Kesuksesan Prancis menjuarai Piala Dunia 2018 menegaskan bahwa mereka layak dikenang dalam sejarah. Hugo Lloris, Antoine Griezmann, N'Golo Kante, Samuel Umtiti, Paul Pogba, Kylian Mbappe hingga Olivier Giroud punya kisahnya masing-masing.
Namun, ada pula beberapa legenda Les Blues yang tak seberuntung mereka. Pencapaian terbaik di level klub nyatanya enggan berbanding lurus dengan kisah di Piala Dunia. Berikut ini profil singkat keenam sosok tersebut.
Pemain paling cemerlang milik Prancis era 1950-an. Berposisi sebagai gelandang, serangan selalu berasal dari kakinya. Umpan-umpan nan memanjakan diberi untuk sang striker Just Fontaine, dilansir dari Theguardian.com.
Kopa juga kerap menggiring bola ke daerah pertahanan tim lawan, sesuatu yang diakui salah satu legenda Real Madrid tersebut sebagai "sebuah hobi".
Meskipun begitu dirinya tetap tak lupa untuk mencetak gol. Tercatat 18 kali sosok keturunan Polandia ini menyarangkan bola dari 45 caps bersama timnas. Sang "Napoleon Kecil" hanya tampil satu kali di ajang besar yakni Piala Dunia 1958.
Disebut sebagai salah satu gelandang terbaik dunia dekade 1980-an. Dibekali kemampuan bertahan dan menyerang yang sama bagusnya. Kuartet Tigana - Michel Platini - Alain Girasse - Luiz Fernandez jadi "permata" paling ditakuti oleh seluruh benua biru.
Mobilitas Tigana jadi salah satu kunci keberhasilan Prancis menembus babak semi final Piala Dunia 1982 dan 1986.
Sebelum dunia mengenal Zidane, Michel Platini adalah seorang panutan. Lincah, serba bisa, elegan, cerdas, lihai membaca permainan, punya eksekusi bola mati mematikan, kontrol bola mumpuni, teknik individu ciamik, kemampuan passing akurat dan banyak lagi. Tak salah jika media-media Prancis memberi julukan "Le Roi" alias Sang Raja.
Jadi bagian dari "Kuartet Penyihir" milik Prancis dekade 1980-an, dua kali runner-up menjadi prestasi maksimal legenda Juventus tersebut selain gelar juara Piala Eropa 1984.
Eric Cantona adalah sosok gelandang bertubuh kekar, pekerja keras, gigih dalam mencari peluang, menggabungkan teknis dan kreativitas. Kerap dianggap sebagai bagian penting dari kebangkitan Manchester United di dekade 1990-an.
Sosok yang kini lebih dikenal "artis Instagram" tersebut tak mampu bersinar di level timnas. Hukuman serta perang dingin dengan pelatih membuat kariernya mandek jika berurusan dengan seragam biru.
Kemampuan mumpuni sebagai pemain sayap di level klub nyatanya tak berpengaruh di karir timnas. David Ginola hanya tampil sebanyak 17 kali dari kurun waktu 1990-1995. Bahkan kegagalan Prancis lolos ke putaran final 1994 ditimpakan kepadanya.
Ketika Aime Jacquet mengambil alih posisi pelatih, pemain yang bersinar saat merantau di Liga Inggris tersebut hanya menjadi cadangan, dilansir dari Goal.com.
Winger yang beroperasi di kiri lapangan meski kanan adalah kaki terkuatnya. Dikenal sebagai pemain lincah, energi melimpah, serta umpan-umpan akurat. Ribery jarang kehilangan bola serta dibekali seribu macam tipu daya untuk melewati pemain lawan.
Tampil sebanyak dua kali untuk Prancis. Menyabet predikat runner-up pada 2006, sayang nasibnya berbalik 180 derajat empat tahun berselang, dilansir dari Espnfc.com. Perang dingin antara seluruh pemain dengan sang pelatih berujung pada kegagalan Patrice Evra dan kawan-kawan lolos dari fase penyisihan grup.