Piala Asia dan Afrika yang Merongrong Klub Eropa
Piala Asia dan Afrika merepotkan klub Eropa
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Dalam waktu dekat, dua turnamen antar negara yang besar akan dihelat secara bersamaan. Ada Piala Asia 2023 yang akan dihelat di Qatar, serta Piala Afrika 2023 yang bakal digelar di Pantai Gading.
Kedua turnamen yang ditunggu bagi para pemain Asia dan Afrika, terutama mereka yang main di kompetisi lokal. Main di Piala Asia dan Afrika bisa jadi cara mereka memperkenalkan diri kepada dunia.
Tapi, Piala Asia dan Afrika ini jadi sesuatu yang ditakuti klub-klub Eropa. Mereka merongrong dengan cara menggelar turnamen di momen ketika para pemain tengah berada dalam peak performance di level klub, yaitu pertengahan kompetisi.
1. Perubahan tradisi Piala Asia sejak 2011
Pada 2007, Piala Asia masih normal-normal saja. Kala itu, dengan Thailand, Vietnam, dan Indonesia, sebagai tuan rumah bersama, turnamen ini masih dihelat pada libur musim panas, yaitu Juli 2007. Memasuki 2011, mulai terjadi pergeseran tren.
Dikarenakan digelar di Qatar, Piala Asia 2011 harus dimajukan ke Januari, untuk menghindari musim panas. Siapa sangka, tradisi itu berlanjut. Piala Asia 2015 di Australia, kembali digelar pada Januari.
Pun dengan Piala Asia 2019 di Uni Emirat Arab, dengan alasan yang sama seperti Qatar, digelar pada Januari. Khusus 2023, sejatinya sempat ada rencana Piala Asia dihelat pada musim panas kembali, yaitu di China.
Tapi, buntut dari pandemik COVID-19, AFC mencoret China sebagai tuan rumah. Bidding diadakan kembali, dan Qatar menjadi pemenang. Hasilnya sama seperti 2011 lalu, Piala Asia kembali dipindah ke Januari. Tren baru benar-benar tercipta.
Baca Juga: Alasan Jay Idzes Gak Bisa Ukir Debut di Piala Asia 2023