Benarkah Henti Jantung Jadi Momok bagi Para Atlet?

Mari cek faktanya lewat beberapa studi terkait

Kasus cardiac arrest atau henti jantung merupakan salah satu kondisi kritis yang paling sering ditemukan dalam sebuah pertandingan olahraga. Masih jelas di ingatan, kasus henti jantung pesepak bola Spanyol, Antonio Puerta, yang berakhir tragis, Christian Eriksen dan Fabrice Muamba yang kolaps di tengah pertandingan, hingga yang terbaru, kematian Raphael Dwamena. 

Itu belum termasuk kasus serupa dari cabang olahraga lain, seperti atlet sepak bola amerika di NFL, Damar Hamlin, hingga pebasket Larry Bird dan Bronny James, serta kasus lain yang tak bisa disebut satu per satu. Mengapa kasus henti jantung cukup sering menyerang atlet? Benarkah risiko henti jantung lebih tinggi di antara para atlet? Mari simak beberapa fakta dan studinya!

1. Henti jantung berbeda dengan serangan jantung

Benarkah Henti Jantung Jadi Momok bagi Para Atlet?Fabrice Muamba (kiri) terpaksa pensiun dini karena kasus henti jantung. (instagram.com/fmuamba6)

Henti jantung (cardiac arrest) tidak sama dengan serangan jantung (heart attack). Dilansir organisasi American Heart Association (AHA), serangan jantung dipicu oleh terblokirnya arteri yang jadi jalur utama aliran darah menuju jantung. Dampak dan gejalanya biasanya tidak langsung terasa, tetapi baru akan mengalami pemburukan setelah beberapa waktu. Ini ditandai dengan rasa sakit di bagian dada sebelah kiri. Pada kasus serangan jantung, organ jantung masih berfungsi. 

Berbeda dengan kasus henti jantung, di mana gejala dan dampaknya terjadi tiba-tiba tanpa aba-aba. Ia ditandai dengan berhentinya kerja jantung sehingga menyebabkan tubuh tidak bisa berfungsi dengan normal. Itulah yang kemudian menyebabkan penderitanya seketika kolaps (tak sadarkan diri) dan tak memiliki denyut nadi. Kondisi ini masuk kategori darurat dan tiap detiknya sangat menentukan. Pengidapnya bisa kehilangan nyawa dalam beberapa menit saja.

2. Trauma karena benturan di dada

Benarkah Henti Jantung Jadi Momok bagi Para Atlet?Damar Hamlin berpose pada latihan perdananya setelah mengalami henti jantung. (instagram.com/d.ham3)

AHA menyebut, ada beberapa penyebab henti jantung, antara lain penebalan otot jantung (cardiomyopathy), gagal jantung, dan ritme jantung yang tidak normal (arrhythmia). Detak jantung abnormal lebih lanjut bisa dibedakan dalam dua tipe lagi, yakni ventricular fibrillation dan long Q-T syndrome. Merujuk riset Maron dan Estes dalam publikasi ilmiah mereka berjudul "Commotio Cordis Returns…When We Least Expected It: Cardiac Arrest in A Professional Football Player" dalam The American Journal of Cardiology, salah satu penyebab henti jantung yang paling sering terjadi di pertandingan olahraga adalah commotio cordis (CC).

CC adalah kondisi ventricular fibrilation yang dipicu oleh trauma di dada karena benturan fisik. Benturan yang dimaksud bisa berupa kontak dengan bola berisi udara, properti olahraga seperti helm, tiang, serta organ tubuh lawan macam lengan, lutut, bahu dan lain sebagainya. Maron dan Estes yang menggunakan Damar Hamlin sebagai subjek riset mereka menambahkan faktor tambahan yang memperbesar risiko henti jantung pada atlet, yakni bentuk dan kondisi toraks (rongga dada). Makin muda usia seseorang, toraks relatif lebih tipis dan rawan, sehingga memperbesar risiko kejadian henti jantung.

Baca Juga: Kemalangan Aguero pada 2021, Gagal Juara UCL hingga Pensiun Dini

3. Faktor genetik dan gender turut berperan

Benarkah Henti Jantung Jadi Momok bagi Para Atlet?Putra pebasket LeBron James, Bronny, pernah mengalami henti jantung yang disebabkan kelainan struktur jantung. (instagram.com/bronny)

Temuan menarik lain juga ditemukan dalam riset yang ditulis Bassi dkk berjudul "Sudden Cardiac Arrest in Basketball and Soccer Stadiums, the Role of Automated External Defibrillators: A Review" dalam jurnal Arrhythm Electrophysiol Review. Spesifik dalam pertandingan sepak bola dan bola basket, mayoritas penyebab henti jantung adalah kondisi struktur jantung yang abnormal. Misalnya saja hypertrophic cardiomyopathy (penebalan dinding bilik jantung sebelah kiri), bicuspid aortic valve (hanya punya dua katup jantung yang normalnya tiga), dilated cardiomyopathy (pembesaran bilik jantung yang menyebabkan jantung kesulitan berkontraksi), dan lain sebagainya.

Artinya, ada faktor genetik alias bawaan lahir yang berperan dalam peningkatan risiko henti jantung. Studi tersebut bahkan secara spesifik menemukan bahwa ras ikut berpengaruh dalam peningkatan risiko. Sejauh ini, studi secara global menemukan bahwa atlet ras kulit hitam (keturunan Afrika) memiliki risiko paling tinggi mengalami henti jantung. Atlet asal Amerika Selatan dan Afrika pula yang punya angka selamat terendah.

Dari segi gender, menurut simpulan riset Weizman dkk yang dipublikasikan Journal of the American College of Cardiology, atlet laki-laki lebih rentan mengalami henti jantung ketimbang perempuan. Meski begitu, riset tersebut menggunakan sampel terbatas, yakni populasi atlet di kawasan Uni Eropa. Mereka juga belum bisa menemukan penjelasan patofisiologi (mekanisme terbentuknya sebuah penyakit) mengenai tendensi tersebut.

4. Intensitas aktivitas fisik punya andil meningkatkan risiko henti jantung

Benarkah Henti Jantung Jadi Momok bagi Para Atlet?Atlet laki-laki berusia muda berisiko lebih tinggi mengalami henti jantung. (instagram.com/england)

Studi juga menemukan pemicu lain, yakni intensitas aktivitas fisik. Aktivitas fisik meningkatkan hormon adrenalin yang bisa memicu terjadinya abnormalitas ritme jantung. Lebih spesifik, publikasi American College of Cardiology menyebut bahwa ada satu kondisi bernama myocarditis di antara atlet yang mengalami henti jantung. Kondisi klinis tersebut merujuk kepada inflamasi otot jantung yang menyebabkan arrhythmia. 

Myocarditis biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau kondisi klinis autoimun akan memburuk bila dibarengi dengan aktivitas fisik. Itulah mengapa dokter menyarankan atlet untuk rehat dari sesi latihan dan aktivitas fisik yang berat saat berada dalam kondisi terpapar virus. Ini termasuk virus influenza dan COVID-19. 

Tak terkecuali atlet, kasus henti jantung sebenarnya bisa terjadi kepada siapa saja. Apalagi, ia punya kaitan erat dengan serangan jantung yang dipengaruhi gaya hidup dan faktor genetik. Namun, harus diakui atlet memiliki risiko lebih tinggi karena dua faktor lain, yakni intensitas aktivitas fisik dan eksposur terhadap benturan.

Baca Juga: Lika-liku Karier Christian Eriksen, Sakit Jantung hingga Comeback

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya