian tubuh mereka, terutama lidah, telinga, pipi, dan penis. Selain menggunakan peralatan batu tajam, kodeks Maya menggambarkan berbagai alat seperti penusuk dari tulang, duri ikan pari, dan lanset.

Catatan etnohistoris dari saksi mata seperti Diego de Landa juga memberikan detail informasinya. "Kadang-kadang mereka melukai bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka, di lain waktu mereka menusuk lidah mereka dengan arah miring dari satu sisi ke sisi lain dan memasukkan potongan-potongan jerami melalui lubang dengan penderitaan yang mengerikan, yang lain menggorok bagian berlebihan dari alat kelaminnya hingga meninggalkan bekas seperti yang mereka lakukan di telinga mereka."

6. Dokter Paris yang mempopulerkan lintah untuk buang darah

potret lukisan Francois Joseph Victor Broussais (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Prancis sendiri menawarkan prosedur yang lebih lembut untuk buang darah, yakni lintah. Dokter Paris bernama François-Joseph-Victor Broussais membuat Hirudo medicinalis (lintah medis) menjadi populer untuk mengobati berbagai penyakit. Segera, dia pun mendapatkan gelar "le vampire de la médecine" karena antusiasmenya dalam prosedur buang darah melalui lintah.

Broussais menggunakan 50 lintah sekaligus untuk buang darah pasiennya, dan masing-masing dapat menghilangkan antara 5 hingga 10 mililiter darah per perawatan. Pada tahun 1830-an, 35 juta lintah digunakan untuk kebutuhan pengambilan darah penduduk Prancis. Protokol perawatan khas Broussais adalah menempatkan 30 lintah di tubuh dan meminta pasiennya untuk berpuasa, tulis buku Those Amazing Leeches oleh Cheryl Halton.

Arthur Everett Shipley, seorang ahli zoologi Inggris, juga menerapkan lintah medis untuk buang darah. Lintah menjadi alternatif yang disambut baik, khususnya, karena lintah terbukti tidak terlalu traumatis dibandingkan ahli bedah-tukang cukur yang melakukan prosedur yang lebih menyakitkan. Selain itu, bekas luka dari lintah sangat minim.

7. Munculnya teori kuman

ilustrasi lukisan praktik kedokteran abad 18 sampai 19 (commons.wikimedia.org/Veloso Salgado)

Mendobrak paradigma medis selama 3.000 tahun bukanlah hal yang mudah, terutama ketika ada beberapa penyakit yang dapat disembuhkan dengan buang darah. Namun demikian, sejak abad ke-18, segelintir ilmuwan dan dokter mulai menentang buang darah. Dokter-dokter ini seperti René Laennec, penemu stetoskop dan Dr. Chopin.

Sementara itu, Dr. Pierre Charles Alexandre Louise, adalah orang pertama yang menyajikan bukti statistik bahwa buang darah (bloodletting) tidak efektif dan bahkan proses pengeluaran darahnya dianggap sangat berbahaya. Pendekatan inovatifnya terhadap dunia kedokteran inilah yang membuat Louise dianggap sebagai "bapak epidemiologi modern", tulis Journal of Lancaster General Hospital.

Namun, perdebatan mengenai topik ini terus berlanjut sepanjang abad ke-19, karena banyak orang yang terus berjatuhan akibat praktik buang darah tersebut. Untungnya, Louis Pasteur dan Robert Koch mulai menghentikan praktik menyakitkan ini dengan teori kuman mereka. Paradigma baru tentang penyakit ini membuat konsep humoral menjadi usang, dan jutaan orang tidak lagi tertarik dengan praktik buang darah. Meskipun praktik ini masih berlanjut hingga abad ke-20.

8. Praktik buang darah saat ini

ilustrasi pengobatan dengan lintah (pixabay.com/Ellen)

Meskipun buang darah langka saat ini, beberapa aplikasi penting untuk terapi ini masih ada. Misalnya, dokter mengobati hemokromatosis dan porfiria kutanea tarda dengan veneseksi. Jika tidak diobati, kondisi ini bisa menyebabkan kerusakan organ akibat terlalu banyak zat besi dalam tubuh. Akan tetapi, pengeluaran darah secara teratur dengan prosedur yang benar terbukti berhasil. Ini juga mengurangi ketebalan darah, mencegah komplikasi pembekuan.

Buang darah yang masih populer dan paling banyak digunakan hingga hari ini adalah lintah dan bekam. Leeching (buang darah dengan lintah) masih digunakan karena lintah membuat zat seperti fibrinase, vasodilator, antikoagulan, dan hyaluronidase, lalu melepaskannya ke sistem tubuh pasien. Bahan kimia yang terjadi secara alami ini memberikan manfaat penyembuhan dari aliran darah yang tidak terbatas. Hirudo medicinalis juga terbukti menjadi kolaborator yang sangat baik dalam proses penyembuhan pasca operasi plastik.

Bekam basah dan kering juga mengalami kebangkitan kembali di Indonesia karena pengaruh pengobatan tradisional Tiongkok. Namun, tidak seperti lintah, data tentang keefektifan bekam terbukti sedikit. Untungnya, praktik buang darah yang lebih parah, seperti meretas pembuluh darah leher atau menguras separuh cairan tubuh seseorang telah menghilang seiring dengan penggunaan emetik, enema, dan plester.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team