6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownership

Sebuah mekanisme mencari feeder dan backup untuk tim besar

Multi-ownership atau kepemilikan ganda makin lumrah ditemukan dalam sepak bola. Selain City Football Group (Manchester City, Girona FC, New York City FC, Yokohama F Marinos, dst) dan Red Bull (RB Leipzig, RB Salzburg, RB Bragantino, dst), tren ini mulai ditiru beberapa individu dan grup investor lain.

Selentingan soal ini mungkin sudah pernah kamu dengar. Namun, pasti ada beberapa yang terlewat dari radarmu. Berikut rekap dan sekilas catatan menarik soal akuisisi lima pasang klub sepak bola oleh satu entitas pemilik yang sama.

1. RC Strasbourg dan Chelsea

6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownershippemain RC Strasbourg (instagram.com/rcsa)

Akuisisi BlueCo atas RC Strasbourg adalah kasus terbaru dari tren multi-ownership dalam sepak bola. Perusahaan itu menguasai hak milik Chelsea dari Roman Abramovich sejak Mei 2022. Kabar ini sempat menuai pro dan kontra dari penggemar dan pengamat sepak bola Prancis. Tentunya ada keuntungan dan konsekuensi yang diemban Strasbourg dengan status baru mereka.

Pada bursa transfer musim panas 2023 ini, kehadiran BlueCo langsung terasa. RC Strasbourg yang biasanya frugal saat belanja pemain, kali ini bertindak cukup royal. Mereka sudah menghabiskan 56 juta euro (Rp938,7 miliar), jauh lebih besar dibanding anggaran belanja mereka 1 dekade terakhir yang paling besar hanya sekitar 15 juta euro (Rp 251 miliar). Namun, di balik itu mereka terlihat difungsikan sebagai tim feeder (penyuplai pemain) dan backup (wadah pembinaan pemain) untuk Chelsea.

2. Brighton & Hove Albion dan Union Saint-Gilloise

6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownershippemain Union Saint-Gilloise (instagram.com/rusg.brussels)

Sejak 2018, Brighton & Hove Albion dan Union Saint-Gilloise (USG) jadi sepasang klub dengan pemilik yang sama, Tony Bloom. Khusus untuk Saint-Gilloise, Bloom bekerja sama dengan mitra bisnisnya bernama Alex Muzio. Posisi Brighton dan USG sebenarnya cukup setara.

Keduanya dikenal sebagai klub yang cukup berani melakukan eksperimen alias tak ragu merekrut pemain-pemain dari tim dan liga yang relatif tak populer, baik di Eropa, Amerika Selatan, sampai Asia. Namun, harus diakui USG beberapa kali difungsikan Brighton untuk melancarkan skema buy-to-loan guna membina sejumlah pemain yang dianggap belum siap untuk English Premier League (EPL). Mereka antara lain Kaoru Mitoma dan Simon Adingra.

3. AC Milan dan Toulouse FC

6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownershippemain AC Milan (instagram.com/acmilan)

RedBird Capital adalah grup investor asal Amerika Serikat yang menaungi dua klub sekaligus, AC Milan dan Toulouse FC. Toulouse diakuisi pada 2020, sementara AC Milan resmi dibeli sebagian besar sahamnya pada 2022. Beda dengan BlueCo yang royal saat menggelontorkan dana untuk belanja pemain, Redbird cukup mindful di Toulouse dan AC Milan. Kehadiran mereka tidak serta merta mengubah anggaran belanja, bahkan relatif mengurangi pengeluaran tak perlu. 

Perubahan paling mencolok yang bisa dilihat dari kehadiran RedBird di dua klub itu ada pada pola perburuan pemain baru. Kini mereka jadi lebih eksperimental alias tak ragu merekrut pemain-pemain dari berbagai liga, bahkan yang kurang dikenal seperti Liga Pro Belgia, Superliga Denmark, Bundesliga Austria, Primera División Apertura Uruguay, hingga  Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat. Selain dua klub ini, Redbird Capital tercatat punya saham di Liverpool sejak 2021. Ini terjadi karena perusahaan Fenway Sports Group (FSG) yang menaungi klub Inggris itu butuh dana setelah terhantam pandemik COVID-19. 

Baca Juga: Misogini dan Seksisme Masih Menghantui Perempuan dalam Sepak Bola

4. Paris Saint-Germain dan KAS Eupen

6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownershippemain Paris Saint-Germain (instagram.com/psg)

Paris Saint-Germain (PSG) dan klub Belgia, KAS Eupen juga punya pemilik yang sama, yakni perusahaan bernama Qatar Sports Investments yang dikelola pemerintah Qatar dan menyasar sektor-sektor olahraga. Ini dilakukan sekitar awal 2010-an dan bertahan hingga sekarang. Serupa dengan yang sudah terjadi di beberapa klub di bawah naungan grup yang sama, ada fungsi feeder dan backup yang diemban tim yang relatif tidak populer. 

Misalnya saja dengan skema pinjaman dan transfer dari PSG ke KAS Eupen. Tercatat ada Samuel Assende yang dipindah lewat skema pinjaman dan transfer permanen atas nama Nathan Bitumazala dan Garissone Innocent. SC Braga jadi klub Eropa ketiga yang sahamnya dibeli Qatar Sports Investments. Jumlahnya masih minor, kurang dari 25 persen. Namun, ini bisa meningkat seiring berjalannya waktu.

5. Udinese dan Watford

6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownershippemain Watford (instagram.com/watfordfcofficial)

Keluarga Pozzo bisa dibilang pelopor tren multi-ownership dalam sepak bola. Mereka memulai dengan mengambil alih kepemilikan Udinese pada 1986. Kemudian, disusul dengan pembelian Granada CF pada 2009 dan Watford pada 2012. Selama kurang lebih 4 tahun, Giampaolo Pozzo dan keluarganya menaungi tiga klub sepak bola sekaligus sampai menjual Granada pada 2016 kepada pengusaha asal China, Jiang Lizhang. 

Selama berada di bawah naungan Pozzo, Granada sering jadi spot strategis untuk pemain Udinese agar bisa dapat menit bermain lewat skema pinjaman. Meski dianggap kontroversial, Pozzo saat diwawancarai Forbes mengaku menganggap keputusannya konstruktif untuk kedua klub itu. Namun, gaya kepemimpinan mereka dihujat di Watford. Sejak diakusisi Keluarga Pozzo, Watford kerap mengganti pelatih dan kehilangan kestabilan dalam tim. 

6. AS Monaco dan Cercle Brugge

6 Pasang Klub yang Dimiliki 1 Grup yang Sama, Tren Multi-ownershippemain AS Monaco (instagram.com/asmonaco)

Setelah dikenal sebagai pemilik AS Monaco, Dimitri Rybolovlev terkonfirmasi membeli sebagian besar saham Cercle Brugge. Sejak itu terjadi pada 2017, pola perpindahan pemain dari dua klub itu pun tampak jelas. AS Monaco rutin mengirimkan jebolan akademinya ke Cercle Brugge. Sebaliknya, pemain Cercle Brugge beberapa kali ditarik ke AS Monaco, baik lewat transfer permanen maupun skema pinjaman. 

Melihat riwayat transfer Cercle Brugge pada awal 2010-an, mereka tergolong tim dengan dana cekak yang enggan belanja pemain. Sejak Ryobovlev datang, Cercle Brugge mulai punya dana untuk mendatangkan pemain-pemain baru, tetapi suntikan anggarannya tidak mencengangkan. Catatan menariknya, meski dimiliki seorang miliarder asal Rusia, AS Monaco dan Cercle Brugge bukan tim yang mengemban misi mengorbitkan pemain asal Eropa Timur. Sejauh ini, pemain Eropa Timur yang pernah mereka naungi sejak Ryobovlev terbatas pada Strahinja Pavlovic (Serbia) dan Alexander Golovin (Rusia). 

Sebagai cerminan sempurna sistem ekonomi kapitalisme, tren kepemilikan ganda dalam sepak bola sepertinya akan terus terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Fenomena ini sendiri sudah menimbulkan polemik sendiri. UEFA sampai mengeluarkan regulasi tertulis untuk menghalangi investor yang tamak. Namun, bisakah ini menekan tren multi-ownership?

Baca Juga: Alasan Negara-Negara Arab Gencar Investasi di Sektor Sepak Bola

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya