Menganalisis Masalah Kiper yang Tak Kunjung Usai di Manchester United

- Kedatangan Andre Onana tidak memecahkan masalah kiper Manchester United
- Altay Bayindir dan Senne Lammens belum mampu menjawab krisis kiper klub
- Manchester United kekurangan identitas jelas di bawah mistar gawang
Keputusan Manchester United meminjamkan Andre Onana kepada Trabzonspor selama 2025/2026 kembali menimbulkan diskusi panjang mengenai masalah kiper. Sejak era David De Gea berakhir pada 2023, klub seolah kesulitan menemukan pengganti yang benar-benar mampu memberikan rasa aman di bawah mistar. Situasi ini kian pelik karena tiap pergantian justru menghadirkan ketidakstabilan baru.
Andre Onana, Altay Bayindir, hingga kiper baru, Senne Lammens, kini menjadi bagian dari narasi panjang krisis tersebut. Keputusan-keputusan transfer yang diambil Setan Merah kerap dipandang reaktif ketimbang strategis, yang membuat masalah kiper tetap menjadi batu sandungan utama. Tidak heran performa tim sering kali terganggu karena kesalahan yang seharusnya bisa dihindari.
1. Alih-alih jadi solusi taktik, kedatangan Andre Onana malah memunculkan persoalan baru
Manchester United melepas David De Gea pada 2023 karena dianggap tidak cocok dengan filosofi build-up dari belakang yang dibawa mantan Pelatih Erik ten Hag. Sebagai penggantinya, klub menggelontorkan dana 47 juta pound sterling (Rp1,044 triliun) untuk merekrut Andre Onana dari Inter Milan yang punya reputasi mumpuni dalam distribusi bola. Transfer ini semula dipandang sebagai awal transformasi besar di Old Trafford.
Namun, perjalanan Onana justru berubah menjadi rangkaian kekecewaan. Dalam 2 musim perdananya, ia mencatat sembilan kesalahan langsung berujung gol, jumlah terbanyak di antara kiper papan atas Eropa. Kesalahan ini terjadi pada berbagai situasi, mulai dari gagal mengantisipasi umpan silang, blunder dalam distribusi, hingga gagal menahan tembakan yang seharusnya bisa dihalaunya.
Ironisnya, keunggulan Onana dalam menguasai bola dengan kaki tidak pernah benar-benar dimanfaatkan Manchester United. Data Opta Analyst menunjukkan, rata-rata panjang umpan justru meningkat dari 3,7 menjadi 3,6 umpan per rangkaian serangan setelah kedatangannya. Setan Merah menjadi lebih direct dalam membangun serangan, berlawanan dengan alasan utama perekrutan Onana. Situasi makin runyam ketika kesalahan fatalnya terjadi pada momen krusial, termasuk kekalahan memalukan di Carabao Cup 2025/2026 melawan Grimsby Town, klub kasta keempat Liga Inggris.
2. Keberadaan Altay Bayindir dan Senne Lammens belum menjawab krisis kiper Manchester United
Kepergian Andre Onana ke Trabzonspor dengan status pinjaman membuka babak baru dalam drama posisi kiper Manchester United. Pelatih Ruben Amorim kini hanya bisa mengandalkan Altay Bayindir dan Senne Lammens, dua nama yang sama-sama menghadirkan keraguan besar. Bayindir, yang direkrut murah dari Fenerbahce pada musim panas 2024, telah menunjukkan performa yang rapuh sejak debutnya.
Data Opta Analyst kembali memperlihatkan, Bayindir membuat kesalahan berujung gol tiap 430 menit, terburuk di antara kiper English Premier League (EPL) saat ini. Ia juga sangat lemah menghadapi bola mati, terutama umpan-umpan inswinger dari sepak pojok. Kondisi ini membuatnya mudah dieksploitasi lawan meski memiliki postur hampir 2 meter. Dalam laga melawan Arsenal pada pekan pertama Premier League 2025/2026, ia bahkan nyaris mencetak gol bunuh diri karena gagal mengantisipasi sepak pojok Declan Rice.
Di sisi lain, Senne Lammens didatangkan dari Royal Antwerp dengan harga 18 juta pound sterling (Rp400 miliar) disebut sebagai proyek jangka panjang. Statistiknya di Belgian Pro League cukup menjanjikan karena mampu menguasai 63,2 persen bola silang yang masuk ke kotak penalti. Meski demikian, statusnya sebagai kiper muda tanpa pengalaman Premier League membuat risiko besar jika langsung dijadikan pilihan utama. Amorim pun dihadapkan pilihan sulit antara memercayai kiper yang rawan blunder atau memberi kesempatan kepada talenta mentah yang berpotensi kewalahan.
3. Manchester United tak memiliki identitas jelas di bawah mistar gawang
Masalah kiper Manchester United sejatinya lebih dalam daripada sekadar kualitas individu. Mantan kiper profesional yang kini menjadi analis The Athletic, Matt Pyzdrowski, menilai inkonsistensi sistem serta kurangnya kepercayaan dari pelatih ikut berkontribusi. Seorang kiper butuh dukungan penuh dari pelatih agar tampil stabil. Namun, di Manchester United, rotasi dan pergantian strategi justru memperburuk keadaan.
Aspek mental juga menjadi beban berat. Dilansir BBC, mantan pemain Setan Merah, Phil Jones, berpendapat jika menjadi kiper utama Manchester United berarti memikul beban berat dengan tekanan luar biasa. Tiap kesalahan kecil cepat menjadi sorotan media yang menciptakan efek domino, dari merusak kepercayaan diri sang kiper hingga pemain lain di lini belakang dalam jangka panjang.
Filosofi klub pun terombang-ambing. Dari era David De Gea yang dikenal sebagai shot-stopper murni, beralih ke Andre Onana yang diharapkan berperan sebagai sweeper-keeper, kini klub kembali mencari sosok klasik yang sekadar bisa memberikan keamanan. Keputusan yang bersifat reaktif, bukan proaktif, membuat salah satu posisi vital dalam sepak bola modern ini tetap menjadi titik lemah mereka. Intinya, klub gagal merencanakan regenerasi secara matang.
Manchester United kini menghadapi kenyataan pahit mengenai masalah kiper yang tidak akan selesai dalam waktu dekat. Tanpa strategi yang jelas, posisi di bawah mistar akan terus menjadi sumber krisis yang merusak ambisi besar klub.