Apakah Gagal di Premier League Berarti Gagal Jadi Pemain Hebat?

- Performa pemain di Premier League tidak selalu mencerminkan kualitas sejati mereka.
- Pemain gagal di Inggris bisa bersinar di liga lain karena perbedaan gaya bermain dan tuntutan sistemik.
- Pressing tinggi, risiko kesalahan, tekanan finansial, dan komersialisasi memengaruhi penilaian terhadap pemain di Premier League.
English Premier League (EPL) kerap dijadikan patokan keberhasilan pemain sepak bola. Popularitas global dan kekuatan finansialnya membuat banyak orang menganggap Premier League sebagai liga tertinggi dalam hierarki kompetisi sepak bola. Tidak heran jika pemain yang tampil buruk di Inggris langsung dicap gagal secara mutlak.
Namun kenyataannya, tidak sedikit pemain yang dianggap gagal di Premier League justru bersinar di tempat lain. Beberapa bahkan menjadi bintang di pentas paling elite seperti Liga Champions Eropa. Hal ini menunjukkan, performa di Premier League tidak selalu menggambarkan kualitas sejati seorang pemain.
1. Beberapa mantan pemain Premier League berhasil di liga lain karena perbedaan gaya bermain
Banyak pemain asing datang ke Premier League dengan reputasi gemilang, hanya untuk meninggalkan Inggris dalam waktu singkat. Bukan karena mereka tidak punya kemampuan, melainkan karena gaya bermain dan tuntutan sistemik di sana seringkali kurang sesuai dengan karakteristik mereka. Alih-alih disebut kurang berbakat, kegagalan dalam beradaptasi justru dipicu oleh perbedaan filosofi bermain.
Henrikh Mkhitaryan adalah contoh nyata dari fenomena ini. Saat pindah ke Manchester United pada 2016, ia datang dengan status bintang dari Borussia Dortmund. Namun di bawah asuhan Jose Mourinho, ia kesulitan menunjukkan kreativitasnya karena lebih dituntut untuk melakukan pekerjaan defensif yang bukan keunggulannya. Setelah masa singkat di Arsenal, ia pindah ke AS Roma dan kemudian berkembang pesat bersama Inter Milan, bahkan tampil impresif sebagai gelandang sentral pada usia 36 tahun.
Matteo Darmian mengalami kisah serupa. Direkrut Louis van Gaal, ia memulai kariernya di MU dengan baik, tetapi perlahan tergeser karena kurangnya kontribusi ofensif dan fisik yang dianggap kurang mumpuni. Namun setelah bergabung dengan AC Parma dan kemudian Inter, Darmian menunjukkan nilai lebihnya sebagai bek serbabisa yang dapat diandalkan saat momen penting, termasuk dua final Liga Champions bersama Inter.
Vitinha, yang nyaris tak dikenali oleh penggemar Wolverhampton Wanderers, kini menjadi otak permainan Paris Saint-Germain (PSG). Selama musim pinjamannya di Inggris, ia kesulitan mendapatkan menit bermain karena bersaing dengan Ruben Neves dan Joao Moutinho serta tidak cocok dengan peran No.10 dalam formasi 4-2-3-1. Namun setelah kembali ke Portugal dan selanjutnya ke PSG, ia menjelma sebagai gelandang pengatur tempo yang menjadi inti permainan klub dan Timnas Portugal.
2. Intensitas permainan dan tuntutan komersialisasi kerap tak cocok dengan pemain
Selain mengandalkan kecepatan dan kekuatan fisik, Premier League kini juga dikenal karena kompleksitas taktiknya yang terus meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, tren bermain dari belakang semakin dominan yang didorong oleh pengaruh pelatih seperti Pep Guardiola. Namun strategi ini memiliki risiko tinggi di tengah maraknya sistem pressing agresif, sehingga kesalahan kecil dapat berujung kepada gol.
Berdasarkan statistik Opta Analyst, musim 2024/2025 mencatat rata-rata 2,5 high turnovers per pertandingan yang berujung tembakan, dengan 0,3 di antaranya menghasilkan gol. Tingkat konversi ini tertinggi dalam 1 dekade terakhir. Ini menunjukkan, pressing yang tinggi di Premier League menciptakan risiko konstan bagi pemain yang mencoba membangun serangan dari wilayah sendiri. Akibatnya, pemain yang lambat beradaptasi atau kurang cocok secara fisik bisa tampak buruk, sekalipun mereka memiliki kualitas.
Faktor finansial juga turut menambah tekanan. Premier League dikenal sebagai liga dengan belanja terbesar dan gaji tertinggi di dunia. Klub-klub menggelontorkan dana besar untuk transfer dan sponsor hingga menciptakan ekspektasi instan kepada pemain baru. Ketika pemain tidak langsung memberikan dampak signifikan, mereka seketika dipandang sebagai pembelian gagal, padahal banyak dari mereka hanya butuh waktu atau sistem yang sesuai.
Komersialisasi di Premier League juga mengubah narasi pemain. Selain dinilai berdasarkan performa teknis, mereka juga dilihat berdasarkan branding dan ekspektasi pasar. Dalam kondisi seperti ini, meski seorang pemain bisa tampil baik secara statistik, mereka bisa jadi dianggap kurang menguntungkan secara citra. Tidak semua pemain memiliki ketahanan mental atau kondisi yang tepat untuk mengatasi tekanan multidimensi tersebut.
3. Sepak bola itu kompleks, terbukti dari kesuksesan pemain di luar Premier League
Sejarah membuktikan, Premier League bukan satu-satunya panggung valid untuk mengukur kualitas pemain. Banyak pemain yang gagal tampil menonjol di Inggris justru tampil gemilang di liga lain, bahkan sampai ke final Liga Champions. Mereka menjadi representasi dari realitas bahwa sepak bola adalah permainan kompleks.
Banyak pemain yang tak mampu menembus skuad utama di klub-klub Inggris justru mampu menunjukkan kualitas terbaiknya ketika berkompetisi di liga lain. Lingkungan yang berbeda kadangkala memberikan ruang yang lebih sesuai dengan gaya bermain dan kebutuhan taktis mereka. Hal ini menegaskan, performa di satu liga tidak dapat dijadikan tolok ukur tunggal dalam menilai kemampuan seorang pemain.
Antony Santos dan Scott McTominay menjadi dua pemain yang dianggap gagal memberikan kontribusi nyata selama berseragam Manchester United. Namun, McTominay kini berhasil mengantarkan Napoli menjuarai Serie A Italia 2024/2025 hingga dinobatkan sebagai Player of the Season. Antony yang saat ini dipinjamkan kepada Real Betis, malah menunjukkan performa gemilang hingga mengantarkan Los Verdiblancos ke final Europa Conference League 2024/2025.
Premier League memang istimewa, tetapi tidak sakral. Kegagalan di Inggris bukan berarti akhir dari segalanya atau tanda seorang pemain tidak berbakat. Sebaliknya, ini seringkali menunjukkan kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh ketidakcocokan dengan lingkungan atau sistem tertentu, bukan karena keterbatasan kemampuan pemain itu sendiri.