Misogini dan Seksisme Masih Menghantui Perempuan dalam Sepak Bola

Tak hanya atlet dan wasit, suporter juga kena

Misogini alias kebencian dan pandangan merendahkan yang menyasar perempuan ternyata masih lumrah ditemukan di sektor olahraga. Khususnya pada cabor-cabor yang didominasi atlet dan penggemar laki-laki seperti sepak bola. Komentar misogini bukan hal baru di kolom-kolom berita yang membahas soal atlet, wasit, bahkan suporter perempuan dalam sepak bola.

Fakta miris ini adalah cerminan apa yang terjadi di dunia nyata. Testimoni soal diskriminasi dan perlakuan misogini pada aktor perempuan di sektor olahraga bukan cerita baru. Proporsi yang besar ini sering kali diabaikan dan dianggap normal. Seperti apa perkembangannya? Apa aksi yang sudah dilakukan federasi, klub, organisasi nonprofit, dan aktor-aktor olahraga lainnya?

1. Ujaran misogini, bahkan pelecehan seksual masih menghantui perempuan dalam sepak bola

Misogini dan Seksisme Masih Menghantui Perempuan dalam Sepak BolaYamashita Yoshimi, wasit perempuan di Piala Dunia 2022 (instagram.com/fifawomensworldcup)

Kelompok periset dari Durham University mengidentifikasi tiga tipe suporter laki-laki di Inggris pada 2022. Pertama, kelompok progresif yang melihat sepak bola perempuan dengan cara pandang positif dan mendukung kesetaraan gender. Kedua, kelompok misogini terbuka, yakni yang menolak dan menganggap sepak bola perempuan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Ketiga, kelompok misogini tertutup, yakni sekumpulan orang yang bisa berubah pikiran sesuai dengan siapa yang berada di dekat mereka.

Keberadaan mereka pun bisa dilihat secara kasat mata di media sosial. Sebagai contoh, Tifo Football dan The Guardian mengunggah berita serupa pada waktu yang berbeda. Keduanya membahas soal tingginya kasus cedera anterior cruciate ligament (ACL) yang menyerang atlet sepak bola perempuan dan berdampak besar pada keberlanjutan karier mereka. Alasan utama dari cedera ini adalah ketidaksesuaian antara sepatu sepak bola yang beredar di pasaran dengan anatomi kaki perempuan.

Kolom komentar didominasi kata-kata positif serta dorongan penemuan sepatu sepak bola khusus perempuan. Namun, ujaran-ujaran misogini dan seksis masih bisa kita temukan di sela-sela kolom komentar. Beberapa di antaranya seperti "Bukti kalau sepak bola adalah permainan untuk pria" atau "Ada, ya, Piala Dunia Perempuan?".

Melansir DW, pada gelaran Piala Eropa Perempuan 2022, riset kolaborasi tiga media Jerman (ARD, NDR, dan Sueddeutsche Zeitung) menemukan sejumlah laporan soal ujaran kebencian dan misogini yang menyasar para atlet. UEFA juga mengatakan mereka menemukan setidaknya 20 persen unggahan yang bernada seksis. Itu ditujukan kepada tim maupun pemain secara individu.

Di dunia nyata, kasus serupa tak kalah marak. Pada 2016, dua pemain berkebangsaan Ceko, Lukas Vacha dan Tomas Koubek, disanksi usai mengunggah status bernada misogini di media sosial untuk seorang asisten wasit perempuan yang bertugas pada pertandingan yang baru saja mereka lakoni. Melansir The Guardian, keduanya kecewa dengan kinerja wasit itu. Mereka memuntahkan amarah di Twitter dengan kalimat merendahkan perempuan.

Katie Whyatt dari The Athletic mengumpulkan testimoni beberapa suporter dan jurnalis perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik kala menonton atau meliput pertandingan English Premier League (EPL). Semuanya menyedihkan dan menyeramkan. Hampir tak dapat dipercaya masih terjadi pada abad ke-21 di negara maju.

Jangan tanya yang terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia. Berita soal pelecehan seksual yang dialami suporter perempuan di stadion di Indonesia masih sering menghiasi linimasa. Ini belum termasuk yang tidak melapor dan memilih untuk tidak lagi menonton langsung. Masih terngiang pula di ingatan soal komentator siaran langsung televisi nasional yang dengan leluasanya melontarkan celotehan-celotehan tak pantas saat kamera mengarah kepada sekelompok suporter perempuan.

Baca Juga: Di Balik Kegemaran Klub Belgia Merekrut Pemain Jepang  

2. Media ikut berpartisipasi mendorong ketimpangan gender dalam sepak bola

Misogini dan Seksisme Masih Menghantui Perempuan dalam Sepak Bolaatlet Timnas Nigeria di Piala Dunia Perempuan 2023 (instagram.com/fifawomensworldcup)

Ujaran misogini hingga objektifikasi terhadap perempuan dalam sepak bola didorong pula oleh narasi yang dibentuk media massa. Menurut survei pada 2011 yang dipresentasikan Thomas Horky dan Jorg-Uwe Nieland dalam 8th Communication Conference on Sport and Society, 85 persen berita olahraga (didominasi cabor sepak bola) yang dipublikasikan selama 2 minggu pada rentang April—Juli 2011 di 22 negara membahas atlet dan tim laki-laki. Tak hanya itu, 92 persen jurnalis/penulisnya juga laki-laki.

Berita sepak bola perempuan memang mulai bertebaran. Mirisnya, masih banyak judul yang fokus kepada karakter fisik atlet. Misalnya saja dengan penggunaan kata "cantik" pada judul utama. Berita-berita olahraga lain yang membahas perempuan juga kebanyakan masih berkutat kepada kekasih atau istri atlet pria. Ini menunjukkan masih ada kecenderungan objektifikasi dan anggapan perempuan hanya aksesoris dekoratif belaka dalam olahraga.

Ini didorong pula oleh minimnya eksposur dan data yang tersedia soal atlet dan tim sepak bola perempuan. Jauh dibanding data dan konten yang tersedia tentang sepak bola pria. Sejumlah media sudah mulai berbenah. Siaran sepak bola perempuan mulai ditayangkan di televisi. Liputan soal atlet dan tim perempuan ditulis dengan pendekatan yang sama objektifnya ketika membahas atlet dan tim pria.

3. Partisipasi perempuan dalam sepak bola harus ditingkatkan untuk mengubah narasi

Misogini dan Seksisme Masih Menghantui Perempuan dalam Sepak Bolailustrasi anak perempuan bermain sepak bola (Pexels.com/Pixabay)

Melihat fenomena ini, sudah selayaknya ada pergeseran narasi di berbagai level. Tidak hanya dari eksposur media, tetapi dari akarnya, yakni aksesibilitas fasilitas olahraga untuk perempuan. Menurut organisasi nonprofit Women in Sport, ketimpangan gender dalam olahraga berakar dari diskriminasi yang dibentuk sejak anak-anak. Anak laki-laki didorong untuk terlibat dalam aktivitas olahraga, sementara perempuan tidak.

Anak perempuan juga didoktrin mereka tak akan bisa bermain olahraga sebaik anak laki-laki. Alhasil, hanya 49 persen anak perempuan usia 5—11 yang tergabung dalam klub olahraga. Timpang dengan anak laki-laki yang persentase keikutsertaannya dalam tim olahraga sebesar 70 persen.

Normalisasi keberadaan atlet dan turnamen sepak bola perempuan perlu digalakkan. Ini untuk mengubah narasi-narasi bias gender dalam sepak bola dan olahraga pada umumnya. Walau harus diakui prosesnya tidak akan instan.

Baca Juga: Mengapa Tak Banyak Pesepak Bola Rusia yang Berkarier di Luar Negeri? 

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya