Analisis El Clasico Real Madrid vs Barcelona Jilid I LaLiga 2025/2026

- Kemenangan Real Madrid menegaskan kematangan taktik Xabi Alonso
- Barcelona mendominasi penguasaan bola, tetapi gagal tampil efisien
- Vinicius Junior dan Lamine Yamal jadi sorotan utama panasnya El Clasico Jilid I 2025/2026
Real Madrid menutup El Clasico jilid pertama LaLiga Spanyol 2025/2026 dengan kemenangan penuh makna di Santiago Bernabeu. Gol dari Kylian Mbappe dan Jude Bellingham memastikan Los Blancos menang 2–1 atas FC Barcelona yang hanya mampu membalas lewat Fermin Lopez. Kemenangan ini memperlebar jarak lima poin di puncak klasemen sementara sekaligus memutus rentetan kekalahan Madrid dalam empat edisi El Clasico sebelumnya.
Pertandingan yang berlangsung hingga 105 menit itu menyajikan semua elemen khas El Clasico, dari drama, kontroversi, dan ketegangan di dalam maupun di luar lapangan. Sejak menit awal, tensi meningkat akibat keputusan VAR, duel taktis antara dua pelatih dengan filosofi berbeda, hingga emosi yang meluap pada menit-menit akhir. Di tengah panasnya laga, Jude Bellingham menjadi satu nama yang kembali muncul sebagai simbol kebangkitan Real Madrid.
1. Kemenangan Real Madrid atas Barcelona menegaskan kematangan taktik Xabi Alonso
Jude Bellingham tampil sebagai pusat permainan Real Madrid setelah pulih dari cedera bahu yang membuatnya absen beberapa pekan. Dalam laga ini, ia mencatatkan 1 assist untuk gol pembuka Kylian Mbappe dan 1 gol penentu kemenangan, serta memenangi penalti meskipun gagal dieksekusi. Pemain asal Inggris itu memperlihatkan kembali kombinasi khasnya dengan agresi yang terukur, kontrol ruang yang efisien, dan kemampuan membaca arah permainan.
Di bawah Pelatih Xabi Alonso, peran Bellingham mengalami transformasi signifikan. Ia tidak lagi hanya menjadi gelandang serang murni seperti era Carlo Ancelotti, tetapi juga bergerak lebih dalam di sisi kanan untuk membantu fase transisi dan menekan zona tengah. Alonso menerapkan sistem berbasis posisi yang menekankan pressing tinggi dan reaksi cepat setelah kehilangan bola, sebuah pembaruan dari pendekatan laissez-faire musim lalu.
Kombinasi Mbappe–Bellingham menjadi sumbu utama permainan Los Blancos. Mbappe mengancam dengan pergerakan vertikal dan eksplosif di belakang garis pertahanan, sementara Bellingham mengatur ritme serta memecah tekanan melalui progresi umpan terukur. Gol pertama Madrid lahir dari skema tersebut, ketika Bellingham memutar tubuh menjauhi Pedri Gonzalez dan mengirimkan umpan presisi yang sukses diselesaikan Mbappe.
Dalam konteks ini, kemenangan 2-1 atas Barcelona menjadi hasil yang menegaskan kematangan sistem Alonso. Real Madrid tampil lebih cair dalam struktur, mampu menekan lawan di sepertiga akhir, tetapi tetap menjaga keseimbangan dengan dua lini bertahan yang hanya berjarak 5–10 meter. Gaya main itu membuat Barcelona kehilangan kendali ritme dan membuka ruang serangan balik cepat. Alonso, dalam debutnya di El Clasico sebagai pelatih, berhasil menunjukkan timnya kini memiliki identitas baru yang agresif dan terukur.
2. Meski Barcelona mendominasi penguasaan bola, tetapi mereka gagal tampil efisien
FC Barcelona membuka laga dengan kehilangan fokus sejak menit awal. Dua keputusan VAR pada babak pertama mengguncang mental tim. Ini bermula dari penalti untuk Real Madrid yang dibatalkan karena Vinicius Junior ternyata lebih dulu melakukan pelanggaran kepada Lamine Yamal, serta gol spektakuler Kylian Mbappe yang dianulir akibat posisi offside yang sangat tipis. Dalam waktu singkat, keunggulan psikologis berbalik arah, dan pemain-pemain muda Blaugrana tampak kehilangan ketenangan.
Pelatih Hansi Flick mencoba memainkan sistem pressing tinggi berbasis build-up cepat dari lini belakang, tetapi upaya itu justru menjadi bumerang. Meski Madrid berhasil melakukan tekanan simultan dari lini tengah yang dipimpin Jude Bellingham dan Eduardo Camavinga, tetapi kesalahan Arda Guler yang kehilangan bola di area sendiri malah berujung kepada gol penyama dari Fermin Lopez hasil umpan Marcus Rashford. Rashford memang menjadi titik terang tunggal dengan menorehkan assist ketujuhnya musim ini, tetapi itu tidak cukup mengangkat tim yang tampak kehilangan arah.
Statistik The Guardian mencatat, Barcelona menguasai 66 persen penguasaan bola, tetapi dominasi itu bersifat semu. Madrid lebih efisien dalam transisi vertikal dan menciptakan peluang dengan kualitas tinggi, termasuk penalti pada awal babak kedua yang gagal dimanfaatkan Mbappe setelah diselamatkan Wojciech Szczesny. Flick, yang menyaksikan pertandingan dari tribun karena skorsing, tak mampu mengoreksi struktur timnya yang rapuh terhadap serangan balik.
Ketika Real Madrid menurunkan tempo pada 20 menit terakhir, Barcelona justru kehilangan energi dan arah permainan. Pedri, yang diharapkan menjadi jenderal lini tengah, tampil di bawah performa sebelum diganjar kartu merah pada menit ke-99 akibat pelanggaran terhadap Aurelion Tchouameni. Pengusiran itu menandaskan keruntuhan disiplin taktis Blaugrana di bawah tekanan. Lebih dari sekadar kekalahan, laga ini memperlihatkan Barcelona belum menemukan kembali keseimbangan identitas pada era Flick.
3. Vinicius Junior dan Lamine Yamal jadi sorotan utama panasnya El Clasico Jilid I 2025/2026
Jika Jude Bellingham menunjukkan ketenangan dan produktivitas, Vinicius Junior justru mencerminkan sisi emosional yang meledak-ledak dari Real Madrid. Pemain asal Brasil itu tampil agresif sejak awal, tetapi frustrasi ketika digantikan pada menit ke-72. Ia berjalan melewati Xabi Alonso tanpa menatap pelatihnya dan langsung menuju ruang ganti, sebelum kembali ke bangku cadangan beberapa menit kemudian. Setelah laga, ia bahkan hampir terlibat konfrontasi dengan Lamine Yamal dan Raphinha di tepi lapangan hingga memaksa aparat keamanan turun tangan untuk memisahkan pemain kedua tim.
Perilaku tersebut memperkuat laporan retaknya hubungan antara Vinicius dan klub. Negosiasi kontrak barunya dikabarkan tertunda, sementara pusat gravitasi tim kini beralih kepada Kylian Mbappe. Alonso berupaya menjaga stabilitas ruang ganti dengan secara tegas menarik keluar Vinicius karena menurun dalam fase bertahan. Keputusan itu terbukti tepat secara taktis, tetapi membuka perdebatan soal ego pemain yang kerap merasa tidak dilindungi klub.
Di sisi lain, Lamine Yamal, yang sempat memancing kontroversi sebelum laga dengan komentar provokatif tentang Madrid, menjadi sasaran ejekan sepanjang pertandingan. Pemain muda Spanyol itu gagal memberikan dampak signifikan dengan hanya 1 tembakan melenceng dan 4 umpan di area ofensif karena penjagaan ketat dari Alvaro Carreras. Situasi ini menegaskan, El Clasico bukan hanya adu teknik dan strategi, melainkan juga ujian kedewasaan mental di bawah tekanan atmosfer Santiago Bernabeu.
Pertemuan dua generasi ini memperlihatkan kontras antara Bellingham yang menyalurkan energinya ke performa apik dan Vinicius yang masih bergulat dengan emosi. Alonso, di tengah semua gejolak itu, tampil sebagai figur pengendali dengan menenangkan para pemainnya saat keributan pecah setelah peluit akhir. Kemenangan Madrid juga menjadi gambaran keberhasilan tim menjaga disiplin di tengah provokasi dan tensi tinggi yang menjadi ciri khas El Clasico.
Kemenangan Real Madrid atas FC Barcelona tidak hanya pembalasan atas empat kekalahan musim lalu, tetapi juga menandai lahirnya era baru di bawah Xabi Alonso. Sistem permainan yang presisi, keseimbangan antarlini, dan efektivitas dalam menyerang menjadi tanda Los Blancos sedang berevolusi menuju bentuk yang lebih kolektif dan modern. Di sisi lain, Barcelona menghadapi krisis struktural dan emosional ketika permainan cepat mereka kehilangan arah tanpa keseimbangan posisi.















