Jemparingan, Panahan Tradisional yang Digemari Anak-Anak dan Remaja
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jemparingan merupakan jenis olahraga tradisional yang menggunakan alat busur dan panah. Panahan tradisional ini berasal dari Yogyakarta. Saat ini, telah bernaung di bawah Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (KORMI).
Jemparingan berasal dari kata jemparing yang berarti 'anak panah'. Jemparingan adalah salah satu warisan budaya leluhur yang perlu dilestarikan, terutama oleh generasi muda, sehingga warisan-warisan leluhur yang adiluhung ini tidak punah dimakan waktu.
1. Berawal dari Kesultanan Yogyakarta
Menurut Anak Agung Anom Giri, tokoh sekaligus pelatih panahan tradisional di Bali, jemparingan ini berawal dari raja pertama Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang menginginkan prajurit kerajaannya belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria. Seiring waktu, seni memanah ini sering dimainkan banyak orang dari kalangan rakyat biasa.
Karena berasal dari Kesultanan Yogyakarta, jemparingan dikenal juga dengan sebutan panahan tradisional gaya Mataram Ngayogyakarta. Seni memanah ini memiliki keunikan tersendiri dari olahraga panahan modern.
2. Menggunakan busur dari bahan kayu atau bambu
Jemparingan ini memiliki perbedaan dengan panahan modern, di mana salah satunya adalah busur panah terbuat dari bambu atau kayu. Karena menggunakan kayu, otomatis busur akan memiliki berat yang lebih berat dari panahan modern yang menggunakan bahan aluminium atau logam ringan.
"Busur panahan tradisional ini tidak menggunakan keker yang biasanya digunakan dalam membidik sasaran. Dalam membidik sasaran benar-benar menggunakan perasaan dan konsentrasi," terang pria yang akrab disapa Ajik Anom ini. Lebih lanjut, Ajik Anom menuturkan kalau busur yang digunakan dalam jemparingan sering disebut gandewa.
Baca Juga: Sunnah Rasul, Ini 5 Manfaat Belajar Panahan untuk Si Buah Hati
3. Menggunakan sasaran yang diberi nama bandulan
Editor’s picks
Jemparingan menggunakan sasaran yang disebut wong-wongan atau bandulan yang berbentuk silinder tegak dengan tinggi kurang lebih 30 cm dan memiliki diameter 3 cm. Dinamakan wong-wongan atau bandulan karena dibuat mirip seperti manusia.
Bandulan terdiri dari tiga bagian. Bagian kepala untuk bagian atas memiliki tinggi sekitar 5 cm dan diberi warna merah. Bagian badan diberi warna putih. Sementara, bagian leher yang berada di antara badan dan kepala, dengan tinggi kurang lebih 1 cm, diberi warna kuning. Masing-masing bagian tersebut memiliki nilai yang telah disepakati saat perlombaan atau pertandingan.
Pada bagian bawah bandulan terdapat bola kecil, di mana pemanah yang mengenai bola tersebut akan mendapatkan pengurangan nilai. Sementara, di bagian atasnya terdapat lonceng kecil yang akan berbunyi jika anak panah mengenai bandulan.
4. Memanah dalam posisi duduk dan menggunakan pakaian tradisional
Ajik Anom menjelaskan, yang membuat jemparingan unik dan menarik adalah posisi memanah dan pakaian yang digunakan saat mengikuti olahraga tradisional ini. Jika panahan modern memanah dengan posisi berdiri, maka panahan tradisional ini memanah dengan posisi duduk. Laki-laki menggunakan posisi bersila, sedangkan perempuan menggunakan posisi bersimpuh.
"Memanah dalam posisi duduk ini tidaklah gampang karena membuat kaki sakit karena menahan beban tubuh si pemanah," ujar Ajik Anom disela-sela melatih di klub Jepun Bali, klub panahan miliknya di bilangan Denpasar.
Para pemanah menggunakan pakaian tradisional saat memanah, baik saat latihan maupun bertanding. "Di klub saya, saat latihan, menggunakan pakaian tradisional Bali sederhana atau sering disebut dengan pakaian adat ringan. Sedangkan, saat pertandingan, kami menggunakan pakaian tradisional Bali dengan kostum yang kami rancang sendiri dengan corak warna merah, putih dan hitam," ujar pria yang juga sebagai pelukis ini.
5. Digemari anak-anak dan remaja untuk melatih konsentrasi dan melestarikan budaya
Olahraga memanah, baik tradisional maupun modern, sama-sama melatih dan meningkatkan konsentrasi. Hal ini yang membuat anak-anak dan remaja, terutama di Bali, mulai menyukai panahan tradisional atau jemparingan ini. Ajik Anom menceritakan bahwa beberapa anak-anak di klubnya setelah rutin melakukan olahraga ini menjadi lebih fokus, baik dalam pelajaran maupun dalam kegiatan lainnya.
Menurut penuturan Ajik Anom, selain melatih konsentrasi, ada beberapa anak, terutama yang sudah remaja, datang ke klubnya karena keinginannya untuk melestarikan budaya. "Anak-anak itu cerita kalau mereka memiliki keinginan untuk melestarikan budaya, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan seni, seperti menari atau menabuh gamelan. Ya, mereka dengar ada panahan tradisional, mereka langsung berkeinginan untuk bergabung," ujar Ajik Anom yang saat ini sedang mempersiapkan atlet jemparingan-nya berlaga di Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (Fornas 2021) yang akan digelar Juli 2022 mendatang di Sumatera Selatan.
Ajik Anom berharap agar jemparingan ini makin dikenal dan makin banyak anak-anak serta remaja menekuni olahraga tradisional yang sarat akan filosofi. Makin banyak anak-anak dan remaja yang menggemarinya, otomatis warisan budaya leluhur ini tidak akan punah, bahkan bisa berkembang. Mereka juga akan mampu berprestasi untuk mengharumkan nama daerahnya.
Baca Juga: 10 Potret Diananda Choirunisa, Atlet Panahan Indonesia Curi Perhatian
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.