Kenapa Klub Olahraga Kompak Bikin Vlog dan Video Pendek?

- Alternatif sumber penghasilan selain sponsor dan royalti hak siar
- Penggemar masa kini haus informasi dan koneksi
- Kita berada di era monetisasi privasi
Kamu mungkin tak asing dengan vlog dan video pendek seputar keseharian belakang layar klub olahraga di media sosial/platform streaming. Rasanya sudah jadi kewajaran bagi mereka untuk merilisnya secara rutin. Kalau ditanya alasannya tentu tak jauh-jauh dari engagement penggemar dan penghasilan dari royalti pemutaran video.
Pertanyaannya, mengapa tipe video seperti itu berhasil meraup perhatian? Apa pula implikasinya buat kita sebagai konsumen, serta atlet dan staf yang terlibat?
1. Alternatif sumber penghasilan selain sponsor dan royalti hak siar
Sebenarnya bukan hal yang susah dijawab, alasan tim olahraga profesional ramai-ramai merilis vlog dan video pendek di media sosial dan kanal streaming tak lain adalah soal profit. Ini utamanya bisa membantu tim-tim yang tak punya banyak mitra sponsor dan tidak masuk kategori tim populer yang bisa meraup untung dari penjualan tiket pertandingan serta pernak-pernik resmi. Untuk tim-tim medioker macam itu, biasanya penghasilan utama mereka datang dari pembagian royalti hak siar.
Namun, di tengah ekonomi yang makin kapitalis ini, mengandalkan satu sumber penghasilan jelas bukan hal bijak. Vlog dan video pendek pun dilihat sebagai cara efektif mendapat sumber pendapatan alternatif. Apalagi, vlog dan video pendek yang biasanya menyoal aktivitas belakang layar ini terbukti cukup umum dipakai untuk keperluan promo.
Merujuk tulisannya, Richards, dkk dalam tulisan berjudul ‘Engaging Audiences with Behind-the-Scenes Science Media’ dalam Journal of Broadcasting & Electronic Media, video behind the scenes (BTS) pertama kali diperkenalkan oleh pegiat industri film untuk memperkenalkan aktor baru dan teknologi yang mereka pakai. Featurette istilahnya. Dalam riset yang mereka lakukan pula, ada pengaruh yang lumayan antara video belakang layar dengan kesan autentik dan kredibel sebuah brand. Video yang mereka pakai memang bertema sains dan edukasi, tetapi secara umum banyak unit bisnis dari berbagai sektor yang pakai teknik ini dan memang berhasil.
Setidaknya dengan meningkatkan engagement penggemar dengan mempertontonkan “sisi lain” dan relevansi mereka dengan penonton. Vlog dan video pendek tadi bahkan bisa membiayai dan membantu publikasi klub-klub olahraga amatir. Seperti liputan Tom Usher, dkk dari BBC Three yang membuktikan keberadaan klub-klub sepak bola akar rumput (amatir) dengan ratusan ribu pengikut di media sosial dan jutaan views di platform streaming.
2. Penggemar masa kini haus informasi dan koneksi
Relevansi tadi berkaitan dengan sifat manusia yang memang punya ketertarikan terhadap cerita dan kehidupan orang lain. Dalam tulisannya untuk BBC, Krystin Arneson mewawancarai dua peneliti Inggris dari Brunel University London, Anne Chappell. Di sana, Chappell berargumen kalau ketertarikan manusia terhadap media sosial didorong oleh konten-konten buatan pengguna yang mengekspos kehidupan serta kerentanan mereka. Konten-konten itu yang secara sadar maupun tidak, membuat sesama pengguna terbantu dalam memahami perasaan dan hidup mereka sendiri.
Konten buatan pengguna juga bisa memberikan kita perasaan terkoneksi yang instan. Apalagi saat puncak pandemik COVID-19 lalu, orang sangat merindukan keterhubungan, termasuk fans olahraga yang saat itu tidak bisa menonton langsung di stadion bersama ribuan penggemar lain. Alhasil, menonton konten soal klub dan pemain mereka di media sosial jadi jalan ninja yang efektif. Belum lagi, selama ini kita hanya disuguhi pemain di atas lapangan atau sirkuit untuk bertanding. Setelah masuk ke ruang ganti, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi.
Kini berkat media sosial, penglihatan kita tak lagi terbatas sampai pintu lorong stadion dan venue olahraga. Kamera terus melaju mengikuti pemain dan staf ke ruang ganti. Di sanalah penggemar disuguhi hal yang tak bisa diakses di dunia nyata — rutinitas setelah pertandingan, ritual sebelum pertandingan, sesi latihan, relasi antarpemain maupun dengan staf, dan lain sebagainya.
3. Kita berada di era monetisasi privasi
Hal-hal tadi sebelumnya adalah privasi yang dijaga ketat, jauh dari jangkauan publik. Namun, sejak disrupsi media sosial, privasi justru dibuka selebar mungkin, bahkan dimonetisasi. Berbekal sifat naluriah manusia yang haus cerita dan koneksi, aktivitas belakang layar tim olahraga pun berhasil menggaet perhatian penonton. Kini, hampir semua klub punya vlog yang rutin mereka rilis tiap minggu. Ditambah pula dengan video-video pendek yang seperti featurette dalam konteks film mereka pakai untuk memperkenalkan pemain, teknologi baru, sesi latihan, bahkan program sponsor.
Tim spesialis media sosial klub olahraga mungkin memang memfilter dengan seksama apa yang mereka bagikan, tetapi apakah atlet punya opsi untuk menolak diekspos? Ada kemungkinan berada di properti klub otomatis berarti persetujuan untuk terekspos di media sosial. Hal ini tentu tidak hanya terjadi di sektor olahraga, dengan terbukti suksesnya video behind the scenes di jagat maya, makin banyak unit bisnis yang melirik format serupa untuk meraup engagement dan pada akhirnya bermuara pada profit.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu salah satu yang menyambut gembira video-video pendek dan vlog yang dibuat tim olahraga dunia?



















